DPR soal RUU Penyiaran: Tayangan Jurnalistik Investigasi Ada Pembatasan, Acara Pernikahan Tidak Perlu
JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Fraksi PKS Sukamta, menjelaskan soal draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang baru-baru ini menuai kritik lantaran dianggap memberangus kebebasan pers.
Secara garis besar, Sukamta mengatakan tayangan jurnalistik investigasi mesti ada pembatasan, sementara tayangan ekslusif seperti acara pernikahan dan ulang tahun tak perlu disiarkan berlarut-larut.
Sukamta awalnya mengungkap soal latar belakang pengaturan terkait larangan penayangan jurnalistik investigasi dalam RUU Penyiaran. Menurutnya, pengaturan tersebut untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja. Padahal setiap media penyiaran memiliki kesempatan untuk menyiarkan suatu konten.
"Tayangan investigasi diperlukan bagi pemirsa untuk mendapatkan informasi yang penting bagi masyarakat banyak. Contohnya, tayangan yang membongkar bisnis makanan atau minuman yang ternyata tidak sehat, atau tayangan yang membongkar praktik kejahatan yang banyak terjadi di masyarakat, seperti judi online, sindikat narkotika. Tayangan-tayangan seperti ini justru sangat edukatif dan berguna bagi masyarakat luas," ujar Sukamta kepada wartawan, Senin, 13 Mei.
"Tapi, tayangan yang menampilkan secara eksklusif acara pesta seseorang, entah pernikahan atau ulang tahun, secara berkepanjangan, rasanya yang seperti ini tidak perlu. Karena tidak edukatif, penayangan mestinya seperlunya saja, karena frekuensi penyiaran adalah hak publik," sambungnya.
"Intinya, tayangan jurnalistik investigasi diperlukan, namun ada batasnya. Karenanya pelarangan yang dimaksud dalam draf revisi UU penyiaran itu maksudnya adalah perlu pembatasan," katanya lagi.
Sementara soal ketentuan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang menyelesaikan sengketa pers, Sukamta menilai, mekanisme hak jawab dan hak koreksi yang dilakukan Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa pers masih bermasalah.
Baca juga:
Sukamta menjelaskan, Pasal 8A huruf q RUU Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, disebutkan salah satu kewenangan KPI adalah menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran. Kewenangan ini dinilai bersinggungan dengan Dewan Pers yang diatur dengan UU Pers yang memiliki mekanisme hak jawab dan hak koreksi.
"Tapi mekanisme hak jawab dan hak koreksi yang diatur oleh UU Pers menjadi masalah," katanya.
Untuk itu, Sukamta mendorong Komisi I DPR agar kembali membahas kelanjutan penyusunan draf RUU Penyiaran bersama Dewan Pers dan pemerintah. Sehingga posisi UU Pers menjadi jelas.
"Komisi I DPR harus kembali membahas bersama Dewan Pers dan pemerintah untuk mempertegas lex specialis terhadap posisi UU Pers. Idealnya, UU Pers merupakan lex specialis, yaitu UU Pers yang bersifat khusus meniadakan UU bersifat umum," pungkasnya.