JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto membutuhkan usaha lebih untuk mencapai penerimaan negara yang ditargetkan mencapai Rp3.000 triliun. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai tahun depan disebut sebagai salah satu cara pemerintah memenuhi target tersebut.
Pemerintahan Prabowo Subianto telah memasang target penerimaan negara sebesar Rp3.005,1 T. Target ini tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Angka ini juga naik dari rancangan semula sebesar Rp2.996,87 T.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penerimaan perpajakan akan menyumbang Rp2.490,9 triliun terhadap total penerimaan negara tahun depan.
"Pendapatan negara bukan pajak (PNBP) akan mencapai Rp513,6 triliun dan hibah sebesar Rp0,6 triliun," kata Sri Mulyani saat konferensi pers di Istana Kepresidenan, Selasa (10/12/2024).
Mengutip laman Kementerian Keuangan, sumber penerimaan negara adalah semua pendapatan yang diperoleh untuk membiayai belanja negara. Atau bisa juga diartikan bahwa sumber-sumber penerimaan negara adalah semua uang atau aset yang dimiliki negara.
Sumber penerimaan negara dalam APBN di Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah.
Pengaruh Kemenangan Donald Trump
Naiknya target pendapatan negara tahun depan karena adanya indikasi kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menjadi Rp513,64 triliun dari sebelumnya Rp505,38 triliun pada 2024. Sedangkan belanja negara tahun depan mencapai Rp3.621,3 triliun. Dari total tersebut, belanja pemerintah pusat Rp2.701,4 triliun dan transfer ke daerah Rp919,9 triliun.
Belanja Pemerintah Pusat akan ditujukan untuk mendukung program priotas pembangunan seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan dan energi, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan nasional.
Namun ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana menyangsikan indikasi kenaikan PNPB seperti yang disinggung Sri Mulyani. Andri menyebut terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat menjadi salah satu alasannya meragukan akan kenaikan PNBP tahun depan.
Dituturkan Andri, harga komoditas, yang termasuk dalam PNBP, memang mengalami kenaikan sangat tinggi pada 2022. Hal ini imbas dari perang Ukraina-Rusia, sehingga ini berdampak langsung pada PNBP 2023. Namun saat Trump mengalahkan Kamila Harris dalam Pilpres AS beberapa waktu lalu, sikap Trump yang lunak terhadap Rusia diprediksi akan turut memengaruhi harga komoditas.
“Harga komoditas batu bara, gas, dan lain-lain bisa turun karena kemenangan Trump. Sehingga ke depannya, bisa kembali menurunkan harga komoditas gas, baru bara. Ketika harga-harga ini turun maka sulit tercapai target tersebut,” Andri menjelaskan.
Atas dasar itulah, Andri menilai akan sulit bagi pemerintah mencapai target penerimaan negara hingga Rp3.000-an T tahun depan. Terlebih jika melihat situasi ekonomi yang tengah lesu seperti sekarang ini. Andri menyebut pemerintah desperate mendongkrak pemasukan negara demi memenuhi target tersebut.
Dia pun menyebut pemerintah akan jungkir balik memeuhi target dengan beberapa cara di antaranya mengambil kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak yang seharusnya dibayar dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Langkah ini bisa menjadi opsi pemerintah untuk menarik uang dari para wajib pajak yang disinyalir menyimpan secara rahasia di negara-negara bebas pajak.
Ini bukan pertama kalinya pemerintah memberlakukan kebijakan tax amnesty. Sebelumnya, kebijakan serupa pernah diberlakukan pada 2016 dan 2022, namun hasilnya tak sesuai harapan.
Direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan tax amnesty merupakan kebijakan blunder untuk menaikkan penerimaan pajak. Pengampunan pajak yang terlalu sering justru akan membuat kepatuhan orang kaya dan korporasi kakap turun. Para pengemplang itu, kata dia, akan berpikir pemerintah akan terus melakukan tax amnesty.
Konsumsi Rumah Tangga Belum Optimal
Cara lain selain memberlakukan tax amnesty adalah dengan menaikkan PPN menjadi 12 persen dengan harapan mampu menambah penerimaan negara dari sektor pajak. Namun Andri memprediksi sulit mendongkrak penerimaan pajak tahun depan, ketika tarif pajaknya dinaikkan.
“Outlook ini didasarkan optimisme, namun sulit untuk mencapainya. Pemerintah tampak desperate sehingga memberlakukan tax amnesty jilid III, dan kenaikan PPN menjadi 12 persen,” jelas Andri.
“Penerimaan pajak tanpa dinaikan saja sulit, apalagi kalau dinaikan. Tax amnesty juga bukan alat pendapatan secara instan,” tegasnya.
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi CELIOS Nailul Huda menilai bahwa target pendapatan tersebut cukup berat untuk dicapai mengingat kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya berkisar 5 persen.
BACA JUGA:
Dari angka yang ditargetkan tersebut memang yang meningkat adalah setoran penerimaan pajak dengan porsi 65 persen lebih. Tapi menurut Huda, jika melihat dari sisi pertumbuhan, pertumbuhan penerimaan perpajakan tahun depan mencapai 13 persen, yang diambil dari target penerimaan perpajakan 2025 dikurangi outlook penerimaan perpajakan 2024).
"Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penerimaan perpajakan natural yang saya hitung di angka 7,7 sampai 9,7 persen. Maka ada effort tambahan untuk mencapai target penerimaan perpajakan. Ya ini yang saya lihat, kenapa pemerintah memaksakan adanya kenaikan tarif PPN," jelasnya.
Namun, Huda melanjutkan, penerimaan negara dari pajak akan terhambat oleh konsumsi rumah tangga yang belum optimal.
"Untuk menutupi kekurangan, PNBP sepertinya akan diandalkan. Namun, hal ini akan terbatas dan bergantung pada harga komoditas global tahun depan. Jika harga komoditas meningkat, saya rasa PNBP kita bisa naik. Namun, tampaknya akan ada trade off dengan kenaikan harga BBM," kata Huda.