Inkonsistensi Pemerintah Berperan Besar terhadap Tsunami PHK di Industri Tekstil
JAKARTA – Kondisi industri tekstil di Indonesia kian memprihatinkan, terlihat dari tsunami pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di industri ini. Tren PHK diprediksi masih akan terus berlanjut sampai dua tahun ke depan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan sebanyak 13.800 pekerja di industri tekstil terkena PHK sejak awal 2024.
Dijelaskan Ristadi, hal ini disebabkan permintaan ekspor menurun sementara pasar lokal juga dibanjiri produk impor dengan harga yang lebih murah.
“Dari data yang kami himpun sedikit pada periode Januari sampai awal Juni 2024, sedikitnya ada enam perusahaan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tutup dan empat melakukan efisiensi PHK, total pekerja ter-PHK sekitar 13.800 pekerja,” kata Ristadi.
Serbuan barang impor dinilai semakin menggerus produk lokal di pasar dalam negeri. Padahal, tekanan ekspor juga belum sesuai harapan sehingga menambah beban berat pengusaha tekstil di dalam negeri.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, lesunya industri tekstil terjadi karena peraturan impor di Indonesia tidak pasti. Selama hal ini berlanjut, Bhima memprediksi gelombang PHK di insutri ini akan terus terjadi sampai 2026.
Kebijakan Pemerintah Inkonsisten
Ratusan buruh tekstil Indonesia menggelar aksi turun ke jalan di sekitar kawasan Monumen Nasional (Monas) pada Kamis (27/6/2024). Mereka menyuarakan aspirasi terkait kondisi industri tekstil yang makin mengkhawatirkan.
Kondisi industri tekstil memang tengah lesu setidaknya dalam dua tahun terakhir. Tapi Ristadi menuturkan borok ini sebenarnya sudah berlangsung sejak 2010, ketika barang impor mulai menyerbu Indonesia.
Dari tahun ke tahun serbuan impor terus meningkat dan puncaknya terjadi pada 2015, 2016, lalu 2018 dan terus bertambah sampai sekarang.
Hal ini juga diakui Bhima Yudhistira selaku Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios). Ia menyebut penurunan daya saing di industri manufaktur menjadi biang kerok banyaknya pabrik tekstil di Indonesia yang gugur.
Baca juga:
- Karut-Marut PPDB 2024: Tak Hanya Bikin Orangtua Bingung, tapi Juga Menjatuhkan Mental Siswa
- Pengusungan Anies Baswedan - Sohibul Iman Hanya Gertakan Politik PKS Jelang Pilkada Jakarta 2024, Meskipun Sukses
- Pro Kontra Tanaman Kratom, Mencari Cuan di Tengah Legalitas yang Tak Jelas
- Sistem Teknologi Pemerintah Rentan Diretas karena Kesadaran SDM Soal Keamanan Siber Rendah
“Bisa dilihat dari banyaknya relokasi pabrik brand-brand pakaian jadi global ke Vietnam, Bangladesh, bahkan Ethiopia karena melihat berbisnis di Indonesia biayanya relatif mahal,” ujar Bhima saat dihubungi VOI.
Selain itu, Bhima juga menyoroti keberpihakan pemerintah terhadap industri manufaktur yang menurutnya masih diragukan. Menurutnya kebijakan pemerintah masih inkonsisten dan cenderung loncat-loncat.
Bhima mencontohkan saat pemerintah menggenjot hilirisasi nikel, padahal masalah di industri pakaian jadi dan alas kaki belum benar-benar tuntas.
“Pemerintah tidak memiliki fokus dan industri manufaktur seperti kehilangan stimulus dan insentif dari pemerintah,” katanya.
Terdesak Barang Impor
Menurut data yang dihimpun KSPN, ternyata pabrik tekstil mulai berguguran sejak 2019. Ristadi mengungkap ada 36 perusahaan tekstil menengah besar yang tutup dan 31 pabrik lainnya melakukan PHK karena efisiensi.
Menurut Ristadi, serbuan barang impor jadi biang kerok utama ambruknya industri TPT di dalam negeri. Impor barang tekstil terus mengalami peningkatan seiring bertumbuhnya industri tekstil dari luar negeri, terutama China.
Akibatnya, lanjut dia, pabrik-pabrik tekstil di dalam negeri mulai mengalami ketidakstabilan produksi, dan terus turun. Hingga kemudian memicu gelombang PHK.
“Total ada 198.769 pekerja jadi korban PHK dari 67 perusahaan ini, dan masih akan terus bertambah. Data ini hanya dari pabrik yang tempat anggota kami bekerja, belum termasuk data pemerintah dan Apindo,” kata Ristadi.
Sementara menurut Bhima, dari sudut pandang industri manufaktur, mereka juga terdesak oleh barang impor, baik dari jalur legal maupun “jalur tikus” di mana barang-barang yang dijual secara impor, baik di retail maupun e-commerce harganya sangat murah, sehingga merugikan pelaku usaha domestik.
“Ini membuat insentif menjadi importir dan reseller lebih besar dibandingkan jadi produsen industri pengolahan,” jelas Bhima.
Ia juga menambah beberapa faktor lainnya yang membuat industri tekstil dalam negeri kesulitan bertahan, yaitu suku bunga tinggi, daya beli masyarakat - terutama kelas menengah – rendah, serta nilai tukar rupiah melemah yang membuat biaya bahan baku yang sebagian impor menjadi sangat mahal.
“Faktor-faktor inilah yang membuat industri pengolahan berguguran dan gelombang PHK terjadi hingga dua tahun ke depan jika tidak ada perbaikan signifikan dari sisi kebijakan pemerintah yang berpihak pada industri domestik,” pungkasnya.