Gangguan Internal dan Tekanan Eksternal di Partai Golkar

JAKARTA - Mundurnya Airlangga Hartarto dari posisi Ketua Umum Partai Golkar pada Sabtu, 10 Agustus 2024, mengejutkan publik. Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, tiba-tiba politisi dan teknokrat lulusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ini mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan yang telah diembannya sejak 4 Desember 2019.

Keputusan ini menimbulkan banyak tanda tanya. Airlangga dianggap berhasil memimpin Partai Golkar sejak menggantikan Setya Novanto yang terjerat kasus hukum pada 2019. Di bawah kepemimpinannya, jumlah kursi Golkar di DPR meningkat dari 85 kursi pada 2019 menjadi 102 kursi pada 2024. Ia juga dinilai sukses mengantarkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024 dengan perolehan 58 persen suara.

Dalam pidatonya, Airlangga menyebutkan bahwa keputusannya mundur didasarkan pada pertimbangan menjaga keutuhan Golkar dan memastikan stabilitas transisi pemerintahan dari Presiden Jokowi ke presiden terpilih Prabowo Subianto. Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci maksud dari menjaga keutuhan partai dan stabilitas transisi pemerintahan tersebut.

Berbagai spekulasi pun muncul. Sebagian pihak percaya bahwa pengunduran diri Airlangga tak mungkin terjadi tanpa adanya tekanan atau persoalan. Beberapa orang mengaitkannya dengan tekanan dari pihak lain, bahkan tuduhan mengarah ke Presiden Joko Widodo. Namun, Jokowi telah membantah tudingan ini dalam beberapa kesempatan.

"Soal Pak Airlangga itu urusan internal Partai Golkar. Di partai itu ada proses dan mekanisme, silahkan ditanyakan ke partai," kata Presiden Jokowi saat menanggapi pertanyaan wartawan terkait isu tekanan terhadap Airlangga.

Sementara itu, di kalangan internal Golkar, situasi terlihat tenang. Mereka segera menggelar Munas untuk memilih ketua umum baru, seolah-olah tidak ada masalah besar yang terjadi. Namun, publik tetap kebingungan.

Ketua Panitia Rapimnas dan Munas Partai Golkar, Bambang Soesatyo alias Bamsoet saat memberikan sambutan dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) dan Musyawarah Nasional (Munas) Golkar, Selasa, 20 Agustus 2024.
 

Perebutan kepemimpinan di Golkar sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, terjadi dualisme kepemimpinan antara kubu Agung Laksono dari hasil Munas Bali dan kubu Aburizal Bakrie dari hasil Munas Jakarta. Konflik ini mereda setelah mereka sepakat mengadakan Munas bersama yang menghasilkan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar. Namun, Setya Novanto terpaksa mundur sebelum masa kepemimpinannya habis karena terjerat kasus korupsi E-KTP, sehingga Munas kembali digelar dan Airlangga Hartarto terpilih sebagai ketua umum.

Mandat Munas 2019 Jadi Soal

Mencari tahu penyebab mundurnya Airlangga mungkin bisa dilakukan dengan menelusuri peristiwa sebelumnya. Pada Juni 2023, sudah ada desakan dari Dewan Pakar Golkar yang terdiri dari eksponen lama seperti Agung Laksono, Muhammad Ridwan Hisyam, dan Lawrence Siburian, agar Airlangga mundur. Mereka merasa tidak puas dengan kepemimpinan Airlangga, terutama karena ia tidak segera melaksanakan rekomendasi Munas 2019 yang mengamanatkan Golkar untuk mengajukan calon presiden.

Ketua Pimpinan Sidang Munas XI Partai Golkar Adies Kadir saat konferensi pers di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (20/8/2024). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)

Hingga menjelang Pilpres 2024, Airlangga belum mendeklarasikan diri sebagai capres, sehingga timbul kekhawatiran bahwa Golkar akan terpuruk di bawah kepemimpinannya. Dewan Pakar pun menggelar rapat di rumah Agung Laksono dan mengeluarkan tiga rekomendasi, termasuk desakan untuk menggelar Munaslub guna mengganti Airlangga.

Tiga rekomendasi tersebut adalah: pertama, memerintahkan ketua umum untuk membentuk poros keempat setelah muncul tiga poros capres; kedua, mendorong Airlangga untuk mendeklarasikan diri sebagai capres paling lambat Agustus 2023; dan ketiga, mengusulkan program "Airlangga Menyapa Rakyat" untuk menyukseskan Pilpres dan Pileg.

Hisyam bahkan menyatakan siap menjadi panglima perang untuk memenangkan Airlangga dalam Pilpres demi menghormati mandat Munas 2019. Namun, Airlangga tidak pernah menyatakan kesediaannya maju sebagai capres. Gerakan Munaslub pun tidak mendapat dukungan penuh dari kader Golkar. Sebagian kader berpendapat bahwa mandat Munas 2019 tidak harus menjadikan Airlangga sebagai capres, melainkan calon lain yang diusung Golkar. Desakan Munaslub pun mereda, dan beberapa nama dari Dewan Pakar yang menuntut mundurnya Airlangga diperiksa oleh Dewan Etik Golkar.

Sejak itu, Dewan Pakar mulai bergerak, mendekati tokoh-tokoh Golkar yang memiliki kedekatan dengan RI 1. Sejarah Golkar menunjukkan bahwa partai ini selalu kuat jika mendapat dukungan dari presiden yang berkuasa.

Ujang Komarudin menegaskan bahwa syarat menjadi Ketua Umum Golkar adalah memiliki kedekatan dengan RI 1 dan direstui oleh presiden yang berkuasa. Menurutnya, ketua umum Golkar harus memiliki jabatan di pemerintahan karena ada "saham" pemerintah di partai tersebut.

Hisyam menyebutkan tiga tokoh Golkar di kabinet Jokowi yang dianggap setara dengan Airlangga: Luhut Binsar Panjaitan, Bahlil Lahadalia, dan Bambang Soesatyo. Dewan Pakar pun mengutus Hisyam untuk mendekati mereka. Luhut menyatakan tidak bisa karena kesibukannya, sedangkan Bahlil bersedia dengan syarat dukungan dari DPD tingkat I. Bambang Soesatyo belum menyatakan kesediaannya, meskipun ada indikasi ia akan bersedia dicalonkan.

Meskipun serangan dari gerakan Munaslub tampak mereda, Airlangga masih menghadapi gangguan dari internal partai dan eksternal, termasuk dari Kejaksaan Agung. Pada 18 Juli lalu, Airlangga diperiksa selama 12 jam sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi perizinan ekspor minyak sawit mentah atau CPO, yang melibatkan Kementerian Perdagangan serta perusahaan Wilmar dan Permata Hijau. Meskipun Kejaksaan Agung menegaskan bahwa pemeriksaan ini tidak terkait politik, hal ini menjadi faktor yang diperhitungkan oleh lawan politik Airlangga.

Gangguan tidak hanya datang dari internal partai, tetapi juga dari eksternal, seperti Kejaksaan Agung. Pemeriksaan Airlangga oleh Kejaksaan Agung terkait kasus dugaan korupsi CPO juga menjadi pemicu bagi lawan-lawan politiknya untuk mempercepat proses pengunduran dirinya.