Nasib Hilirisasi Nikel setelah Proses Banding Indonesia di WTO Mandek
JAKARTA – Indonesia digugat oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel. Lalu pada Oktober 2022 Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan tersebut. Bagaimana kelanjutan proyek hilirisasi nikel yang disebut sebagai salah satu jalan menuju negara maju?
Gugatan Uni Eropa bermula dari keberatan negara-negara Eropa atas larangan ekspor nikel mental atau bijih nikel yang diberlakukan Indonesia sejak 1 Januari 2020, meski kemudian pemerintah melakukan relaksasi.
Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia, Indonesia menyetop ekspor nikel mentah dan mendorong hilirisasi logam ini agar memberikan nilai tambah ekonomi.
Namun langkah tersebut bikin Benua Biru gerah. Uni Eropa menilai kebijakan setop ekspor bijih nikel oleh Indonesia membuat harga nikel di pasar melejit, sehingga memukul Uni Eropa dan negara pengguna nikel lainnya.
Eropa kemudian meminta konsultasi dengan Indonesia melalui WTO pada 2019. Karena tidak mencapai kesepakatan, Uni Eropa akhirnya mengajukan gugatan pada 2021. Setahun berselang, tepatnya Oktober 2022, Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan tersebut.
Namun, Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia tidak akan mundur meski kalah dalam gugatan pertama di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO terkait larangan ekspor. Ia langsung memerintahkan menterinya mengajukan banding di WTO.
Proses Banding Jalan di Tempat
Kekalahan Indonesia atas gugatan Uni Eropa di WTO terjadi karena industri hilirisasi di Indonesia dianggap belum matang. Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional, Bara Krishna Hasibuan menyampaikan hal tersebut menjadi salah satu alasan yang dikemukakan dalam panel di tingkat pertama.
WTO menilai suatu negara yang melarang ekspor secara total suatu komoditas, maka industri di negara yang ditopang oleh komoditas tersebut harus benar-benar berkembang terlebih dahulu. Sementara industri hilir nikel yakni besi di Indonesia dinilai masih belum berkembang.
Untuk diketahui, permohonan banding Indonesia masih jalan di tempat karena sampai saat ini masih menunggu terbentuknya Badan Banding atau Appellate Body. Pasalnya, sebagai salah satu anggota WTO, Amerika Serikat (AS) masih memblokade pemilihan Badan Banding. Negara Adidaya tersebut masih mendorong dilakukannya reformasi besar-besaran oleh WTO.
Bara juga mengatakan, pemerintah masih harus menunggu antrean untuk berproses di Badan Banding, sehingga proses banding ini memakan waktu yang cukup lama.
"Jadi begitu panel terbentuk ada juga ada antrian ya kasus kasus yang harus di disidangkan di panel tersebut. Nah kita tuh masih masih nomor 23-24. Jadi selama belum ada keputusan dari panel tersebut kita bisa terus meneruskan kebijakan kita ini soal pengembangan industri hilirisasi ini," katanya.
Meski demikian, kondisi ini dinilai cukup positif untuk Indonesia, karena selama belum ada kekuatan hukum mengikat, kebijakan larangan ekspor bijih nikel Indonesia tetap berlaku.
Jalan Menuju Negara Maju
Pemerintah era Jokowi terus menggenjot perkembangan industri hilirisasi nikel. Ambisi pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia pemain penting dalam ekosistem kendaraan listrik membuat hilirisasi nikel, salah satu bahan baku pembuat baterai kendaraan listrik, masif dilakukan. Hilirisasi nikel merupakan langkah awal transformasi dan akselerasi perekonomian Indonesia.
Indonesia merupakan eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa. Karena itulah, banyak industri logam di Eropa sangat bergantung pada bahan mentah dari Indonesia.
Pada Harian Kompas edisi 18 November 2019, ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, nikel adalah mineral yang sangat berharga di masa depan karena pesatnya perkembangan kendaraan listrik. Nikel merupakan salah satu logam terbesar dalam pembuatan baterai listrik.
Bagi Indonesia, nikel merupakan komoditas mineral yang sangat strategis di pasar dunia bersama timah dan batubara. Dengan mengolah bijih nikel di peleburan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri, maka Indonesia berpotensi mengantungi keuntungan berlipat dibanding mengekspor bijih nikel yang masih berupa ‘tanah’.
Contohnya adalah, jika bijih nikel diolah menjadi feronikel maka harganya dapat meningkat dari 55 dolar AS per ton menjadi 232 dolar AS per ton. Dengan kata lain, hal ini memberikan nilai tambah sekitar 400 persen.
Dalam beberapa tahun terakhir, nilai ekspor bijih nikel Indonesia ke Uni Eropa memang mengalami peningkatan tajam. Pada kuartal kedua 2019, ekspor bijih nikel naik sebesar 18 persen dibanding periode yang sama di 2017.
Baca juga:
- Akuisisi Sumber Beras dari Kamboja Bukti Pemerintah Tak Serius Soal Ketahanan Pangan
- Jokowi Mulai Bagi-bagi Kekuasaan Imbal Jasa Pilpres 2024: Praktik KKN di Masa Depan Bakal Makin Parah?
- Riuh Muhammadiyah Tarik Dana di BSI: Ketika Politik Bikin Urusan Perbankan jadi Runyam
- Sekstorsi, Kejahatan Predator Seks Daring yang Dialami Ibu Muda di Tangsel dalam Kasus Pencabulan Anak Kandung
Dalam sebuah kesempatan Presiden Jokowi menyebut, hilirisasi komoditas tambang dan minyak dan gas bumi dapat menambah Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 699 miliar dolar AS dan membuka lapangan pekerjaan hingga 8,8 juta.
Ia juga optimistis Indonesia menjadi negara maju jika sukses menggencarkan hilirisasi dalam negeri. Namun, Jokowi tak menampik kesulitan dari kebijakan hilirisasi yaitu mengintegrasikan komoditas-komoditas yang dimiliki.
"Jangan berpikir negara kita akan jadi negara maju kalau kita takut menghilirkan bahan-bahan mentah yang ada di negara kita. Dan yang paling sulit memang mengintegrasikan dari hilirisasi, (mengintegrasikan) komoditas-komoditas yang kita miliki," tutur Jokowi dalam acara Mandiri Investment Forum di Jakarta pada 1 Februari 2023.