Airlangga Buka Suara soal Maraknya PHK Massal di Industri Tekstil

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto buka suara terkait maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil. Dia menyebut, saat ini kondisi industri tekstil di global memang sedang bermasalah.

"Memang industri tekstil kemarin ada masalah karena globalnya bermasalah," ujar Airlangga di kantornya, Kamis, 20 Juni.

Airlangga mengatakan, ketika pengusaha tekstil ingin menjual produk-produknya di dalam negeri. Namun, ada keterbatasan daripada pasar di dalam negeri itu sendiri.

"Dia ingin menjual di dalam negeri, tapi ada keterbatasan daripada pasar di dalam negeri," katanya.

Meski begitu, Airlangga enggan berkomentar terlalu jauh soal maraknya PHK massal di sektor tersebut. Menurutnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sudah memiliki roadmap terkait hal tersebut.

"Sebenarnya dalam kebijakan di Kemenperin sudah ada roadmapnya, termasuk untuk industri padat karya terkait dengan tekstil, elektronik dan juga sektor manufaktur lain," ucapnya.

Sebelumnya, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) membantah pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang menyebut maraknya PHK Massal buruh tekstil disebabkan praktik dumping di luar negeri.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, pernyataan dari Sri Mulyani tersebut merupakan upaya pengalihan isu untuk menutupi kegagalannya mengawasi kinerja Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan.

"Kami bisa lihat dengan mata telanjang, bagaimana banyak sekali oknum di Bea Cukai terlibat dan secara terang-terangan memainkan modus impor borongan/kubikasi dengan wewenangnya dalam menentukan impor jalur merah atau hijau di pelabuhan," ujar Redma dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Kamis, 20 Juni.

Pihaknya justru menuding kinerja buruk dari Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kemenkeu sebagai salah satu penyebab utama badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan sejumlah perusahaan dalam kurun waktu dua tahun terakhir.

Terkait hal tersebut, Redma mengungkapkan dugaan impor ilegal yang tercermin dari selisih data pada trade map yang menunjukkan gap impor yang tidak tercatat dari China terus meningkat pada 2021 sebanyak 2,7 miliar dolar AS menjadi 2,9 miliar dolar AS pada 2022 dan diperkirakan mencapai 4 miliar dolar AS pada 2023.

Di lain sisi, Redma menyayangkan sikap pemerintah melalui Bea Cukai bersama para relasi mafia impornya yang membuat penumpukan kontainer di pelabuhan hingga memaksa pemerintah melakukan relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.

"Di sini malah terkesan Bu Sri (Mulyani) membela Bea Cukai dan menyalahkan kementerian lain yang mengeluarkan aturan pengendalian impor, padahal ini adalah perintah Presiden (Joko Widodo) tanggal 6 Oktober 2023," tuturnya.