Ini Penyebab Misteri Kematian Mirna Salihin
JAKARTA - Film dokumenter kasus Kopi Sianida dengan judul "Ice Cold" di platform Netflix menjadi trending di penayangan Indonesia, dengan adanya penayangan tersebut masyarakat pun meragukan Jessica Wongso adalah pembunuh Mirna Salihin dengan kopi sianida. Film ini dikeluarkan Netflix di akhir tahun 2023.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menegaskan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh Jessica Wongso telah selesai dengan segala pembuktian dan pengujian yang dilakukan. Namun Mantan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Bali itu tidak menampik film dokumenter tersebut sangat mempengaruhi opini publik terhadap kasus yang terjadi di awal 2016.
Ketut menyampaikan sebagai aparat penegak hukum hendaknya menjunjung tinggi kerja dan proses yang telah dilaksanakan yang sudah hampir tujuh tahun lamanya. Dengan memahami mengenai asas hukum “Res Judicata pro veritate habetur” atau asas Res Judicata yang artinya semua putusan hakim harus dianggap benar.
“Oleh karena sudah melalui proses yang benar, sistem pembuktian yang benar dan melakukan penilaian terhadap alat-alat bukti yang diajukan ditambah dengan keyakinan hakim,” ujarnya.
Pernyataan Ketut mendapatkan perbedaan dari pengamat hukum Indonesia dari University of Sidney Law School, Simon Butt. Dia menilai pembuktian perkara kopi sianida yang membelit Jessica Kumala Wongso dan sudah berkekuatan hukum tetap (ikrah) masih menyisakan tanda tanya. Pasalnya, kata dia, tidak ada satu orang pun melihat Jessica memasukkan sianida ke dalam gelas I Wayan Mirna Salihin.
“Ini semua alat bukti yang dipakai penuntut umum bersifat tidak langsung,” ujar pria yang pernah menulis jurnal ilmiah dengan tema kasus tersebut.
Hal yang sama diungkapkan Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan. Dia menyebutkan bukti tidak langsung yang dipergunakan hakim tidak cukup kuat. Terutama tidak berhasil ditemukan motif yang meyakinkan dalam pembunuhan tersebut. Ia tidak menampik munculnya pertanyaan atau anggapan “siapa lagi kalau bukan dia” yang ditujukan pada Jessica. Sayangnya, hukum pidana memerlukann bukti-bukti yang bisa menumbuhkan keyakinan bukan anggapan orang.
Baca juga:
Dia menambahkan pembuktian untuk kasus hukum dalam Pasal 183 KUHAP menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dia beralasan dalam sistem hukum pidana, di kenal suatu asas yang disebut dengan in dubio pro reo, yang berarti bahwa jika hakim ragu-ragu mengenai sesuatu hal dalam suatu perkara maka haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa.
"Tapi mungkin karena kasusnya mendapat perhatian yang besar, sehingga pilihan untuk membebaskan pasti akan mendapat reaksi yang luar biasa di tengah masyarakat,” kata dia.
Menguatkan pentingnya motif dalam hukum pidana disebutkan Pakar Hukum dari Universitas Indonesia, Prof Muzakkir. Dia menjelaskan perbuatan disebut pembunuhan berencana seperti dalam pasal 340 KUHP, harus ada unsur kesengajaan dan niat. Kesengajaan inilah yang pasti mengandung motif.
"Prinsipnya terkait dengan sengaja pasti ada motif, tidak mungkin ada kesengajaan tanpa motif. Harus ada niat, dituangkan sikap perbuatan lahiriah, ini masuk dalam perbuatan pidana,” jelasnya.
Jenazah Mirna Diperiksa dalam Waktu Singkat
Korban Mirna Salihin dipastikan tidak dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap organ-organ yang ada di dalam tubuhnya. Padahal penyebab kematiannya berdasarkan keputusan pengadilan Jakarta Pusat disebabkan racun dari sianida yang berada di dalam tubuhnya.
Kesaksian ini disebutkan ahli Patologi forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Djaja Surya Atmadja dalam film dokumenter Ice Cold: Murders, Coffee and Jessica Wongso’. Menurut Djaja dengan tidak diperiksa secara menyeluruh maka tidak bisa dipastikan penyebab dari kematian Mirna Salihin.
“Kalau tidak diperiksa seluruh organ, Anda tak bisa tahu sebab matinya. Dan itu dogma di forensik, pak. Kalau tidak diperiksa otaknya, kita tak tahu apakah di otaknya ada stroke atau tidak, misalnya yang semuanya berpotensi untuk bisa membikin mati,” kata Djaja yang merupakan dokter forensik DNA pertama di Indonesia.
Menanggapi hal ini, Otto menyebutkan proses pemeriksaan jenazah korban hanya 70 menit. Dan hasil pemeriksaan tersebut disebutkan Otto, di dalam mayat Mirna tidak ditemukan Sianida.
“Kalau 70 menit setelah dia meninggal negatif sianida, itu berarti tidak ada sianida di dalam tubuhnya,” kata Otto.
Ahli Forensik RS Polri Kramat Jati Slamet Purnomo menjelaskan hal yang sama, tidak ada autopsi. kata Slamet, pihak penyidik dari kepolisian hanya meminta dilakukan pengambilan dari sampel lambung, empedu, hati dan urine, namun khususnya cairan lambung karena untuk menentukan zat sianida. Dan setelah permintaan itu dilakukan, Slamet mengatakan dalam lambung Mirna ditemukan 0,2 miligram (mg) per liter dari Sianida. Otto mengatakan penemuan tersebut ditemukan tiga hari setelah korban meninggal dan menyakini bukan hal tersebut penyebab dari meninggalnya Mirna.
Pentingnya Autopsi dalam Kematian yang Tidak Wajar
Film ini jelas menunjukkan perbedaan dan kejanggalan dari sisi kesaksian yang berlangsung dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Jakarta Pusat. Kejanggalan yang divisualkan dalam film tersebut kembali menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Namun ada satu persamaan antara film dokumenter tersebut dengan fakta pengadilan yakni kesaksian dari Ahli Forensik RS Polri Kramat Jati Slamet Purnomo dan ahli Patologi forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Djaja Surya Atmadja.
Kedua saksi ahli ini sama-sama memberikan kesaksian bahwa tidak ada proses autopsi yang dilakukan dalam mayat Mirna Salihin. Laporan autopsi forensik dinilai penting dalam pengadilan untuk mengungkapkan kematian yang tak wajar. Laporan autopsi biasanya berisi pengamatan ilmiah dari para ahli patologi dan ahli forensik yang didukung dengan data dari hasil tes laboratorium terhadap tubuh orang yang meninggal dan kerusakan organ apa saja yang ada di tubuhnya. Andai saja laporan autopsi itu ada dan dibuat dengan sebenar-benarnya, bukan tidak mungkin proses hukum yang melenceng bisa digugat.
Autopsi itu berasal dari kata Yunani “autopsia” yang berarti melihat sendiri. Autopsi sesuai kebutuhannya terbagi menjadi dua yakni Autopsi forensik dan Autopsi klinis. Autopsi forensik (otopsi medikolegal) sebagai bagian dari penyelidikan hukum. Forensik berarti yang berkaitan dengan metode ilmiah dalam menyelesaikan kejahatan.
Ahli Forensik dari Perhimpunan Dokter Forensik dan Medikolegal Indonesia, Nurul Aida Fathya mengatakan penetapan kematian seseorang memiliki dampak terhadap hukum dan sosial sehingga harus dilakukan dengan benar. Dia menambahkan penyebab kematian pada seseorang yang mati mendadak tanpa riwayat penyakit dibuktikan dengan autopsi. "Ilmu kedokteran forensik membantu proses hukum yang melibatkan tubuh manusia dalam pembuktian secara ilmiah," ucapnya.
Keterangan Nurul Aida dikuatkan oleh Kepala Departemen Forensik dan Medikolegal Universitas Trisaksi, Evi Untoro menjelaskan bagaimana pengaruh sianida jika masuk ke dalam tubuh manusia. Menurut Evi, sianida yang masuk ke tubuh akan didetoksifikasi oleh hati melalui enzim rhodanese mengatakan melalui enzim rhodanese.
"Kemudian rhodanese mengubah menjadi tiosianat yang mudah dikeluarkan lewat ginjal. Karena terlalu banyak (kadar sianidanya), ginjalnya menjadi rusak, akhirnya menyebabkan kematian," ucap Evi Untoro dilansir dari Youtube Usakti.
Mengutip dari clevelandclinic, biasanya ahli patologi memerlukan waktu dua hingga empat jam untuk memeriksa jenazah selama proses autopsi. Mereka mungkin dapat mengeluarkan hasil awal (awal) dalam waktu dua hingga tiga hari setelah autopsi. Namun hasil lengkap autopsi biasanya membutuhkan waktu enam minggu bahkan bisa lebih. Beberapa penyebab dimakluminya perpanjangan waktu untuk hasil autopsi forensik antara lain, Kompleksitas kematian dan/atau bukti, ahli patologi memerlukan hasil pemeriksaan lain, seperti pemeriksaan darah atau DNA, dan berapa banyak autopsi yang dilakukan ahli patologi pada waktu tertentu dan berapa banyak ahli patologi yang tersedia di area tersebut.
Aturan autopsi atau bedah mayat tertuang dalam Pasal 133 dan Pasal 134 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 133 berbunyi, untuk kepentingan peradilan menangani korban, penyidik berwenang meminta keterangan ahli. Permintaan tersebut bisa secara tertulis dan menyebutkan pemeriksaan luka, mayat, atau bedah mayat. Sementara di Pasal 134 berbunyi, bila untuk pembuktian, bedah mayat tidak mungkin dihindari, maka penyidik wajib informasikan kepada keluarga dan wajib menerangkan sejelas-jelasnya maksud dan tujuan autopsi. Bila dua kali 24 jam tidak ada tanggapan dari keluarga, maka penyidik segera laksanakan autopsi.
Lantas, jika pemeriksaan jenaxah Mirna disebutkan Otto Hasibuan hanya 70 menit, apakah masih pantas penyebab utama kematian dari Mirna Salihin itu tidak perlu menggunakan autopsi?
Hormati Lembaga Peradilan
Juru bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi mencermati betul kasus kematian Mirna Salihin yang dibunuh oleh sahabatnya sendiri, Jessica Wongso. Kasus siania menjadi sorotan publik selama beberapa bulan di tahun 2016. Apalagi setelah munculnya film dokumenter di Netflix terkait kasus sianida mucul berbagai penilaian yang datang dari berbagai pihak yang menyulut pro dan kontra di masyarakat.
Dia meminta masyarakat untuk menerima dan menghormati vonis 20 tahun penjara terhadap Jessica Kumala Wongso yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2016 lalu.
"Kepada seluruh pihak tolong hormati lembaga peradilan kita. Kalau mau dikomentari/ditanggapi lakukan secara benar dan tanpa menyerang individu dan tentunya sesuai aturan. KY sendiri telah memantau kasus yang menarik perhatian publik ini, baik pemantauan secara terbuka maupun tertutup." katanya dalam pesan tertulis kepada VOI.
Dia menegaskan jika ada bentuk ketidakpuasan masyarakat atas vonis Jessica ini atau ditemukan dugaan pelanggarannya, disarankan menggunakan mekanisme hukum yang tersedia. Terhadap substansi putusannya maka jalur upaya hukum adalah jawabannya.
"Dan apabila diduga kasus ini diduga mengandung unsur pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) yang dilakukan Majelis Hakim, dapat menempuh mekanisme pelaporan yang berlaku baik di KY maupun Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA),"tandasnya.
Praktisi hukum dari Universitas Brawijaya, I Gede Pasek Suardika mengatakan jika terjadi penanganan yang salah tentu seharusnya peradilan HAM bisa dipakai. Dia berasalan kalau hanya menggunakan proses peninjauan kembali (PK) untuk membebaskan akibat salah tangkap dan mengikuti aturan Rehabilitasi maka sangat tidak sepadan. Mantan anggota Komisi III DPR ini menegaskan sudah seharusnya aparat yang diduga melanggar HAM bisa dikenakan sanksi hukum.
"Namun sayangnya peradilan HAM lebih dititikberatkan pada kasus yang besar-besar saja bukan yang sifatnya korban secara personal. Ke depan harus disiapkan mekanisme ini agar tidak mudah terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan," imbuhnya.