PHK Terpa Industri Tekstil, Indef: Alarm Tanda Bahaya!

JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai tren pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menerpa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan alarm tanda bahaya.

Kepala Center of Industry, Trade and Investment Indef Andry Stario Nugroho mengungkapkan bahwa jumlah tenaga kerja yang terkena PHK di Indonesia terus meningkat selama Januari hingga Juni 2024.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), terdapat 32.064 orang tenaga kerja yang terkena PHK hingga akhir Juni 2024. Bahkan, angka tersebut naik 21,4 persen dari periode yang sama di tahun lalu yang sebanyak 26.400 orang. 

Sementara berdasarkan analisis Indef, sambung Andry, tren PHK umumnya terjadi di pusat-pusat sentra industri. Salah satu sektor yang cukup besar terkena PHK adalah industri tekstil dan pakaian jadi.

“Terkait masalah PHK, ini yang tentunya menurut kami adalah alarm sinyal tanda bahaya. Capaian (jumlah PHK di Indonesia) ini cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Ini yang kami melihat bahwa ada yang tidak beres di tahun ini,” ujar Andry dalam diskusi secara virtual, Kamis, 8 Agustus.

Lebih lanjut, Andry bilang, sebelum pandemi  COVID-19, industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia terus mengalami pertumbuhan di tiap kuartalnya. Namun, sambung dia, sekaramg trennya justru berbalik melemah dengan terkontraksi 0,88 persen di kuartal II-2024.

“Ini yang menjadi pertanyaan, mengapa di hari ini sektor-sektor yang menjadi sektor strategis dan juga padat karya ini justru malah yang mendapatkan tekanan cukup besar,” katanya.

Jika melihat data 2023, sambung Andry, industri pengolahan non-migas berkontribusi 16,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan lima subsektor industri berkontribusi 12,3 persen. Dimana industri makanan dan minuman berkontribusi 6,5 persen.

Lalu, sambung Andry, industri farmasi, dan obat tradisional berkontribusi sebanyak 1,8 persen. Kemudian, industri elektronik sebesar 1,6 persen. Selanjutnya, industri alat angkuran (otomotif) sebesar 1,5 persen; serta industri tekstil dan pakaian jadi sebanyak 1 persen.

Andry memprediksi kontribusi industri tekstil dan pakaian bisa semakin menurun, dan tidak lagi masuk dalam bagian lima subsektor industri tersebut.

“Saya yakin bahwa di tahun 2024 ini, industri logam dasar akan menyusul tekstil dan pakaian jadi sebagai kontributor kelima industri terbesar terhadap PDB, dan tekstil pada akhirnya akan turun,” jelasnya.

Karena itu, Andry berharap pemerintah bisa menangkap sinyal-sinyal yang terjadi di industri tekstil dan pakaian jadi. Termasuk juga menyiapkan kebijakan yang tepat untuk mendorong pemulihan industri ini.

“Tentunya kami tidak ingin hanya satu kementerian saja yang melihat ini menjadi permasalahan yang urgent (penting) untuk diselesaikan, tetapi juga lintas stakeholders pemerintahan,” kata dia.