Target Penerimaan Negara 2025 di Rp2.997 Triliun Bakal Berat Dicapai

JAKARTA - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini menyampaikan target penerimaan negara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 sebesar Rp2,997 triliun sulit dicapai, bila pertumbuhan ekonomi nasional stagnan di bawah 5 persen.

Menurut Didik kondisi makro ekonomi di dalam negeri tengah mengalami penurunan cukup berat dimana daya beli masyarakat turun dan kelas menengah juga berat bahkan turun kelas.

"Target ini sulit atau bahkan tidak bisa dicapai jika ekonomi tumbuh stagnan di bawah atau di sekitar 5 persen dan tidak sesuai janji kampanye presiden terpilih hyang akan tumbuh lebih tinggi lagi. Tidak usah seperti janji kampanye pertumbuhan ekonomi 8 persen," jelasnya dalam keterangannya, dikutip Selasa, 20 Agustus.

Didik menjelaskan penerimaan negara dipatok Rp2,997 triliun, terutama bersumber dari dari pajak sebesar Rp2,490 triliun. Sesuai tren perkembangan penerimaan negara RAPBN tahun sebelumnya sebesar Rp2,802 triliun dan juga target penerimaan pada 2024 sebesar Rp2,309 triliun, menurutnya target sasaran penerimaan negara tahun depan masuk akal karena tidak naik pesat dibandingkan dengan penerimaan negara dan penerimaan pajak dari tahun sebelumnya.

"Pemerintah sendiri pada saat ini masih pesimis bahwa target penerimaan pajak pada anggaran berjalan tahun 2024 akan bisa dicapai. Apalagi pada tahun 2025 dimana tantangannya jauh lebih besar lagi. Janji kampanye yang menuntut pengeluaran besar, sementara penerimaan pajak tidak bisa digenjot lebih dari kapasitasnya sekarang," ujarnya.

Didik menyampaikan jika pertumbuhan ekonomi bisa didorong 6-6,5 persen, maka sasaran penerimaan pajak bisa dicapai.

Didik menjelaskan, faktor pertumbuhan ekonomi makro seperti, investasi serta kegiatan perdagangan terutama ekspor akan menentukan target penerimaan pajak tersebut bisa dicapai atau tidak.

Menurut Didik pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari sekarang bisa dicapai jika ada kebijakan makro struktural dimana investasi dan ekspor bisa didorong menjadi lokomotifnya.

"Sekarang Indonesia dalam hal kebijakan seperti ini kalah dengan negara tetangga Vietnam dan Filipina," jelasnya.

Dalam postur RAPBN, Didik menyampaikan defisit APBN Indonesia yang terus berlanjut dari tahun ke tahun dan bahkan terus meningkat. Defisit anggaran RAPBN 2025 yang direncanakan Rp616,2 triliun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, defisit ini sangat besar dan mau tidak mau harus ditambal dengan utang.

Selain itu, Didik menyampaikan selama 10 tahun masa pemerintahan Jokowi ini kebijakan utang memang ugal-ugalan sehingga warisannya akan terbawa pada masa pemerintahan Prabowo.

"Dengan janji politik yang banyak sekali, maka sulit bagi pemerintahan yang akan datang bisa mengurangi ketergantungan pada utang dengan mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang ada," tuturnya.

Menurut Didik sehingga laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat dan merusak iklim makro karena suku bunga akan didorong naik terus.