Mencintai Tanpa Syarat Juga Bisa Berubah Toksik, Kenali Batasan-batasannya
YOGYAKARTA – Secara umum dipahami bahwa mencintai seseorang berarti menerima apa adanya dengan sepenuh hati. Namun ternyata, penting dikenali bahwa cinta tanpa syarat juga memiliki batasan-batasan. Kalau tidak, hubungan dua orang yang didasari aspek mulia ini bisa berubah jadi racun.
Penelitian tentang kesehatan mental banyak membuktikan, cinta yang nyata dialami berbeda dari konsep cinta dalam buku, film, atau lirik lagu. Maka kenali batasan berikut ini supaya tetap disadari kapan perasaan cinta mendorong seseorang berperilaku beracun.
1. Jangan terlalu cepat berkorban demi orang yang Anda cintai
Pengobanan, dalam konteks tertentu, misalnya memperjuangkan hak asasi, memang mulia. Tetapi terlalu cepat berkorban tanpa mengetahui konteks yang mengelilinginya, perlu dihindari. Menurut psikolog Francesca Righetti dilansir Therapy Tips, Jumat, 23 Agustus, tentu saja mengesampingkan kepentingan pribadi demi orang yang dicintai menunjukkan rasa hormat. Tetapi menurut penelitian, ada akibat yang terjadi baik bagi orang yang berkorban maupun penerimanya.
Menurut penelitian yang dilakukan Righetti, orang yang berkorban mengalami kesejahteraan yang lebih rendah. Karenanya “pengorbanan” mengharuskan mereka rela melepaskan preferensi dan tujuan mereka sendiri. Penerima juga berada ‘di antara’, mereka senang karena dicintai dan merasa diterima. Tetapi mereka juga merasa memiliki “hutang”.
Saran Righetti, ubah fokus dengan melihat sisi positif. Kedua, pertimbangkan kembali perlu atau tidaknya berkorban. Terkadang pengorbanan diperlukan untuk mempertahankan hubungan. Namun ada kalanya pengorbanan dapat dihindari sesuai urgen atau tidaknya kebutuhan.
2. Kenali perilaku yang tidak etis dan jangan terlalu “lunak” jika terjadi
Karena cinta, seseorang kadang gagal berbicara jujur pada diri sendiri maupun orang yang ia cintai. Jelas psikolog Rachel Forbes dari Universitas Toronto, Kanada, ketika seseorang yang dekat dengan kita berperilaku tidak etis, kita menghadapi konflik antara harus menegakkan nilai moral dan mempertahankan hubungan.
Bahaya dari terlalu “lunak” atau tidak mengingatkan orang yang kita cintai saat berperilaku tidak etis, kita dapat menanggung sebagian beban perilaku buruk tersebut. Baik itu merasa malu dan bersalah. Kalau tidak ditegur, berkemungkinan akan berulang. Maka saran Forbes, penting merenungkan nilai moral yang kita pegang. Jika tindakan orang yang kita cintai berseberangan, boleh kok mengingatkan.
3. Hindari membangun hubungan berdasarkan manfaat
Seseorang bisa memilih menjalin hubungan jangka panjang dengan seseorang yang mencintainya. Ada pula yang memilih status keluarga, tingkat ekonomi, hingga kesempatan membuka peluang mencapai tujuan ketika menjalin hubungan dengan orang tersebut. Pandangan ini tidak salah, namun menurut psikolog Xijing Wang, pendekatan ini disebut “perspektif instrumentalis”.
Baca juga:
Perspektif instrumentalis mengobjektivikasi atau memandang seseorang sebagai objek yang bisa membantu kita mencapai tujuan. Orang yang mengalaminya, mungkin merasa direndahkan karena dianggap sebagai “alat” untuk memfasilitasi pencapaian tujuan orang lain.
Wang menyebutkan alasan kenapa pendekatan ini berdampak negatif. Pertama, setiap orang memiliki tujuan dan pencapaian yang selalu aktual. Tidak selalu sama setiap orang. Dalam sepuluh tahun ke depan misalnya, mungkin tujuan dan hal yang ingin dicapai akan berbeda. Maka memakai pendekatan instrumentalis bisa membuat setiap orang yang menjalin hubungan dengan pendekatan ini akan merasakan kekecewaan. Kedua, perlakukan mengobjektivikasi, tentu tidak berperasaan karena hanya diperalat mendapatkan keuntungan saja.
Menurut Mark Travers, Ph.D., memiliki pasangan yang selalu bersama dalam suka dan duka adalah suatu berkah. Tetapi setiap pasangan penting terus-menerus saling memeriksa diri sendiri atau mengevaluasi hubungan dengan jujur. Ini bermanfaat dalam memastikan apakah dinamika hubungan romantis berjalan dengan sehat tanpa perilaku beracun.