Trauma Sistemik Akibat Gonjang-ganjing Politik

JAKARTA – Apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, sedikit banyak memengaruhi mental masyarakat. Dalam psikologi, hal ini disebut trauma sistemik.

Sepanjang pekan kemarin, masyarakat Indonesia disajikan oleh dinamika politik yang, bagi sebagian besar orang, melelahkan. Ironisnya, sederet persitiwa ini terjadi tidak lama setelah Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-79.

Peristiwa ini bermula ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan untuk mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora sebagian terkait threshold atau ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 pada 20 Agustus 2024.

Selain itu, MK juga memutuskan aturan bahwa syarat batas usia calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun berlaku sejak penetapan calon.

Mahasiswa memasang spanduk di gerbang saat melakukan unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada di DPRD Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (23/8/2024). (ANTARA/Idhad Zakaria/tom)

Namun dua putusan tersebut coba dijegal oleh Badan Legislasi (DPR). Dalam kurun waktu 24 jam, DPR menolak untuk mengakomodasi putusan MK tersebut dan mengusulkan pengesahan RUU Pilkada.

Rakyat marah dengan putusan DPR, dan puncaknya adalah menggelar aksi demonstrasi di hari yang sama DPR akan mengesahkan RUU Pilkada, Kamis (22/8/2024). Hampir semua elemen masyarakat ikut turun ke jalan untuk menentang rencana DPR mengesahkan RUU Pilkada, salah satunya aktor Reza Rahardian. Ia bahkan sempat orasi di tengah para demonstran.

“Saya tidak ikut dalam politik praktis apa pun. Saya hadir di sini sebagai rakyat biasa, bersama teman-teman semua, tidak mewakili siapa pun, selain suara orang-orang yang gelisah hari ini,” kata Reza Rahadian.

Tekanan Psikologis

Apa yang dikatakan Reza Rahadian ada benarnya. Banyak masyarakat Indonesia merasa gerah dan gelisah melihat situasi politik Tanah Air. Kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat banyak kritik menjelang masa baktinya berakhir.

Jokowi diduga ikut ‘turun tangan’ untuk memuluskan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai wakil presiden pada Pilpres 2024, yang kemudian dimenangkan olehnya.

Kini saat DPR mencoba menganulir dua poin putusan MK yang disebut sebagai angin segar bagi demokrasi Indonesia, masyarakat Indonesia yang gelisah tidak lagi tinggal diam. Rentetan peristiwa yang tak mengenakkan belakangan ini, dalam psikologi dapat menyebabkan trauma sistemik.

Menurut psikolog Audrey Susanto, trauma sistemik terjadi ketika sekelompok besar orang mengalami tekanan psikologis akibat sistem atau struktur sosial yang menekan atau menindas.

Ketidakpastian dalam dunia politik dapat memengaruhi kesehatan mental. (Unsplash/Susan Wilkinson)

“Ini termasuk kekerasan politik yang berlangsung terus menerus,” kata Audrey, dikutip Instagram pribadinya.

Audrey melanjutkan, situasi penuh kekerasan terus menerus dikategorikan sebagai continuous traumatic situation atau CTS. CTS adalah kondisi di mana individu atau komunitas terpapar secara terus menerus terhadap kekerasan dan/atau ketidakpastian.

Sementara itu, American Psychological Association (APA) mendeskripsikan CTS sebagai jenis paparan trauma terus-menerus yang berkaitan dengan tinggal di wilayah yang sedang dilanda kekerasan politik dan ancaman keamanan nasional.

Stres traumatis yang berkelanjutan juga menggambarkan dampak psikologis dari hidup dalam kondisi di mana terdapat ancaman nyata akan bahaya saat ini dan masa depan, bukan hanya pengalaman peristiwa traumatis di masa lalu. 

Kekhawatiran Masa Depan

Hubungan antara situasi politik sebuah negara dengan kesehatan mental warganya sebenarnya sudah menjadi pembahasan global.

Menurut data kesehatan yang dipublikasikan oleh mentalhealth.org.uk, ketidakpastian dalam dunia politik dapat memengaruhi kesehatan mental. Dan ini tidak hanya dialami oleh pelaku politik, tapi juga rakyat biasa. Penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association pada 2016 mengungkapkan bahwa 66 persen orang mengalami stres karena iklim politik di negaranya.

Konsep CTS sendiri awalnya dikembangkan pada 1980-an oleh sekelompok profesional kesehatan mental yang bekerja di Afrika Selatan (Afsel) di era apartheid. Saat itu mereka berupaya memberikan dukungan psikologis kepada korban kekerasan politik dalam konteks penindasan negara yang sedang berlangsung.

Kembali ke situasi politik Indonesia sekarang ini, yang menurut sebagian orang bahwa negara ini sedang tidak baik-baik saja. Sebagian besar masyarakat khawatir bagaimana menghadapi masa depan jika situasi politik yang tidak berpihak pada rakyat ini terus berlanjut.

Audrey menuturkan, paparan CTS secara terus menerus memang sangat mungkin meningkatkan risiko trauma seperti kecemasan, merasa tidak aman, dan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.

“Trauma sistemik tidak hanya memengaruhi kita saat ini, tapi juga berdampak pada generasi berikut. Anak yang tumbuh di lingkungan kekerasan sering mengalami gangguan perkembangan emosional,” pungkasnya.