Kemenperin: Ketergantungan Impor Bahan Baku Obat Nasional Tembus 90 Persen

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengakui, bahwa Indonesia masih ketergantungan impor untuk bahan baku obat (BBO) nasional. Adapun ketergantungan impor itu mencapai 90 persen hingga saat ini.

Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin Emmy Suryandari mengatakan, angka ketergantungan impor ini sejalan dengan bertambahnya produsen BBO nasional di Tanah Air.

"Terkait profil industri BBO secara nasional saat ini, alhamdulillah sudah ada 20 industri. Saya mengatakan alhamdulillah karena memang tantangannya cukup besar ditengah saat ini angka impor kami terhadap BBO sendiri itu masih sekitar 90 persen dari luar," ujar Emmy dalam agenda Seminar Nasional bertajuk 'Ketahanan dan Kesinambungan Percepatan Kemandirian Bahan Baku Obat dan Vaksin di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Selasa, 10 September.

Emmy berharap, jumlah produsen BBO nasional bisa terus bertambah.

Dengan demikian, angka impor bisa ditekan ke depannya.

"Kami berharap 20 (produsen BBO) ini bisa bertambah dari sisi jumlahnya dan juga bertambah dari sisi BBO yang bisa diproduksi dan saya rasa dengan semangat kami semuanya kali ini, sangat possible terjadi industri farmasi di Indonesia bisa tumbuh menjadi raja di negara sendiri," katanya.

Di samping itu, Emmy bilang, saat ini ada 212 industri obat jadi nasional yang tersebar di sejumlah daerah, seperti di Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta.

Menurut Emmy, pandemi COVID-19 menjadi salah satu faktor bertambahnya jumlah industri farmasi di Indonesia.

"Saat ini, ada 212 industri obat jadi dan 20 industri BBO. Ini angka profil yang cukup bagus dalam artian semenjak COVID-19 itu sudah terjadi penambahan jumlah industri farmasi di Indonesia. Betul COVID memang menjadi salah satu tahapan untuk kami akhirnya melakukan lompatan," tutur Emmy.

"Karena memang ternyata kami itu didesak oleh kondisi, sehingga mau tidak mau kami harus segera melakukan adaptasi untuk kami bisa menyelesaikan masalah saat itu," imbuhnya.

Sebelumnya, Kemenperin mencatat, bahwa selama 2018-2022 nilai impor untuk BBO terus mengalami kenaikan.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin Reni Yanita mengatakan, impor tertinggi untuk BBO nasional terjadi pada 2022, yakni sebanyak 35.890 ton.

"Jadi, dari 2018 sampai dengan 2023 data impor kami menunjukkan tahun 2018 ke 2019 (terjadi) penurunan. Namun, kenaikan cukup tinggi di 2022. Di 2022, impor BBO secara keseluruhan mencapai 35.890 ton dengan nilai sebesar 509 juta dolar AS," ujar Reni dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 9 Juli.

Berdasarkan data yang dipaparkan, tren importasi BBO terus meningkat selama lima tahun terakhir atau sejak 2018 hingga 2022.

Rinciannya, pada 2018 total impor BBO mencapai 27.304 ton dengan nilai sebesar 332 juta dolar AS, di 2019 mengalami penurunan menjadi 27.050 ton atau setara 294 juta dolar AS.

Kemudian, di 2020 kembali melonjak di angka 29.429 ton atau senilai 312 juta dolar AS.

Lalu, di 2021 meningkat lagi menjadi 34.770 ton dengan total nilai 443 juta dolar AS.

Sementara di 2022 mencapai angka impor tertinggi, yakni 35.890 ton atau senilai 509 juta dolar AS.

"Kemudian di 2023 ini terkoreksi kembali penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jadi, selama lima tahun terakhir memang tren importasi BBO terus meningkat," katanya.