Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Sering Dimanfaatkan Dinasti Politik
JAKARTA – Isu keterwakilan perempuan seringkali ditumpangi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan dominasi patronase laki-laki, menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (PUSKAPOL UI) Hurriyah.
Sebelumnya, Center for Stratetic and International Studies (CSIS) menemukan bahwa jumlah jumlah anggota legislatif perempuan terpilih pada Pemilu 2024 mengalami peningkatan dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.
Namun, dalam laporan CSIS yang ditulis oleh Kepala Departemen dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes menyebutkan, dari 127 caleg perempuan terpilih, 58 di antaranya terindikasi dinasti politik, sedangkan 69 lainnya tidak.
“Meskipun representasi caleg perempuan terpilih meningkat dibandingkan pemilu sebelumnya, tapi ada indikasi 45,67 persen dari 127 caleg perempuan terpilih tersebut terasosiasi dengan dinasti politik,” tulis Arya, seperti dikutip Kompas.
Para caleg yang terasosiasi dinasti politik datang dari keluarga pejabat publik yang pernah atau sedang menjabat, baik anak, istri, adik, suami, kakak, keponakan, atau memiliki hubungan kekerabatan lain.
Dilihat dari partai politik (parpol) asal, PDI Perjuangan menjadi partai dengan caleg perempuan terpilih yang paling banyak terindikasi dinasti politik. Dari 27 caleg perempuan PDI, sebanyak 16 orang atau sebesar 59,3 persen terasosiasi dengan dinasti politik. Angka ini diikuti dengan Partai Nasdem (57,1 persen) dan Partai Gerindra (57,9 persen).
Sementara, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi parpol yang caleg perempuan terpilihnya paling minim dinasti politik. Dari total 14 caleg perempuan, hanya satu yang terasosiasi dinasti politik.
Memanfaatkan Regulasi Kuota Keterwakilan Perempuan
Menurut Direktur Eksekutif PUSKAPOL UI Hurriyah terkait adanya indikasi dinasti politik dalam keterwakilan perempuan di Senayan, sebenarnya sudah menjadi perhatian sejak lama. Temuan serupa juga pernah diungkapkan PUSKAPOL UI pada pemilu sebelumnya. Hurriyah menuturkan kondisi keterwakilan perempuan yang ada di Pemilu 2024, tidak jauh beda dengan 2019.
Saat itu, mereka menganalisis tren keterwakilan perempuan, tapi juga aspek latar belakang keterpilihan perempuan.
“Temuan kami lebih dari 40 persen perempuan yang terpilih dari 118 anggota DPR RI perempuan muncul hubungan kekerabatan,” ujar Hurriyah dalam acara diskusi media terkait gender dan korupsi yang digelar di Tebet, Jakarta Selatan, Rabu 10 Juli 2024.
Hal ini, dijelaskan Hurriyah, terjadi karena keterwakilan perempuan seringkali dimanfaatkan berbagai kepentingan, termasuk patronase laki-laki.
“Jadi kita sedang tidak bicara soal keterwakilan perempuannya saja, tapi sedang bicara bagaimana dominasi jaringan patronase laki-laki yang berusaha memanfaatkan berbagai momentum, memanfaatkan kelemahan regulasi, memanfaatkan momentum regulasi kuota perempuan untuk melanggengkan jaringan patronase dan perempuan jadi salah satu cara saja,” imbuhnya.
Terkait dinasti politik di legislatif, Hurriyah mengatakan pada dasarnya sebenarnya tidak hanya terjadi pada wakil-wakil perempuan, tapi bisa terjadi pada anak, saudara, kerabat yang memiliki hubungan kekerabatan.
Sejak Pemilu 2009, PUSKAPOL ada tiga tren utama yang mendorong pemilihan seseorang, yaitu hubungan kekerabatan, popularitas, dan status ekonomi, dimana yang memiliki status ekonomi lebih tinggi berpeluang lebih besar dalam pemilihan.
Melihat adanya celah memanfaatkan regulasi keterwakilan perempuan 30 persen, PUSKAPOL UI mendorong agar pencalonan perempuan juga dibarengi penguatan substantif, kebijakan-kebijakan afirmatif di dalam lembaga parpol agar menghindari perempuan cuma digunakan sebagai proksi dari jaringan patronase laki-laki.
Keseriusan Kaderisasi Politisi Perempuan
Dalam riset 2019, PUSKAPOL UI mengusulkan kebijakan pendanaan untuk politisi perempuan. Hal ini bertujuan agar parpol punya keseriusan mengalokasikan sejumlah dana untuk kaderisasi politisi perempuan, sehingga ketika kalau mau mencalonkan perempuan mereka investasi dulu.
“Jadi nggak asal comot perempuan untuk anggota legislatifnya, tetapi diambil dari kader-kadernya sudah dilatih, mereka punya perspektif yang baik mengenai pemilu, mengenai demokrasi, mengenai politik perempuan,” jelas Hurriyah.
“Kalaupun mereka punya hubungan kekerabatan dengan seseorang, namun kapasitasnya bisa diandalkan,” sambungnya.
Baca juga:
- Peran Perempuan dalam Mendukung Inisiatif Antikorupsi di Lembaga Legislatif dan Penyelenggara Pemilu
- Secara Psikologis, Waktu Liburan Terasa Singkat adalah Hal Nyata
- Hukuman Ringan, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Hanya Rutinitas
- Survei Kepercayaan Publik Terhadap Polri Menjadi Anomali di Tengah Kasus Salah Tangkap Pegi Setiawan
Dengan proses kaderisasi yang baik, harapannya berbanding lurus dengan kemampuan dan kompetensi wakil rakyat yang terpilih. Ia pun mencontohkan bagaimana klan Kennedy di Amerika Serikat, salah satu dinastik politik paling populer yang lebih dari setengah abad menduduki jabatan penting, atau dinasti eks Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew.
“Jadi kalau mau meniru dinasti, jangan dinastinya saja yang diambil, tapi ada proses kaderisasi yang berjalan,” tegasnya.
“Masalahnya di Indonesia politisi kita ingin enaknya tapi dengan cara instan, mumpung lagi berkuasa maka anak-anaknya, istrinya, kerabatnya dikedepankan,” tambah Hurriyah.
Menurutnya, hal ini sekaligus mengonfirmasi argumen bahwa dominasi jaringan patronase laki-laki tidak hanya memperburuk praktik korupsi, tapi juga menghambat partisipasi politik perempuan.
“Kalau jumlah keterwakilan perempuan bertambah, bukan mereka yang punya perspektif perempuan tapi hanya jadi proksi patronase laki-laki,” pungkasnya.