Pro Kontra Kehadiran Starlink: Ancaman Praktik Predatory Pricing dan Risiko Keamanan Nasional

JAKARTA – Kehadiran Starlink di Indonesia memicu pro dan kontra. Selain dugaan praktik predatory pricing, kehadiran Starlink juga dianggap mengancam kemanan negara. Tapi di sisi lain, Starlink dapat memberikan akses internet merata terutama di daerah yang sulit dijangkau.  

Elon Musk meluncurkan layanan Starlink di Denpasar, Bali, Minggu (19/5/2024), berbarengan dengan peresmian kerja sama dengan Kementerian Kesehatan. Kerja sama ini bertujuan untuk menyediakan akses internet bagi sejumlah puskesmas di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan yang selama ini sulit dijangkau oleh layanan internet konvensional.

Tak butuh waktu lama, masuknya Starlink ke Indonesia langsung menjadi perbincangan hangat. Pebisnis lokal menuding Starlink melakukan praktik predatory pricing sehingga dikhawatirkan menimbulkan persaingan tidak sehat.

Starlink adalah sistem internet berbasis satelit yang dikembangkan SpaceX pada 2015, dengan orbit relatif dekat dengan permukaan bumi atau low earth orbit (LEO). Starlink tidak menggunakan kabel serat optik, melainkan mengendalikan konstelasi ribuan satelit kecil berorbit rendah untuk mengirim data dengan kecepatan tinggi.

Sederhananya, Starlink mengirimkan data internet lewat gelombang radio ke satelit-satelit di orbit, yang kemudian meneruskannya ke pengguna di berbagai belahan bumi.

Berpotensi Merusak Pasar

Sejak awal 2022, layanan Starlink sudah tersedia di sebagian besar wilayah di Amerika Utara, Eropa, Australia, dan beberapa negara Asia. Namun ketersediaan layanannya bergantung pada sejumlah faktor termasuk kondisi geografis, regulasi pemerintah setempat, hingga kapasitas satelit yang tersedia.

"Starlink kini tersedia di 32 negara di seluruh dunia. Pengguna yang telah memesan Starlink yang berasal dari area 'tersedia' akan mendapatkan akses internet Starlink mereka sesegera mungkin," tulis SpaceX dalam sebuah unggahan X.

Selain AS, negara yang sudah menggunakan Starlink antara lain Australia, Brasil, Chili, Kroasia, Jepang, Filipina, dan Malaysia.

Kemudian awal Mei, Starlink mulai memasarkan paket internet “Perumahan” untuk konsumen Indonesia, dengan biaya langganan Rp750.000 per bulan dan perangkat keras Rp7,8 juta. Mereka juga menampilkan rincian harga untuk paket-paket lainnya, yaitu “Jelajah” dan “Kapal” masing-masing dengan biaya langganan bulanan terendah Rp990.000 dan Rp4,3 juta.

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif Angga mengaku kaget melihat harga paket “Standar” untuk kategori pelanggan “Perumahan”. Harga Rp750.000 per bulan yang ditetapkan di Indonesia dinilai jauh lebih murah dengan paket serupa di luar negeri.

Seorang pengguna X, dulunya Twitter, memamerkan layanan Starlink yang baru dipasangnya. (X/@drayanaindra)

Sebagai perbandingan, paket “Standar” di AS ditawarkan seharga 120 dolar AS atau setara Rp1,9 juta per bulan. Namun, paket yang sama di Malaysia dijual dengan harga 220 ringgit sebulan, kurang lebih setara Rp750.000.

Menurut Arif pemerintah perlu memberi perhatian lebih pada strategi harga Starlink yang dikhawatirkan dapat merusak pasar di dalam negeri.

“Kita sendiri kan sudah beroperasi sejak lama, juga sudah berkontribusi banyak buat pemerintah dalam hal PNBP, pajak, dan lain-lain. Jadi kita pikir pemerintah harus punya national interest,” kata Arif.

Arif menambahkan, jangan sampai kehadiran Starlink justru memakan bisnis teman-teman yang sudah lama beroperasi di Indonesia. Ia menilai Starlink akan menekan bisnis internet dengan jaringan serat optik atau fixed broadband di daerah pinggiran.

Sedangkan di daerah perkotaan, kehadiran Starlink tidak akan terlalu berdampak pada para pemain lama. Ini karena layanan fixed broadband di perkotaan bisa didapat dengan harga lebih terjangkau, rata-rata antara Rp100.000 dan Rp300.000.

Starlink menawarkan potongan harga untuk pembelian perangkat kerasnya di Indonesia hingga 10 Juni 2024. (Starlink).

Kekhawatiran soal potensi predatory pricing atau jual rugi yang dilakukan Starlink juga diutarakan direktur eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi. Menurutnya, praktik predatory pricing bisa menimbulkan persaingan tidak sehat, apalagi sementara ini Starlink menawaskan diskon untuk harga perangkat keras.

Pelanggan wajib membeli perangkat keras seharga Rp7,8 juta di awal, tapi harga tersebut didiskon menjadi hanya Rp4,68 juta sampai 10 Juni.

“Orang Indonesia itu price-sensitive. Bila ada dua layanan, mana yang lebih murah itu yang dipilih,” ucap Heru.

“Kita enggak tahu ke depannya, bisa jadi Starlink juga banting harga. Kecepatannya dikurangi, harganya lebih murah. Bisa jadi ramai kan pelanggannya,” imbuhnya.

Ancam Keamanan Nasional

Selain soal kemungkinan praktik predatory pricing, layanan Starlink dianggap berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok teroris atau separatis untuk berkoordinasi atau merencanakan sesuatu yang mengancam keamanan nasional.

Itu sebabnya, pemerintah harus mendapat akses untuk mengawasi lalu lintas data Starlink.

"Kalau pakai BTS (base transceiver station) kan ketahuan, posisinya di sini orang ini, misalnya di gunung. Tapi kalau pakai satelit kan susah dideteksinya," kata Hargyo Tri Nugrogo, dosen Teknik komputer Universitas Multimedia Nusantara (UMN).

Namun pengamat teknologi siber dan jaringan keamanan IT, Alfons Tanujaya justru mengkritik pihak yang khawatir dan skeptis terhadap kehadiran Starlink. Ia juga menolak adanya kebijakan proteksi pelaku bisnis telekomunikasi dalam negeri karena akan mematikan perkembangan teknologi itu sendiri. Apalagi jika melihat DNA industri teknologi ya memang menghadirkan layanan lebih mutakhir dan canggih dibanding sebelumnya.

“Kalau tidak siap menghadapi kenyataan ini, mungkin ada baiknya perusahaan yang berteriak jangan bergerak di bidang IT dan Telco tetapi berdagang sembako saja,” cetus dia.

Sedangkan untuk menanggapi potensi keamanan data, menurut Alfons penyedia internet kabel optik juga punya ancaman serupa. Pasalnya fiber optic dalam lalu lintas data internet ke luar negeri juga melewati negara seperti Singapura dan Australia (fiber optic cable submarine).

"Intinya di keterbukaan, bagaimana Starlink memberikan akses ke pemerintah untuk melakukan pengawasan,” jelasnya.

“Ada yang bilang takut dimata-matai karena menggunakan Starlink, tetapi apakah Anda sadar kalau Anda menggunakan Whatsapp, Google Maps dan ponsel Android atau iPhone saja Anda sudah dengan sukarela dimata-matai? Kalau tidak dimata-matai oleh penguasa software Amerika Serikat, yah sama penguasa hardware China,” pungkas Alfons.