Rohingya Tak Berdokumen jadi Dilema Penanganan COVID-19 Pasca-Tablig Akbar Malaysia

JAKARTA - Otoritas Malaysia berusaha melacak sekitar dua ribu orang Rohingya yang menghadiri Tablig Akbar di Masjid Sri Petaling Kuala Lumpur pada 28 Februari hingga 1 Maret lalu. Tablig Akbar yang dihadiri sekitar 16 ribu orang disebut sebagai penyebab melonjaknya kasus COVID-19 di seluruh Asia Tenggara.

Dikutip dari Reuters, Jumat 20 Maret, Kepala Kelompok Hak-Hak Pengungsi mengatakan, "beberapa ratus" orang etnis Rohingya menghadiri pertemuan itu. Lebih dari 100 ribu etnis Rohingya juga diketahui tinggal di Malaysia setelah melarikan diri dari Myanmar.

Namun, mereka dianggap sebagai imigran ilegal karena tidak memiliki dokumen izin tinggal sama sekali. Status mereka kemungkinan membuat mereka enggan memeriksakan diri mereka untuk tes COVID-19. Bahkan, jika mereka menunjukkan gejala, mereka akan enggan untuk memeriksa. 

Maka, pencarian otoritas Malaysia terhadap etnis Rohingya menyoroti tantangan bagi pemerintah yang mencoba melacak virus di antara komunitas yang hidup tanpa dokumen resmi dan takut kepada pihak berwenang. Situasi ini ditanggapi Ketua Kelompok Kerja Rohingya dan Hak-Hak Pengungsi Asia Pasifik Lilianne Fan.

Ia mengatakan, pihak berwenang, termasuk polisi, badan pengungsi AS, dan LSM sedang bekerja untuk mengidentifikasi mereka yang menghadiri acara tersebut atau mereka yang telah terpapar dengan orang-orang yang hadir dalam tablig akbar. Meski sebagian besar komunitas pengungsi telah bekerja sama, beberapa masih ada yang enggan pergi untuk tes karena takut ditangkap. 

“Satu langkah penting dan mendesak yang harus diambil adalah agar pemerintah secara terbuka menyatakan bahwa semua migran dan pengungsi yang tidak berdokumen tidak perlu takut ditangkap dan ditahan. Semua migran yang positif COVID-19 akan diberikan perawatan medis gratis dan tidak akan ditangkap di rumah sakit," kata Fan.

Malaysia sendiri telah melakukan pembatasan perjalanan dan melarang kegiatan yang tidak penting. Kebijakan itu dimulai Rabu 18 Maret hingga dua pekan ke depan. Aturan-aturan tersebut dilakukan setelah terdapat lonjakan kasus yang terkait dengan pertemuan tablig akbar tersebut. Satu orang yang menghadiri pertemuan tersebut meninggal karena COVID-19.

Para peserta tablig akbar juga menghabiskan sebagian besar waktu mereka di masjid selama empat hari, tetapi beberapa pergi ke restoran, mal dan menara kembar Petronas di Kuala Lumpur. Seorang pekerja konstruksi yang berasal dari etnis Rohingya berusia 39 tahun, mengatakan, ia menghabiskan waktu berhari-hari di acara masjid bersama sekitar 20 orang temannya.

Ia mengatakan, tidak ada dari mereka yang menunjukkan gejala. Namun ia sempat pergi ke rumah sakit, tetapi tidak dites. "Semuanya baik-baik saja, tidak ada demam, tidak ada apa-apa," katanya.

Salman, seorang pekerja konstruksi Bangladesh yang tinggal di dekat masjid pertemuan tablig akbar, mengatakan, ia dan teman-teman lainnya dari Bangladesh menghadiri pertemuan itu. Tes menunjukkan bahwa ia negatif COVID-19. Tetapi, rumah sakit mengontrolnya setiap hari untuk memeriksa jika muncul gejala virus.

Imbauan UNCHR

Lebih dari 670 kasus COVID-19 di Asia Tenggara dikaitkan dengan acara tablig akbar di Kuala Lumpur. Secara keseluruhan, Malaysia memiliki sekitar 900 kasus COVID-19, tertinggi di Asia Tenggara.

Organisasi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) telah meminta pemerintah untuk tidak menangkap pengungsi atau pencari suaka tanpa dokumen atau dengan dokumen yang sudah kedaluwarsa. Hal tersebut dikarenakan UNHCR tengah menunda semua penjemputan dan pemindahan karena kasus COVID-19 yang tengah mewabah. 

UNHCR juga telah menulis surat kepada para pemimpin negara dan mendesak mereka untuk mengajak semua pengungsi yang berpartisipasi dalam kegiatan tablig akbar untuk segera menghubungi otoritas kesehatan tanpa takut akan ditangkap. 

Sekitar empat ribu dari 14.500 penduduk Malaysia yang hadir di tablig akbar belum diskrining untuk COVID-19, kata Otoritas Malaysia. Sekitar 1.500 peserta berasal dari berbagai negara termasuk Brunei Darussalam, Kamboja, Singapura, Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Filipina.