Ironi Kematian Aulia Risma Lestari di Tengah Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis

JAKARTA – Kasus dugaan bullying atau perundungan terhadap Aulia Risma Lestari, seorang dokter muda yang tengah menempuh pendidikan spesialis, menyedot perhatian masyarakat. Aulia meninggal dunia karena bunuh diri akibat perundungan yang ia alami.

Aulia, 22 tahun, merupakan seorang mahasiswi program studi anestesi di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah. Ia ditemukan meninggal dunia pada Senin (12/8/2024) malam di kamar kosnya di kawasan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur.

Aulia diduga bunuh diri dengan menyuntikkan obat bius jenis Roculax. Hal nekat tersebut dilakukan lantaran ia tidak kuat dengan perundungan yang dialaminya dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di RS Kariadi.

Seorang wartawan memotret suasana rumah kos terkait meninggalnya seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran UNDIP di dalam kamar kosnya di Kelurahan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (15/8/2024). (ANTARA/AJI STYAWAN)

Pengamat kesehatan dari lembaga kajian Central for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Dian Saminarsih menegaskan, membuka dan mengakui adanya perundungan dalam PPDS, maka persoalan serupa di masa mendatang bisa dicegah.

“Sangat kejam seseorang sampai harus mengorban nyawanya hanya demi mendapat gelar dokter spesialis. Kok sangat tidak manusiawi,” kata Dian.

Terjadi Turun Temurun

Perundungan sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah terjadi, bahkan di dunia pendidikan kedokteran sekalipun. Umumnya hal ini dilakukan oleh dokter senior terhadap juniornya yang sedang menempuh pendidikan spesialis.

Pada 2020, seorang dokter yang menempuh pendidikan spesialis di Universitas Airlangga dan RSUD dr Soetomo bunuh diri, diduga karena perundungan. Kasus di mana para dokter mengundurkan diri dari pendidikan spesialis juga cukup banyak jumlahnya.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga telah menerima 320 laporan terkait kasus perundungan dokter pada 2023/2024. Terkait perundungan di FK Undip, Kemenkes mengaku telah memverifkasi tiga kasus pada rentang waktu tersebut.

Sebelum mencuat kasus bunuh diri yang dilakukan Aulia Risma, publik juga sempat digegerkan oleh pengakuan dokter di PPDS yang menjadi korban bullying seniornya. Bentuk-bentuk perploncoan oleh para senior terhadap juniornya mulai dari jam jaga yang begitu panjang, bisa mencapai 16 sampai 36 jam.

Menkes Budi Gunadi Sadikin juga tahu isu perundungan ini sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu. Ia sendiri yang menyebut adanya laporan di mana peserta didik dijadikan asisten pribadi para seniornya seperti membayari laundry, mengantar anak, bahkan dimintai patungan untuk traktir makan hingga membeli tiket pesawat liburan.

Kasus perundungan terhadap calon dokter spesialis sudah berulang kali terjadi, tapi tidak ada penyelesaian yang konkret. (Unsplash)

Untuk kasus meninggalnya Aulia Risma, pihak Undip menyatakan korban mengalami masalah kesehatan dan membantah adanya unsur perundungan. Pernyataan berbeda dilontarkan Kemenkes yang meyakini korban bunuh diri akibat perundungan.

Pengamat kesehatan dari CISDI Diah Saminarsih menuturkan, latar belakang kematian calon dokter spesialis ini menjadi bola liar karena tidak ada diagnosis medis terkait kondisi kesehatan mental korban.

Menurut Diah, FK Undip dan RS Kariadi harusnya terbuka, bukan malah menutu-nutupi masalah yang justru membuat perundungan berpotensi terus berulang di masa yang akan datang.

"Jadi akui dulu ada masalah dan kalau ada masalah jangan ditutup-tutupi, itu hanya menutupi pucuk gunung es kan?" ungkap Diah.

"Perundungan itu kan masalah yang turun-temurun antargenerasi, harus diakui dong. Kemudian pendidikan PPDS harus di-review kembali jika ternyata memberikan tekanan besar,” Diah menambahkan.

Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis

Kasus perundungan di dunia pendidikan kesehatan terjadi ketika Indonesia masih kekurangan dokter spesialis. Mengutip laman Universitas Gadjah Mada (UGM), dengan perhitungan target rasio 0,28: 1.000 maka saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar 30 ribu dokter spesialis.

Butuh waktu lebih dari 10 tahun bagi Indonesia untuk memenuhi jumlah dokter spesialis tersebut dengan asumsi jumlah penyelenggara prodi dokter spesialis sebanyak 21 dari 92 fakultas kedokteran dengan menghasilkan lulusan spesialis sekitar 2.700 tiap tahun.

Pakar kesehatan masyarakat Hermawan Saputra mengatakan, perundungan terhadap PPDS terjadi karena sistem pendidikan dokter spesialis yang ada di Indonesia.

Tidak semua perguruan tinggi di Indonesia memiliki prodi dokter spesialis, sehingga kuotanya sangat terbatas. Dengan demikian, terjadi kompetisi para dokter yang sangat ketat tergantung kapasitas jaringan dan keuangan.

"Ini yang menyebabkan kompetisi terjadi dan di satu sisi, orang yang masuk juga harus siap dengan berbagai proses pendidikan yang padat, ketat, dan feodalistik jadinya. Adanya bullying senior-junior yang sangat ketat, terutama di tahap-tahap ketika mereka masuk ke dalam program stase," kata Hermawan.

Program dokter spesialis juga seringkali membuat dokter muda secara terpaksa menjalin hubungan intens dengan para senior. Tapi hubungan tersebut dimanfaatkan oleh oknum dokter senior.

Sementara itu, Dosen Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Ede Darmawan juga tidak menampik adanya budaya perundungan di kalangan dokter spesialis. Ia bahkan mengaku budaya ini terjadi sejak lama dan terus diturunkan karena pihak terkait tidak mengambil langkah konkret untuk memutusnya.

“Ada perasaan dendam memang, ‘Dulu saya digituin oleh senior’, sekarang jadi begitu,” kata Ede.

Sangat disayangkan memang, ketika Indonesia kekurangan dokter spesialis, calon-calon dokter spesialis ini, meski tidak semuanya, justru dibayangi perasaan takut saat menempuh PPDS. Padahal, mereka ini nantinya memberi manfaat, bukan hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tapi juga masyarakat.