Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Salampessy menyebut keterwakilan perempuan di Indonesia, baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif belum menunjukkan peningkatan yang berarti atau belum memenuhi ketentuan afirmasi 30 persen.

"Dalam rentang waktu 65 tahun sejak pengakuan negara terhadap hak politik perempuan, keterwakilan perempuan Indonesia di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif belum menunjukkan peningkatan yang berarti," kata Olivia Salampessy dalam acara "Pedoman Pemantauan Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang Memperkuat Peran dan Pemajuan Hak Perempuan Indonesia" di Jakarta, Antara, Selasa, 21 November. 

Pihaknya mencatat dalam 12 kali pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia, persentase keterwakilan perempuan di DPR yang tertinggi terjadi pada tahun 2019 sebanyak 20,87 persen atau 120 perempuan dari 575 anggota DPR.

Sedangkan untuk keterwakilan kepala daerah dan wakil kepala daerah perempuan terpilih paling tinggi di tahun 2015, yaitu 46 perempuan dari 1.646 calon.

"Selanjutnya fluktuatif menurun hingga tahun 2020, yang hanya ada 35 calon perempuan terpilih dari 1.432 calon," katanya.

Olivia Salampessy menambahkan berdasarkan data World Economic Forum, Indonesia berada di peringkat 87 dari 146 negara dengan skor 0,697 dalam Global Gender Gap Index tahun 2023.

"Skor Indonesia ini terbebani oleh Indeks Pemberdayaan Perempuan di bidang politik mencakup keterwakilan perempuan di parlemen maupun yang menjadi menteri di kabinet masih sangat rendah, yaitu 0,181 atau di bawah rata-rata global," katanya.

Padahal, Indonesia telah mengakui hak politik perempuan sejak diratifikasinya Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan atau The Convention on the Political Rights of Women menjadi Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958, juga Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination againts Women (CEDAW).