Mengenal Lapar Hedonis dan Kaitannya dengan Obesitas
JAKARTA – Mengunyah camilan padahal baru selesai menyantap makan dan kenyang sepertinya menjadi hal biasa akhir-akhir ini. Padahal, hal tersebut meningkatkan risiko obesitas.
Secara historis, tujuan manusia makan adalah untuk bertahan hidup. Namun seiring berjalannya waktu, ketika ketersediaan makanan menjadi sangat bervariasi, tak sedikit manusia mengonsumsi makanan hanya untuk kesenangan, bukan menjaga energi.
Fenomena ini menurut ahli didefinisikan sebagai lapar hedonis. Sederhananya, lapar hedonis mendeskripsikan pengalaman mencari makanan bukan karena lapar fisik, melainkan demi kesenangan semata.
Seorang ahli menambahkan, selain untuk kesenangan, kebiasaan makan orang sebagian besar terkait dengan beberapa variabel termasuk emosi, penghindaran stres, dan ketidaknyamanan.
Hanya Demi Kesenangan
Kata hedonis dalam diambil dari bahasa Yunani, hedone, yang artinya kesenangan. Dalam mitologi Yunani, hedone adalah Dewi Kesenangan.
Istilah makan hedonis makin sering dibahas dalam beberapa tahun ke belakang, seiring dengan meningkatnya variasi makanan. Namun di sisi lain, makan hedonis juga disebut ikut andil dalam meningkatnya kasus over weight atau kelebihan berat badan, terutama di kalangan remaja.
Tapi menurut para ilmuwan, rasa lapar hedonis terjadi saat seseorang tidak merasa lapar secara biologis. Perasaan lapar ini muncul justru karena keinginan mengonsumsi makanan demi kesenangan semata.
Salah satu contoh yang paling sering terjadi ada munculnya keinginan dan kemudian memakan sepotong kue setelah makan yang mengenyangkan. Hal ini didorong karena ingin memenuhi kesenangan, dan bukan karena membutuhkan energi.
Ketika orang mencari kesenangan melalui makanan, apakah mereka mengidamkan semangkuk sayuran hijau atau buah-buahan yang menyegarkan? Jawabannya tidak selalu.
Hal inilah yang disayangkan para ahli. Lapar hedonis lebih banyak dipicu karena semakin beredarnya makanan tinggi gula, lemak, dan garam. Dorongan hedonis untuk mengonsumsi makanan tidak sehat kemudian dikaitkan dengan obesitas.
Baca juga:
- Polemik Parkir Liar: Meresahkan Masyarakat di Tengah Perputaran Cuan yang Fantastis
- Mengincar Prestise, Jadi Alasan Konglomerat Indonesia Investasi Klub Olahraga di Luar Negeri
- Mencari Keadilan Lewat Film Vina: Sebelum 7 Hari
- Ada Masalah Lebih Penting Ketimbang Melegalkan Money Politics, Ide Konyol Anggota Dewan yang Konon Terhormat
“Kita sekarang dikelilingi oleh makanan yang sangat lezat, mudah diperoleh, dan siap makan,” menurut James Stubbs, Profesor Nafsu Makan dan Keseimbangan Energi di University of Leeds.
“Ini menjadi resep kenaikan berat badan dan obesitas di masyarakat modern. Tidak heran, satu dari delapan orang di bumi sekarang ini mengalami obesitas.”
Sulit Dikendalikan
Dalam beberapa tahun terakhir, pola makan hedonis sedang dipelajari sebagai salah satu pemicu obesitas terbesar. Ini terjadi karena masyarakat modern dibanjiri makanan yang mudah didapat dan melewati berbagai proses, sehingga otak kita yang mencari kesenangan memaksa kita untuk memakannya.
“Epidemi obesitas tidak ada hubungannya dengan kebutuhan kalori,” mata Michael Lowe, profesor psikologi Drexel University, mengutip Oxford Academic.
“Hal ini ada hubungannya dengan keinginan untuk makan lebih banyak dan, dari sudut pandang saya, kenikmatan dari makanan tertentu, serta kalori yang masuk ke dalam tubuh,” imbuhnya.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, makanan lezat tapi berbahaya ini ada di mana-mana. Makanan olahan seperti minuman ringan, roti, sereal, serta pizza beku menyumbang hampir 60 persen kalori harian orang Amerika Serikat.
Meski lezat dan dianggap mampu menyenangkan hati, namun produk-produk tersebut merupakan perpaduan antara gula, garam, lemak, dan perasa buatan. Ini adalah resep industri yang dikalibrasi secara tepat untuk menggoda selera.
Begitu berat badan bertambah, segala upaya untuk menurunkannya bisa menjadi bumerang, kata Kevin Hall, pakar metabolisme di National Institutes of Health.
Ia menambahkan, manusia di era sekarang sama sekali tidak siap menghadapi konsekuensi tersebut, padahal tubuh kita pada dasarnya sama seperti 10 ribu tahun yang lalu ketika kita hidup di alam.
Ketika rasa lapar fisik memiliki isyarat untuk berhenti, pola makan hedonis justru lebih sulit dikendalikan. Dengan kehidupan modern yang serba mudah untuk mendapatkan makanan, banyak orang yang harus terus menerus bergulat dengan nafsu makan yang tak terkendali.
“Salah satu hal yang telah kami pelajari adalah bahwa sering kali tidak ada tombol off ketika kita memiliki lebih dari yang kita butuhkan, ketika kita makan untuk kesenangan,” Lowe menyudahi.