Fat Cat Akhiri Hidup karena Cinta Ditolak, Tanda Krisis Kesehatan Mental Hantui Gen Z
JAKARTA – Seorang gamer China yang populer dengan nama Fat Cat menyita perhatian di seluruh dunia. Fat Cat, pria yang begitu mencintai kekasihnya, memutuskan bunuh diri setelah depresi karena perasaannya tak berbalas.
Fat Cat memiliki nama asli Pang Mao, seorang pria 21 tahun yang berprofesi sebagai Pro Player Mobile Legend. Fa Cat punya kekasih bernama Tan Zhu, perempuan 27 tahun.
Menurut kabar media China, Fat Cat ‘bertemu’ kekasihnya secara daring pada 2022, namun mereka baru tatap muka di akhir 2023. Tan Zhu pernah berjanji akan menikah dengannya pada akhir 2024. Fat Cat yang sangat mencintai kekasihnya rela pindah ke Chongqing dari Hunan dua tahu lalu. Ia mencari nafkah dengan “melatih” karakter video gamer lain.
Demi membahagiakan sang kekasih, Fat Cat rela hidup sangat sederhana. Hampir semua penghasilannya diberikan kepada Tan Zhu. Ia dikabarkan juga mentransfer uang 97.300 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp1,5 miliar.
Dalam tangkapan layar yang tersebar di internet, Fat Cat bahkan pernah mengirimkan pesan kepada sang kekasih bahwa ia ingin menyantap hidangan dari restoran cepat saji. Alih-alih bersimpati, Tan Zhu malah menasihati kekasihnya bekerja lebih keras jika ingin makan makanan enak.
Namun pengorbanannya tidak dihargai sang kekasih. Tan Zhu memilih menjalin hubungan dengan pria lain dan putus dari Fat Cat. Kenyataan ini membuat Fat Cat sangat patah hati. Ia tak bisa menahan rasa sepi dan putus asa, hingga memilih berjalan ke jembatan di Chongqing dan terjun ke air sungai yang dingin dan tak pernah kembali.
Perasaan Tidak Diacuhkan Orang Tersayang
Tragedi ini menjadi topik yang paling banyak dibahas di Weibo, platform media sosial paling populer di China, ketika kabar bunuh dirinya menyeruak akhir April lalu. Sementara itu pihak polisi masih menelusuri dugaan scam yang dilakukan Tan Zhu.
Pada 2021, kisah cinta yang berujung bunuh diri juga dialami seorang mahasiswi Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, berinisial NW (23). Ia ditemukan meninggal di dekat pusara ayahnya di kawasan Desa Japan, Kabupaten Mojokerto. Ia diduga bunuh diri setelah ibunya menemukan cairan berjenis potasium sianida. NW diduga hamil dan diminta aborsi oleh kekasihnya.
Di tahun sebelumnya, RG (18), siswa SMK di Blora ditemukan tewas gantung diri di dalam kamar rumahnya di Desa Temanggung. Berdasarkan hasil pemeriksaan kepolisian, pelajar yang duduk di bangku kelas II di salah satu SMK terkemuka di Kecamatan Cepu tersebut diduga nekat mengakhiri hidupnya lantaran cintanya ditolak. Hubungannya tidak direstui orangtua si perempuan.
Lalu ada juga kasus bunuh diri remaja berinisial EK (20) di dalam kamarnya di Kampung Kadu, Desa Pete, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Ia gantung diri diduga karena cintanya ditolak oleh perempuan yang juga rekan satu kerjanya.
Perasaan diabaikan oleh oleh tersayang disebut bisa menjadi salah satu penyebab depresi seseorang, sebagaimana dijelaskan psikolog Tika Bisono. Ia mengatakan, rasa bersalah hamil di luar nikah dan sikap pasangan yang tidak acuh berpengaruh pada tekanan batin, bahkan kehilangan akal sehat.
"Dalam konflik batin yang tinggi itu bisa menuju ke situasi histeris. Dia tidak memiliki kedewasaan menghadapi itu dengan sikap tenang dan berpikir matang," ujar Tika.
Gen Z Dianggap Kurang Tangguh
Melihat deretan kasus di atas, bunuh diri banyak dialami generasi muda atau yang kini disebut generasi Z, yaitu mereka yang lahir pada 1997 sampai 2012. Masalah kesehatan mental yang dialami gen Z memang tengah menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia, dalam beberapa tahun ke belakang.
Pada 2018 WHO merilis pernyataan bahwa bunuh diri menjadi penyebab kematian kedua tertinggi pada rentang usia 15-29. Masih dari data yang sama, WHO menyebut rasio bunuh diri di Indonesia pada 2019 mencapai 2,4 per 100.000 penduduk.
Banyak faktor yang mendorong seseorang memutuskan bunuh diri, seperti kondisi perekonomian yang tidak baik, penampilan fisik kurang memuaskan, ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang, masalah sosial, serta gangguan psikologi.
Namun Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa dr. H. Marzoeki Mahdi (PKJN RSMM) Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ menyatakan, ekspektasi eksternal menjadi salah satu pemicu maraknya kasus kesehatan mental generasi muda.
“Ketika saya meneliti stressor (pemicu) psikososial di DKI Jakarta, mereka merasa bahwa prestasi mereka tidak sesuai dengan ekspektasi. Masalahnya ekspektasi siapa? Kebanyakan dikte eksternal,” kata dia, disitat Antara.
Ekspektasi eksternal atau tuntutan sosial membangun standar semu mengenai sebuah keberhasilan seseorang. Media sosial juga berperan besar dalam kasus tersebut. Merujuk data American Psychological Association (APA), gen Z merupakan kelompok masyarakat yang paling mau mengakui bahwa mereka memiliki masalah dengan kesehatan jiwa.
Nova menambahkan, gen Z merupakan generasi paling rajin mencari bantuan dan peduli tentang kesehatan mental dan kehidupan secara keseluruhan, yang mana tidak dialami generasi-generasi sebelumnya.
Namun meski lebih terbuka soal isu kesehatan mental, angka kasus bunuh diri di kalangan gen Z justru melonjak dalam empat tahun terakhir. Di Jakarta misalnya, menurut penelitian pada 2019 terhadap 910 remaja usia 14-19 tahun menyatakan 13,8 persen berisiko bunuh diri di kemudian hari. Angka tersebut naik menjadi di atas 50 persen pada penelitian di 2023. Penelitian kedua dilakukan terhadap 612 mahasiswa di Jakarta.
“Ide untuk bunuh diri lebih banyak dialami pada perempuan, namun pada saat eksekusi atau benar-benar melakukan mayoritas jenis kelamin laki-laki,” jelas Nova.
Fenomena ini kemudian memunculkan anggapan bahwa generasi muda kurang tangguh, yang disebabkan karena adanya perubahan pola asu orangtua. Di sisi lain, perubahan dunia yang begitu cepat menjadi semakin membingungkan dan tidak menentu, menjadi lebih brutal, dan menjadi tempat buruk sehingga generasi muda menanggung beban terbesarnya.
Mengutip The Guardian, sebenarnya banyak sekali penyebab potensial terkait kesehatan mental gen Z, mulai dari krisis biaya hidup, lockdown akibat COVID-19, krisis iklim, tekanan di sekolah, sampai media sosial dan telepon pintar.
“Masalah kesehatan mental di kalangan generasi muda sudah meningkat sebelum pandemi,” kata Nil Guzelgun, kepala kebijakan dan kampanye di Mind.
Baca juga:
- UKT Mahal Membenarkan Anggapan Orang Miskin Dilarang Kuliah
- Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Pembangunan Serampangan Sebabkan Banjir Bandang di Sumatra Barat
- Mempertanyakan Urgensi Karyawisata Sekolah ke Luar Kota Pasca-Kecelakaan SMK Lingga Kencana Depok
- Refleksi Kecelakaan Bus Study Tour SMK Lingga Kencana, Jangan Tergiur Transportasi Murah tapi Tak Jamin Keselamatan
“Kami melihat peningkatan yang sangat besar pada 2017. Jadi ini bukan hanya karena pandemi. Kami tahu orang-orang dengan kesehatan mental terjebak dalam pekerjaan bergaji rendah dan tidak aman. Setelah krisis keuangan, kita melihat peningkatan masalah kesehatan mental setelahnya,” imbuh Guzelgun.
Kesehatan mental bukan sesuatu yang bisa disepelekan. Jika seseorang merasa mengalami masalah pada kesehatan mental, sebaiknya menemui tenaga profesional seperti psikolog untuk membantunya mengatasi masalah tersebut.