Studi WHO Temukan Banyak Gadis Remaja Usia 15-19 Tahun Alami Kekerasan Fisik atau Seksual dari Pasangannya
JAKARTA - Sekitar seperempat gadis remaja yang pernah menjalin hubungan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, menurut studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Hari Selasa, yang menyerukan lebih banyak tindakan pencegahan.
Analisis WHO yang dipublikasikan dalam jurnal medis Lancet didasarkan pada survei terhadap ribuan gadis remaja berusia antara 15 dan 19 tahun dari 154 negara dan wilayah.
Hasil survei menunjukkan 24 persen dari mereka pernah menjadi korban kekerasan pasangan intim setidaknya satu kali, dengan 16 persen melaporkannya dalam setahun terakhir.
Peneliti utama Dr. Lynnmarie Sardinha mengatakan, analisis tersebut sebagian dimotivasi oleh kekhawatiran wanita muda "terabaikan" dan tidak menerima dukungan.
"Saya sangat terkejut melihat persentase besar gadis remaja yang pada dasarnya sudah menjadi korban kekerasan, bahkan sebelum ulang tahun ke-20 mereka," katanya kepada Reuters, seperti dilansir 1 Agustus.
"Kita tertinggal dari yang seharusnya," lanjutnya.
Data tersebut berdasarkan survei yang dilakukan antara tahun 2000 dan 2018. Sardinha mengatakan, data yang dikumpulkan sejak saat itu masih diverifikasi dan tampaknya menunjukkan hanya ada "sedikit penurunan."
Tindakan kekerasan yang dihitung dalam survei tersebut termasuk menendang atau memukul serta tindakan seksual yang tidak diinginkan, seperti pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan.
Baca juga:
- Presiden Putin Sambut Warga Rusia yang Dibebaskan, Kremlin: Itu Penghormatan
- Tahanan Gaza Alami Kekerasan dan Kelaparan Selama Ditahan Israel
- Sambut Warga AS yang Dibebaskan dalam Pertukaran Tahanan, Presiden Biden: Kalian di Tempat Seharusnya
- AS Akui Pemimpin Oposisi Edmundo Gonzalez Menangi Pemilu Venezuela, Menlu Blinken: Bukti Banyak
Data tersebut, yang dipecah berdasarkan negara dan wilayah, menunjukkan korelasi yang tinggi antara kekerasan dan hak-hak perempuan, dengan negara-negara tempat anak perempuan dan perempuan memiliki akses terbatas terhadap pendidikan dan hukum waris yang tidak setara menunjukkan tingkat kekerasan yang lebih tinggi.
Angka tertinggi berada di Oseania diikuti oleh Afrika, dengan 49 persen anak perempuan melaporkan kekerasan pasangan intim di Papua Nugini dan 42 persen di Republik Demokratik Kongo, analisis menunjukkan. Sementara, angka terendah adalah Eropa di mana 10 persen melaporkan insiden.
"Mengingat kekerasan selama tahun-tahun pembentukan yang kritis ini dapat menyebabkan kerusakan yang mendalam dan berkelanjutan, hal ini perlu ditanggapi dengan lebih serius sebagai masalah kesehatan masyarakat – dengan fokus pada pencegahan dan dukungan yang terarah," kata kata Direktur Departemen Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta Penelitian WHO Dr. Pascale Allotey.