Sisi Mitologi Letusan Gunung Agung 1963: Sengsara dari Kepercayaan yang Dilanggar

JAKARTA - Gunung Agung adalah sebentuk pesona dari Pulau Bali. Sekalipun hanya setinggi 3.031 mpdl, Gunung Agung sejak dulu dianggap sebagai pusat peradaban orang Bali. Orang-orang menyebutnya sebagai tempat abadi para dewa. Pada 1963, Gunung Agung meletus. Bencana itu menewaskan ribuan jiwa. Dampaknya panjang. Jutaan orang lain kelaparan.

Secara historis, Gunung Agung dianggap sakral oleh masyarakat Bali. Pura Besakih di sekitar Gunung Agung jadi bukti. Pura itu diyakini sebagai tempat perantara para dewa menuju puncak Gunung Agung. Puncak itu sering dilambangkan sebagai istana para dewa. Sekalipun orang Bali Hidup di sebuah pulau, mereka lebih akrab ke gunung dibanding laut.

“Namun alasan yang jauh lebih penting adalah karena ruang sosial Bali diatur oleh sebuah kosmos yang tersusun secara hierarkis, berdasarkan atas pertentangan yang saling melengkapi antara ‘dunia atas’ (kaja), meliputi Gunung Agung sebagai gunung suci, sumber kesuburan dan kehidupan, persemayaman para dewata dan leluhur-leluhur yang didewakan. Dan ‘dunia bawah’ (kelod), yaitu arah laut, tempat para setan, ditandai penyakit-penyakit dan maut,” Michel Picard, dalam buku Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (2006).

Ilustrasi foto wilayah di sekitar Gunung Agung (Sumber: Commons Wikimedia)

Berkat Gunung Agung, tanah di sekitar lereng utama subur-subur. Oleh petani setempat, tanah Bali banyak digunakan bercocok tanam. Pesona bali dan Gunung Agung sempat pula diuraikan oleh Letnan Gubernur Hindia-Belanda Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Raffles menyebut pulau Bali sebagai tempat menarik dan memiliki susunan mineral yang sama dengan Pulau Jawa.

“Memiliki iklim yang sama dan tanah yang sama, memunyai gunung-gunung dari suatu ketinggian yang sebanding dan aliran sungai yang seimbang. Cocok untuk tujuan irigasi, ini memperoleh tingkat kesuburan yang sama, namun memiliki suatu pesisir yang dikelilingi pasir besi, tanpa adanya pelabuhan-pelabuhan atau pelabuhan yang bagus, berada dalam suatu pengukuran besar dan tidak memperoleh angka dari perdagangan eksternal, khususnya dengan para pedagang dalam kapal-kapal besar,” tulis Raffles dalam mahakaryanya The History of Java (1817).

Dampak letusan Gunung Agung

Selain memancarkan keindahan, Gunung Agung pernah mencapai masa tersuram dalam sejarah orang Bali. Masa itu ketika Gunung Agung mulai meletus sejak 1800, 1802, 1821, 1843, hingga yang terparah 1963. Letusan Gunung Agung pada 17 Maret 1963 jadi letusan paling hebat dalam sejarah Pulau Bali.

Korbannya mencapai ribuan. Letusannya yang menggelegar sempat diyakini sebagai kiamat oleh warga sekitar. Apalagi, setelahnya Pulau Bali mendapatkan masalah lain, seperti serangan hama, gagal panen, dan wabah pes.

Ilustrasi foto wilayah di sekitar Gunung Agung (Sumber: Commons Wikimedia)

“Gunung Agung di Pulau Bali meletus didahului oleh kegiatan-kegiatan luar biasa. Bencana alam nasional ini telah menimbulkan ribuan korban jiwa dan harta benda rakyat yang sangat besar. Pertolongan telah diberikan bukan saja dari pemerintah, tapi dari rakyat Indonesia lainnya, tapi juga dari segenap penjuru dunia,” tulis laporan Majalah Mimbar Penerangan (1963).

Letusan Gunung Agung menyebabkan 1.549 orang tewas, 1.700 rumah hancur, 225 ribu jiwa kehilangan mata pencaharian, dan 100 ribu jiwa harus mengungsi secara permanen. Dampak lainnya, delapan jembatan hancur dan diperkirakan 316.518 ton produksi pangan hancur.

Letusan itu juga mengakibatkan bumi mengalami penurunan suhu (rata-rata 0,4 derajat celcius). Dampak penurunan suhu akibat letusan Gunung Agung kala itu setara dengan dampak letusan Gunung Tambora (1815) dan Gunung Krakatau (1883).

Kepercayaan yang dilanggar

Pemerintah Indonesia kala itu dianggap bertanggung jawab atas tingginya korban jiwa. Sebab, pemerintah banyak mendesak pemuka agama untuk mengadakan upacara pembersihan Eka Dasa Rudra yang megah di Pura Besakih. Padahal, upacara itu seharusnya diadakan seratus tahun sekali.

Kendati demikian, pemerintah dan pemuka agama merasa upacara itu perlu dilakukan karena kondisi ekonomi yang buruk dampak resesi tahun 1960-an. Oleh sebab itu, upacara pembersihan dipercaya jadi juru selamat untuk memeroleh keseimbangan alam semesta.

“Malapetaka letusan Gunung Agung, gunung yang tertinggi dan paling dikeramatkan pada tahun 1963 banyak dipandang sebagai akibat campur tangan Soekarno dan tokoh-tokoh sekuler lainnya dalam menetapkan waktu dan struktur upacara. Mitologi meletusnya Gunung Agung dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali dianggap sebagai petanda buruk dari kehancuran bumi Bali,” imbuh I Ngurah Suryawan dalam buku Genealogi Kekerasan Dan Pergolakan Subaltern: Bara Di Bali Utara (2010).

Ilustrasi foto Soekarno (Sumber: Historisch Museum)

Akibatnya, letusan yang dikhawatirkan itu terjadi di tengah pelaksanaan upacara. Bagian timur Pulau Bali langsung porak-poranda. Kondisi tersebut jadi satu momen yang membawa Bali dalam keterpurukan ekonomi. Buahnya, banyak masyarakat Bali mulai mengakrabkan diri dengan kemiskinan dan kelaparan.

“Setelah Gunung Agung meletus, barisan penduduk miskin kota dan pengangguran membengkak hebat. Sebuah laporan surat-kabar pada Oktober 1963 mengamati bahwa jumlah pengemis di kota-kota setiap hari bertambah banyak. Mereka meninggalkan kampung halamannya, yang menderita paceklik ekonomi, dan datang ke kota untuk mengemis,” tutup Geoffrey Robinson dalam buku Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik (2005).

*Baca informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya