Eksklusif, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf: Indonesia Belum Punya Peta Jalan Pendidikan
Kehilangan arah, mungkin itu kata yang pas untuk menggambarkan apa yang terjadi kini di dunia pendidikan Indonesia. Soalnya, kata Dr. H. Dede Yusuf Macan Effendi, ST, MI. Pol, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Indonesia belum punya peta jalan dalam bidang pendidikan. Ia berharap di masa Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan segera ditetapkan peta jalan pendidikan dan bisa menjadi panduan untuk semua.
***
Sejatinya kenyataan bahwa Indonesia belum punya peta jalan pendidikan adalah hal yang menyedihkan. Apalagi di tengah persaingan global yang begitu ketat. Salah dalam melangkah bangsa ini akan tertinggal jauh di antara bangsa-bangsa dunia di tengah pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi.
Sebagai wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Jabar II, Dede Yusuf mengkritisi pentingnya peta jalan pendidikan. “Peta jalan pendidikan kita mau ke mana memang harus jelas. Apa pun boleh berubah namun kebijakan pendidikan tidak. Soalnya pendidikan itu investasi jangka panjang, jangan ganti pemerintah ganti kebijakan,” tegasnya.
Persoalan kenaikan UKT (uang kuliah tunggal) untuk mahasiswa PTN yang mendapat penolakan demikian besar adalah salah satu problem yang muncul. Pemerintah, menurut pria yang pernah menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat 2008-2013, harusnya melaksanakan amanat konstitusi yaitu membuat pendidikan menjadi sesuatu yang murah dan terjangkau. Bukan seperti sekarang pendidikan menjadi mahal, padahal itu dilakukan oleh lembaga pendidikan milik pemerintah.
Sebagai legislator dari Partai Demokrat, Dede Yusuf berharap pada presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memilih menteri yang kompeten dalam mengurusi persoalan pendidikan. “Siapa pun yang akan dipercaya untuk posisi Menteri Pendidikan harus benar-benar tahu apa persoalan di dunia pendidikan kita kini dan nanti. Dan kita harus punya peta jalan pendidikan agar bisa menjadi acuan dan arah dalam membangun dunia pendidikan kita,” tegasnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Medianto dari VOI yang menemuinya di Hotel JW Marriott, Jakarta belum lama berselang. Inilah petikan wawancara selengkapnya.
Pendidikan adalah hal yang penting untuk sebuah bangsa. Apakah pemerintah kita sudah memperhatikan sektor pendidikan?
Pendidikan adalah tulang punggung bagi suatu bangsa. Indonesia punya sumber daya alam. Ada juga negara yang kuat dengan perdagangan dan jasa, Singapura contohnya. Ada negara yang banyak penduduknya seperti China, India, dan Indonesia. Untuk memanfaatkan potensi itu perlu SDM untuk mengelola. SDM terampil itu didapatkan melalui pendidikan.
Amanat UU, pendidikan itu dibiayai negara, terutama pendidikan dasar dan menengah. Dalam 40 tahun terakhir kita masih berkutat pada pendidikan dasar dan menengah, ada wajib belajar 9 tahun menjadi wajib belajar 12 tahun. Perkembangan dunia global tidak hanya menuntut pendidikan dasar dan menengah yang disebut secondary education, tetapi juga tertiary education yaitu pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Saat ini pendidikan tinggi menjadi keharusan, karena kompetensi ini dibutuhkan untuk mengolah SDA dan potensi lainnya. Jujur, untuk pendidikan tinggi ini kita belum maksimal.
Ini nyambung dengan kondisi saat ini ketika UKT akan dinaikkan oleh PTN, bagaimana menghadapi soal ini?
Temuan kita, pendidikan di PTN itu justru mahal, padahal mestinya tidak, agar lebih banyak masyarakat yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Uniknya, perguruan tinggi swasta, ini bukan yang kaliber dunia, seperti PTS Muhammadiyah, PTS NU, PTS Persis dan PTS yang dimiliki organisasi keagamaan dan non-keagamaan lainnya, justru bisa lebih terjangkau biayanya. Saya dan teman-teman di Komisi X DPR RI menemukan fakta kalau pemerintah sudah mengurangi subsidi untuk PTN. Mereka lalu mencari dana sendiri. Beda dengan PTS yang setiap tahun berpikir mencari pembiayaan mandiri. Karena tidak tahu cara mencari sumber dana, akhirnya dibebankan kepada mahasiswa dengan menaikkan biaya UKT.
Jalur mandiri salah satu yang menjadi cela untuk mengumpulkan dana, namun ironisnya justru ada rektor, dosen, dan pegawai di PTN tergiur untuk korupsi, bagaimana meminimalisir hal ini?
Ketika PTS yang mencari dana seperti jalur mandiri, mungkin tidak ada yang soal, tapi saat yang melakukan PTN timbul persoalan. Walaupun penerapan jalur mandiri ini alasannya untuk subsidi silang buat masyarakat yang tidak mampu, mestinya golongan yang mampu itu jumlahnya tidak boleh lebih dari 20% dari kapasitas tampung. Tapi realitasnya bisa mencapai 40% lebih. Sedangkan mereka yang masuk kategori tidak mampu itu hanya diterima 5% atau kurang dari itu. Kenapa ini bisa terjadi? Karena kurang tegasnya aturan main yang ada.
Apakah dana pendidikan kita sudah dialokasikan untuk sektor inti pendidikan bukan soal sekunder dalam dunia pendidikan?
Sejujurnya APBN kita itu sudah mengamanatkan 20% anggaran untuk pendidikan. Dana yang dialokasikan hampir Rp650 triliun lebih. Namun dari dana itu yang dikelola Kemendikbudristek hanya Rp86 triliun (sekitar 15%). Ke mana sisanya? Ada nomenklatur fungsi pendidikan bagi pemda, kementerian dan lembaga lain, lalu untuk LPDP serta dana darurat untuk pendidikan.
Untuk transfer dana ke daerah lewat DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) bisa mencapai 50% dari dana pendidikan yang ada. Dana untuk instansi yang punya perguruan tinggi dan sekolah kedinasan jumlahnya mencapai 25%. Kalau ditotal, Kemendikbudristek itu yang paling kecil mendapatkan dana dari alokasi APBN. Sementara beban untuk infrastruktur, gaji dosen, guru, dll., ada di Kemendikbudristek.
Kalau begitu ada yang tidak efisien, jika pendidikan tinggi disentralisasi atau distandardisasi Kemendikbudristek mungkin akan lebih efisien, tanggapan Anda?
Persoalannya koordinasi antarlembaga di kita ini kurang bagus. Ketika lembaga punya program pendidikan, mereka maunya sendiri. Kami akan minta ada standardisasi dari Kemendikbudristek, misalnya dosen yang ada di PTN harus sama nilainya dengan di sekolah kedinasan. Biaya per mahasiswa untuk PTN dan sekolah kedinasan juga harus sama. Karena tidak standar ini merujuk ke mana? Ini yang membuat sebaran dana pendidikan tidak rata. Yang paling besar itu transfer dana pendidikan ke daerah. Itu pun penggunaannya tak selalu untuk pendidikan.
Jadi ini pekerjaan rumah untuk pemerintahan berikutnya?
Pekerjaan rumah pemerintahan berikutnya menurut saya adalah bagaimana menarik kembali standar pendidikan merujuk kepada Kemendikbudristek.
Di negara-negara Skandinavia biaya pendidikannya sangat murah, bisakah Indonesia meniru langkah seperti itu dengan segala potensi yang ada?
Saya baru saja berkunjung ke negara Skandinavia. Mereka ini ratusan tahun dijajah oleh negara tetangganya. Tekad mereka tidak dijajah lagi. Salah satu jalannya adalah dengan memperbaiki pendidikan. Semua partai yang ada di sana sepakat kalau pendidikan itu prioritas sampai level pendidikan tinggi. Lalu di negara-negara itu pajaknya ditetapkan tinggi, mencapai 40%, di dalamnya sudah ada jaminan pendidikan. Kita mau seperti mereka tidak mungkin, apalagi jumlah penduduk di sana lebih sedikit, di Finlandia penduduknya hanya 5,5 juta. Tidak sebanding dengan kita. Kita harus belajar ke China yang jumlah penduduknya 1,5 miliar. India juga serupa. Yang mereka lakukan adalah mengirim banyak mahasiswa ke luar negeri dengan beasiswa. Setelah selesai kembali dan menjadi dosen di dalam negeri. Dari sana mereka tahu fokusnya mau ke mana? Bisnis, manufaktur, teknologi, jasa, dll. Kita belum fokus, semua mau direngkuh, akhirnya tak ada yang maksimal. Kalau sudah tahu fokusnya ke mana, semua mahasiswa diarahkan ke sana, buka jurusan yang sesuai dengan kebutuhan.
Yang ada kampus bikin prodi yang jumlahnya ribuan, setelah lulus mahasiswa tak tahu mau kerja apa. Hampir 70% mahasiswa salah pilih jurusan. Itulah makanya negara harus punya visi, kita akan menuju ke mana. Jadi antara kebutuhan dengan permintaan itu sesuai. Tahun 2045 kita mau menguasai apa, itu yang harus dipersiapkan dunia pendidikan. Siapa pun yang memimpin kebijakan pendidikan harus konsisten.
Jadi harus ada peta jalan pendidikan agar bisa menjadi acuan untuk semua?
Ya, peta jalan pendidikan kita mau ke mana memang harus jelas. Apa pun boleh berubah namun kebijakan pendidikan tidak. Soalnya pendidikan itu investasi jangka panjang, jangan ganti pemerintah ganti kebijakan.
Indonesia akan menghadapi bonus demografi di 2045, menurut Anda apakah eksekutif, legislatif, dan semua pihak sudah menyadari dan memaksimalkan peluang ini?
Kalau tahu saya kira sudah, kita belum punya peta jalan pendidikan. Presiden terpilih Prabowo sudah mengucapkan kalau bisa pendidikan tinggi itu gratis, ini harapan yang harus direalisasikan. Kalau tak bisa gratis yang murah. Mudah-mudahan dalam 20 tahun ke depan pendidikan kita tidak belok-belok. Sehingga anggaran juga berkesinambungan.
Baca juga:
Soal UKT yang ditunda kenaikannya, untuk tahun depan belum ada jaminan kalau UKT tidak akan naik?
DPR lewat Komisi X sudah mengamanatkan kepada saya untuk membuat Panja (Panitia Kerja) Soal Pembiayaan Pendidikan. Kami sudah panggil pemangku kepentingan, PTN dan PTS untuk memberikan informasi komponen apa yang besar dalam pendidikan. Ternyata yang paling besar itu biaya sarana dan prasarana, seperti gedung dan fasilitas. Sebenarnya itu tidak terlalu prioritas. Kita bercermin kepada Universitas Terbuka, yang bisa menghasilkan banyak sarjana meski fasilitas terbatas. Kami akan lihat mana yang paling penting dan perlu dibiayai negara. Apakah sarana dan prasarana perlu dibiayai negara? Ini perlu disepakati bersama.
Problem lain adalah kesenjangan hasil dan sarana pendidikan antara Jawa dan luar Pulau Jawa terutama daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir hal ini?
Daerah 3T dalam semua sektor harus menjadi perhatian agar kesenjangan tidak terlalu mencolok. Kawan-kawan kita yang ada di daerah 3T tidak bisa seperti yang di kota besar, karena sarana dan prasarananya terbatas. Delapan sarana pokok pendidikan harus dipenuhi seperti: buku, sekolah, guru, dll. Setelah itu, pembaruan infrastruktur IT, internet, dll.
Kalau itu sudah beres, bisa melakukan pengembangan berbasis wilayah. Untuk daerah pegunungan, perguruan tingginya jangan yang berhubungan dengan administrasi, soalnya setelah selesai ujungnya ke PNS. Padahal prodi yang berhubungan dengan lingkungan, alam, mungkin lebih dibutuhkan. Untuk yang di tepi pantai bisa mengembangkan prodi perikanan dan budidaya hasil laut. Jadi tidak memaksakan prodi. Terus perlu ditambahkan juga biaya kemahalan untuk kawasan 3T.
Maksudnya?
Biaya pendidikan di daerah 3T tidak bisa disamakan dengan di daerah Jawa. Harus ada ekstra yang disebut biaya kemahalan. Mungkin uang Rp100 juta di Jawa bisa membangun satu kelas, sedangkan di daerah 3T belum tentu. Itu yang menjadi keluhan selama ini. Indonesia ini kan negara kepulauan, beda dengan Amerika Serikat dan China yang satu daratan. Soal transportasi di negara kepulauan menjadi persoalan sendiri. Dengan kondisi demikian, tiap daerah tidak bisa disamaratakan.
Masalah disiplin dan etika juga tak kalah penting, isu-isu terkait disiplin, bullying, dan etika di sekolah juga merupakan tantangan yang perlu ditangani, apa evaluasi Anda untuk hal ini?
Media sosial menjadi problem di banyak negara. Amerika saja menegur pengelola media sosial karena khawatir memengaruhi karakter generasi muda. Ketika keluarga kurang atensi pada anak, mereka akan mencari pelarian, media sosial salah satunya. Mampukah dunia pendidikan mengatasi hal ini? Saya yakin tidak akan bisa. Harus dimulai dari rumah, saat ibu melihat anaknya rewel, jangan diberi HP. Ini tidak tepat. Pendidikan harus mengarahkan anak-anak untuk menguasai gawai bukan dikuasai gawai. Mengajarkan anak-anak menyelesaikan tugas menggunakan teknologi. Bukan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton apa yang ada di gawai, sampai lupa belajar.
Apa harapan Anda untuk presiden terpilih dalam hal kebijakan pendidikan?
Untuk pendidikan dasar dan menengah kita hampir selesai. Saat bicara bonus demografi, pendidikan tinggi menjadi penting agar bisa bersaing dengan negara lain. Siapa pun menteri pendidikannya nanti kita minta untuk komitmen soal mengejar pendidikan 16 tahun (pendidikan tinggi). Bisa pendidikan vokasi dan kejuruan yang fokus pada dunia kerja dan bisa juga pada pendidikan yang fokus pada sains dan penelitian. Mau tidak mau anggaran harus menjadi perhatian. Dari mana dananya, refocusing anggaran yang selama ini lari ke mana-mana. Beasiswa perlu diperbanyak dan memberikan biaya kemahalan untuk daerah 3T.
Dede Yusuf, Tak Pernah Lupa dengan Dunia yang Membesarkan Namanya
Sebelum beralih peran sebagai eksekutif dan kini menjadi legislator, Dede Yusuf adalah seorang aktor. Sejumlah film sudah dibintanginya dari film bergenre drama hingga action atau laga. Meski sudah bermetamorfosis, ia tak pernah lupa dengan dunia yang sudah melambungkan namanya.
“Hampir setiap tahun ada sekitar dua atau tiga rumah produksi yang menawari saya untuk bermain film. Namun dengan kondisi sekarang tak mungkin saya melakoni peran utama. Terus terang saya juga kangen dengan suasana syuting film, karena dunia film adalah yang membesarkan nama saya,” ucap pria kelahiran Jakarta, 14 September 1966.
Kini saat menjadi wakil rakyat, dan menjalankan fungsi legislasi di DPR RI, Dede pun tak jauh dari persoalan pendidikan, SDM, dan ekonomi kreatif tempat dia dulu berkecimpung. “Di DPR RI saya dipercaya membidangi komisi yang mengurusi soal pendidikan dan ekonomi kreatif. Jadi masih berhubungan sekali dengan apa yang dulu saya tekuni,” katanya.
Dalam ekonomi kreatif, lanjut Dede, ada 17 kriya yang ada di dalamnya. Mulai dari pengembang permainan, arsitektur, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fesyen, dan kuliner. Lalu ada juga film, animasi, dan video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi, dan radio. Juga soal periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi. “Menurut saya ini harus mendapat atensi yang serius,” kata Dede yang satu angkatan dengan Donny Damara dan Tio Pakusadewo dalam bermain film.
Ia mengambil contoh bagaimana Korea, yang kemerdekaannya hanya terpaut dua hari dari Indonesia, kini bisa melesat jauh di depan karena ekonomi kreatif. “Ini menarik untuk dipelajari mengapa Korea begitu pesat perkembangannya. Dia jauh meninggalkan Indonesia dalam bidang seni dan budaya juga teknologi,” kata pemeran film Catatan Si Boy dan sinetron Jalan Makin Membara.
Harus Ada Sinergi
Lagi-lagi kata Dede Yusuf, diperlukan peta jalan industri kreatif sebagaimana Indonesia membutuhkan peta jalan dalam dunia pendidikan. “Kini bisa kita lihat K-Pop, drama Korea, kulinernya juga sudah menjalar ke segala penjuru dunia. Belakangan fashion dan wisata juga terangkut,” kata sutradara dan pemeran film Reinkarnasi.
Ketika ekonomi kreatif dijadikan sektor unggulan, harus ada intervensi negara. “Saat K-Pop menjadi lokomotif, maka negara akan menitipkan sektor fashion, kuliner, dan lain-lain lewat brand ambassador para musisi dan penyanyi Korea. Dan apa yang mereka lakukan ternyata berhasil,” katanya.
Jadi kata Dede, harus ada sinergi. “Tidak bisa bergerak sendirian. Agar memiliki daya dorong yang kuat. Sekarang rendang sudah menjadi makanan terenak di dunia. Tapi jarang sekali ada film yang menunjukkan orang sedang makan rendang. Itu penting agar orang di seluruh dunia mencari tahu apa itu rendang,” ujarnya.
Ia mengkritik para sineas dan pembuat film di tanah air yang gemar sekali syuting di mancanegara. “Kalau kita syutingnya di Turki, Eropa, dan Amerika, wisatawan kita terdorong untuk berwisata ke sana. Kenapa tidak eksplorasi lokasi syuting di dalam negeri yang tak kalah indah,” katanya.
Mestinya, lanjut Dede, para sineas memilih lokasi syuting film yang mendorong orang untuk datang dan berwisata ke Indonesia. “Misalnya Labuan Bajo, Raja Ampat, Wakatobi, dan daerah tujuan wisata lainnya,” kata Dede yang sempat juga membuat podcast, namun karena kesibukan sebagai anggota dewan, ia tak bisa melanjutkan syuting podcast-nya.
Dampak yang dihasilkan bisa banyak dari ekonomi kreatif. “Jadi menggiring orang untuk datang dan menikmati kuliner, fashion, dan sebagainya di Indonesia. Itulah yang disebut dengan ekonomi kreatif,” ujarnya.
Negara Belum Berpihak
Seperti halnya Korea, lanjut Dede Yusuf, negara harus intervensi agar terjadi kemudahan dalam proses pembuatan film. “Suatu hari saya berharap pemerintah akan membuat sebuah badan atau lembaga yang memudahkan perizinan syuting, pendanaan, survei dan apa pun yang dibutuhkan oleh para kreator,” harapnya.
Peran pemerintah, kata Dede, akan mewarnai produksi dan hasil industri kreatif kita seperti film. “Kita tidak boleh melepas begitu saja film yang dibuat para sineas. Kalau dibiarkan, yang terjadi seperti saat ini. Film Indonesia didominasi oleh film bergenre horor. Akhirnya Indonesia dikenal sebagai negara horor, hehehe,” canda ayah dari Alifiya Arkana Paramita (Lifi) dan Kaneishia Lathifa Zahra (Neishia).
Soalnya, lanjut Dede, buat produser mereka akan membuat film yang laku. “Produser itu kepentingannya cuan, atau keuntungan. Jadi film yang dibuat adalah yang laku di pasar, kalau tidak bisa rugi dan bangkrut kalau filmnya tak laku di pasar,” katanya.
Nah saat ini, kritik Dede, negara masih belum berpihak pada industri kreatif. Dia bukan tanpa alasan mengatakan seperti ini. “Saya tahu berapa anggaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kita. Anggarannya Rp3 triliun setahun, sekarang dipotong menjadi Rp1,7 triliun,” kata suami dari Sendy Ramania ini.
Padahal, sambung Dede, banyak sekali tenaga yang bisa diserap dalam industri kreatif ini. “Pendapatan negara dari ekonomi kreatif ini hampir Rp200 triliun dan mempekerjakan hampir 22 juta orang, namun anggarannya hanya Rp1,7 triliun. Artinya pemerintah belum berpihak pada ekonomi kreatif,” tandas Dede Yusuf.
"Pendidikan harus mengarahkan anak-anak untuk menguasai gawai bukan dikuasai gawai. Mengajarkan anak-anak menyelesaikan tugas menggunakan teknologi. Bukan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton apa yang ada di gawai, sampai lupa belajar,"