Sejarah Dua Paus Vatikan ke Indonesia: Momen Penting Perekat Kerukunan Beragama Era Orba

JAKARTA - Hubungan antara Indonesia-Vatikan telah dirajut sejak jauh-jauh hari. Pemimpin besar umat Katolik dunia bahkan pernah mendoakan perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan di Perang Revolusi. Keinginan mendatangkan Paus ke Indonesia muncul pada 1966.

Keinginan itu nyatanya baru terealisasi pada era Orde Baru (Orba). Paus Paulus VI jadi yang pertama datang pada 1970. Kemudian, Paus Yohanes Paulus II datang ke Indonesia pada 1989. Momentum penting itu jadi perekat kerukunan beragama di Indonesia.

Kapolri pertama Indonesia, Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo jadi utusan Indonesia pertama yang berjumpa dengan pemimpin besar umat Katolik, Paus Pius XII. Kedatangan Soekanto dengan mandat dari Wakil Presiden, Bung Hatta ke Vatikan dalam rangka misi diplomasi pada 1948.

Indonesia kala itu butuh banyak dukungan internasional supaya dapat mempertahankan kemerdekaan. Istimewanya Paus Pius XII mendukung dan mendoakan perjuangan Indonesia. Kedekatan hubungan Indonesia-Vatikan lalu dicoba dirajut oleh Bung Karno.

Bung Besar bahkan diketahui tiga kali bersua dengan Paus yang berbeda-beda. Paus Pius XII pada 1956. Paus Yohanes XXIII pada 1959. Kemudian Paus Paulus VI pada 1963. Keinginan Indonesia mendatangkan Paus ke Indonesia muncul pada 1966.

Presiden Soeharto berbincang-bincang dengan Paus Yohanes Paulus II di Istana Merdeka pada 1989. (ANTARA)

Undangan itu baru mendapatkan tanggapan pada era pemerintahan Soeharto dan Orba. Paus Paulus VI pun jadi paus pertama yang menginjakkan kaki ke Indonesia dan Asia pada 1970. Ia bertandang ke Indonesia dengan menggunakan pesawat kenegaraan Takhta Suci Vatikan dari maskapai Alitalia di Bandara Kemayoran pada 3 Desember 1970.

Paus lalu disambut dengan Presiden Soeharto dan jajarannya. Lawatan keagamaan pun dilakukan dengan suka cita, sekalipun singkat. Paus sempat berjumpa lebih dulu dengan tokoh-tokoh lintas agama. Malamnya, ia segera menunjuk Stadion Utama Senayan (kini: Stadion Utama Gelora Bung Karno: GBK).

Kedatangan ke gelanggang olahraga megah itu untuk menggelar misa agung. Ia disambut dengan gegap gempita. Namun, mereka yang menyambut tak hanya umat Katolik belaka.

Banyak di antara yang datang justru berasal dari agama lainnya, khususnya Islam. Kondisi itu membuat kedatangan Paus Paulus VII bak perekat kerukunan beragama di Indonesia.

“Tidak ada tanda-tanda permusuhan dari para ekstremis Muslim, seperti yang ditakutkan sebagian orang. Seorang anggota Episkopal Indonesia merasa senang melihat delegasi Muslim memberikan penghormatan kepada Paus dalam misa tersebut dan memberikan salinan Al-Quran yang dijilid dengan kayu berukir,” ungkap Henry Kamm dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Moslems, Hindus and Buddhists join Pope at Mass in Jakarta (1970).

Perekat Kerukunan Beragama

Kunjungan Paus Paulus VI membuktikan bahwa rakyat Indonesia menyambut positif kedatangannya. Kunjungan itu dianggap spesial oleh seisi Indonesia. Namun, ingatan itu belum juga dilupakan, istimewanya Indonesia kembali kebagian berkah.

Paus Yohanes Paulus II menyatakan akan mengunjungi Indonesia pada 1989. Keinginan itu bukan pepesan kosong belaka. Paus Yohanes Paulus II benar-benar mendatangi Indonesia pada 8 Oktober 1989.

Kedatangan Paus itu tampak sederhana. Ia hanya menumpang pasawat komersial Korean Airlines. Ia juga menolak kala pemerintah Indonesia menyediakan Wisma Negara untuk menginap selama di Indonesia.

Paus itu justru lebih memilih untuk tinggal di Kedubes Vatikan. Laku hidup itu mendapatkan pujian dari sana sini. Kunjungannya jadi mendapatkan sambutan yang gegap gempita. Presiden Soeharto menyambut baik kedatangannya. begitu pula dengan tokoh lintas agama. Sepanjang jalan dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Istana Merdeka ia sambut oleh segenap warga Jabodetabek.

Puncaknya, ia menghadiri misa agung di stadion Utama GBK pada malam hari. Ratusan ribu orang memadati GBK. Beberapa di antara adalah mereka yang beragama di luar Katolik. Mereka yang datang dan bukan beragama Katolik disambut dengan rasa terima kasih yang tinggi oleh Paus.

Paus bahkan mengungkap Indonesia adalah negara istimewa. Indonesia mampu merdeka dan menyatukan segala macam suku bangsa. Ragam suku bangsa itu bahkan hidup berdampingan dengan damai hinggga saat ini.

Ia pun menyaksikan bagaimana tokoh lintas agama dapat duduk bersama dan membahas hal-hal terkait kemaslahatan bersama. Istimewanya lagi kedatangan Paus dianggap sebagai bagian penting dari perekat kerukunan beragama di Indonesia. Sebab, lawatan keagamaannya tak diisi melulu dengan urusan teologi, tapi kemanusiaan.

Paus bahkan turut mencampur khotbahnya dengan bahasa Indonesia yang dipelajarinya secara singkat. Alhasil, hadirin yang datang menyambutnya gegap gempita. Seisi Indonesia pun merasa istimewa bisa dikunjungi oleh pemimpin besar umat Katolik dua kali.  

“Sehubungan dengan hal tersebut, Sri Paus memuji keberhasilan Indonesia yang sudah merdeka 44 tahun dalam mempersatukan bangsa yang sangat beraneka itu. Falsafah Pancasila telah mengilhami dan menjadi pedoman pertumbuhan negara Anda.”

“Suatu pedoman yang menjadi satu-satunya landasan yang kukuh adalah menghormati semuanya. Menghormati perbedaan pendapat, keyakinan, kebiasaan, dan nilai-nilai yang mewarnai banyak ragam warga negara Indonesia," cerita Paus Yohanes Paulus II sebagaimana dikutip A Margana dan kawan-kawan dalam laporan berjudul Sang Gembala Itu telah Datang (1989).