Mengejar Naturalisasi Melupakan Pembinaan Usia Dini
JAKARTA - Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki antusiasme tinggi terhadap cabang olahraga sepak bola. Namun Euroria kecintaan terhadap sepak bola nasional kerap naik turun, seiring prestasi sepak bola nasional. Gairah bola kita begitu menggebu-gebu kala kesebelasan tim nasional Indonesia bangkit, gairah pun menurun saat kesebelasan kita tak kunjung berprestasi.
Menjadi pertanyaan mengapa bola Indonesia terus terpuruk. Sulit menjadi juara walau sebatas tingkat Asean. Begitu sulitkah memilih 11 orang dari 275 juta penduduk Indonesia untuk membentuk tim sepak bola nasional. Itu pertanyaan yang kerap muncul dari penggila bola. Di era Erick Thohir sepak bola menunjukan baru geliatnya.
Beberapa dekade sebelumnya Sepak bola Indonesia diidentifikasi dengan cap miskin prestasi, ketidak profesional kompetisi. kekerasan di dalam dan di luar lapangan dan minimnya pembinaan. Era tahun 2010 bahkan sudah menjadi rahasia umum sepak bola direcoki oleh mafia bola. Sehingga saat itu muncul gerakan dari sejumlah kalangan ingin mereformasi persepakbolaan Indonesia, dengan memilih pengurus PSSI dari orang-orang profesional, serta membuat liga tanpa mafia bola.
Kelompok itu telah membuat konsep bernama Buku putih reformasi sepak bola Indonesia. "Konsep itu sempat diserahkan kepada presiden SBY. Kendati konsep itu dilempar ke tempat sampah oleh ketua PSSI waktu itu Nurdin Halid," ujar Yon Moeis, mantan wartawan Senior Koran Tempo yang ikut membidani lahirnya Buku Putih itu.
Baca juga:
Menurut Yon, sasaran utama gerakan mereka ingin menghapus mafia bola di kompetisi sepak bola. Sebab saat itu mafia bola dirasakan telah merajalela. Judi yang awalnya hanya permainan dilapangan secara cash and carry, saat itu sudah sampai mempengaruhi pertandingan dan mereka sudah berani mendatangi wasit dan para pemain untuk mengatur pertandingan.
Kondisi kepengurusan organisasi sepak bola yang tidak lagi kondusif. Kelompok gerakan reformasi Sepak bola itu ingin mendorong sejumlah sejumlah nama menjadi pengurus PSSI. Menurut Yon, mereka menggadang-gadang tokoh seperti Toisuta (Mantan KSAD) dan Arifin Panigoro (pengusaha) untuk memimpin PSSI, kebetulan saat itu menjelang kongres PSSI di Solo.
"Namun gerakan Jenggala (kediaman Arifin Panigoro) terendus pengurus incumbent saat itu, sehingga mereka urung memajukan mereka," ungkap Yon.
Sebagai gantinya mereka mendorong Djohar Arifin menjadi ketua PSSI. Dan terpilih menjadi ketua PSSI. Ditangan kelompok Gerakan Reformasi Sepak Bola itu mereka menggulirkan kompetisi bernama Liga Primer Indonesia, menggantikan Liga Super Indonesia sebelumnya. Pembentukan Liga Primer Indonesia dilatarbelakangi keinginan untuk memajukan sepak bola Indonesia agar lebih mandiri, tidak tergantung pada anggaran dari pemerintah daerah masing-masing klub. Namun LPI hanya berlangsung setengah musim kompetisi pada 2011.
Pembentukan liga baru ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan klub-klub bahkan terjadi perpecahan di dalam antara anggota komite eksekutif PSSI. Karena sebagian klub menginginkan bertahan di liga Super Indonesia, sehingga terjadi kisruh dan dualisme. Puncaknya dibentuknya Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) oleh klub klub dan sebagian pengurus PSSI pro pada Liga Super Indonesia. Pembentukan KPSI menyebabkan terjadinya dualisme organisasi pengatur sepak bola di Indonesia dan dualisme kompetisi liga (ISL dan IPL).
Sedikitnya ada 6 klub yang mengalami dualisme dengan memakai nama yang sama, dan masing-masing mengaku sebagai klub yang asli. Diantaranya Persija, PSMS Medan, Persebaya Surabaya, Arema Malang, PSIS, PPSM Magelang masing -masing mengikuti(Divisi Utama ISL dan Divisi Utama IPL). Persoalan dualisme juga menjalar sampai ke pengurus tingkat provinsi (pengprov).
Setidaknya Ada 17 pengurus provinsi yang mengalami dualisme kepengurusan. Sehingga Menpora Imam Nahrawi membekukan PSSI. FIFA selaku federasi sepak bola tertinggi dunia pun akhirnya menjatuhkan sanksi kepada Indonesia akibat intervensi Menpora.
Di tengah buruknya prestasi Sepak Bola ditambah kisruh organisasi semakin memperparah kondisi persepakbolaan Indonesia. Dengan tidak berjalannya kompetisi dan sistem pembinaan berjenjang, makin memperburuk persepakbolaan nasional. FIFA baru mencabut sanksi setelah dua tahun, setelah mereka kongres di Mexico City, Meksiko, 2016 dan setelah Menpora mencabut pembekuan PSSI.
Sejumlah pihak dan pakar sepak bola berulang kali menyerukan agar PSSI bergegas membuat pembinaan yang terarah dan berkesinambungan. Persoalan pembinaan itu telah lama didengungkan. Namun PSSI tak bisa mewujudkan hingga saat ini. Sebenarnya gagasan itu beroleh momentum saat Gerakan Reformasi sepak bola muncul, Namun belum sempat mereka membenahi muncul persoalan dualisme dan pembekuan tadi.
Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Surono, daLam diskusi bertema ‘Momentum Regenerasi Sepak Bola Indonesia’ tahun lalu, memberi gambaran pembinaan berjenjang usia dini hingga remaja yang dimaksud adalah, pada usia-usia dini (U-10) difokuskan pada pengembangan keterampilan dasar, sedang pada usia remaja (U-12 sampai U-17) berfokus pada pengembangan taktik dan fisik.
Sementara dari sisi Kompetisi: usia 10-12 tahun, kompetisi harus bersifat rekreasional dan menyenangkan yang mendorong pemain untuk bermain sepak bola dengan semangat dan motivasi yang tinggi. Di usia 13-15 tahun, kompetisi harus lebih kompetitif dan harus mendorong pemain untuk mengembangkan kemampuannya dan meningkatkan kualitas permainannya.
Sementara usia 16-17 tahun, kompetisinya harus memberikan tantangan yang nyata bagi pemain untuk meningkatkan kemampuannya dan mempersiapkan diri menghadapi kompetisi di level yang lebih tinggi.
Sependapat dengan Surono, Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Nyoman Shuida juga mengatakan bahwa pembinaan usia muda akan menentukan capaian prestasi dan masa depan sepakbola nasional.
"Dalam pembinaan usia muda, penyediaan SDM pelatih berkualitas dan wasit berkualitas menjadi sangat penting. Oleh karena itu Kemendikbud dan Kemenpora juga harus konsen terhadap peningkatan kapasitas pelatih dan wasit sepakbola usia muda agar pembinaan semakin berkualitas," ujarnya, pada acara International Virtual Conference (Indonesia Youth Football Development), beberapa waktu lalu.
Inisiatif SSB Justru Datang dari Masyarakat
Inisiatif mengembangan pembinaan sepak bola seberanya telah dirintis sejumlah pihak. Misalnya dengan mendirikan SSB (Sekolah Sepak Bola) namun itu baru dilakukan oleh perorangan dan beberapa klub. Tetapi konsep SSB ini tidak pernah menjadi regulasi Baik oleh PSSI maupun pemerintah. SSB juga tidak menjadi Program PSSI untuk membina calon pemainnya.
Literatur menyebutkan sekolah sepak bola (SSB) sudah ada sejak 1990 di Indonesia. Tujuan pendirian Sekolah Bola dimaksudkan untuk membenahi kemampuan bermain sepak bola dan memperkuat pemahaman sepak bola mereka. SSB mulai berkembang saat Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI dijabat Ronny Pattinasarany pada 1999-2003. Ronny adalah mantan pesepak bola timnas Indonesia era 70-80 an.
Dalam artikelnya di Kompasiana, Supartono JW, menyebut kepengurusan sepak bola PSSI di ranah lokal yakni asosiasi kota, asosiasi kabupaten, dan asosiasi provinsi acap menempatkan SSB sebagai "anak tiri". Mayoritas SSB masih dikelola pihak swasta, bukan PSSI. "Kuat dugaan, klub sepak bola profesional bahkan punya kecenderungan mencomot pemain-pemain dari SSB," ujarnya.
Bahkan pada masa-masa awal SSB, klub tak punya SSB sendiri, SSB didirikan perorangan terutama mereka yang memiliki kecintaan dan kepedulian terhadap bola. Turnamen SSB kali pertama terlaksana pada 1999. Turnamen itu bernama Kid's Soccer Tournament (KST). Turnamen KST diikuti 16 sekolah sepak bola di sekitar Jabodetabek.
Nama SSB secara resmi mendapat respon PSSI pada 1 Juli 1999 dengan pembentukan Matahari Kid's Soccer Tournament (MKST). Sayangnya sampai kepengurusan Agum Gumelar berakhir, di tahun 2000-2003, MKST tidak berlanjut. Di bawah kepemimpinan Agum Gumelar, nama Sekolah Sepak Bola (SSB) sempat dikenal oleh masyarakat.
Kini, setelah 23 tahun, menurut Supartono, nama SSB yang digaungkan PSSI dan dianggap sebagai wadah sepak bola akar rumput, ternyata estafet kepemimpinan Ketua Umum selanjutnya dari Nurdin Halid 2003 - 2011; Djohar Arifin Husin 2011 - 2015; La Nyalla Mattalitti 2015 - 2016; Edy Rahmayadi 2016 - Januari 2019; Joko Driyono Januari - Maret 2019; Iwan Budianto Maret - November 2019; dan Mochamad Iriawan November 2019, kedudukannya SSB masih tidak terakomodir di PSSI. Keberadaannya dibiarkan mengambang. Tetapi pemain hasil binaan SSB kerap dipetik oleh Klub dan PSSI, "Boleh disebut dengan cara akal-akalan dan gratisan," katanya.
Sepakbola sebagai olahraga yang paling digemari lalu jumlah penduduk Indonesia yang besar, menjadikan wadah SSB sangat mudah dibentuk oleh organisasi hingga ke perorangan. Namun tidak dimaksimalkan karena tidak ada standarisasi dan tidak ada pengawasan.
Meski PSSI telah melegitimasi pembinaan SSB ada di bawah naungan Asprov, Askab, dan Askot. Namun karena keberadaan SSB tetap harus merupakan afiliasi dari Klub anggota, maka kompetisi Piala Soeratin pun pesertanya atas nama Klub, walau pun pemain di bina oleh SSB. Kegiatan berbau SSB akhirnya tetap dikendalikan oleh individu penggila sepakbola dan pihak swasta yang memiliki kepedulian terhadap sepakbola akar rumput ini.
Hingga PSSI dipimpin oleh Erick Thohir saat ini sekolah bola dan Akademi sepak bola tidak menjadi perhatian PSSI untuk menyiapkan regenerasi pemain Tim Nasional. Kecenderungan kepemimpinan Erick Thohir di PSSI, justru lebih suka mengarah naturalisasi pemain dengan mencomot talenta yang bagus-bagus dan instan, dengan mengesampingkan pembinaan pemain muda.
"Era Erick memang tidak terlihat arah pembinaan usia muda, lebih pada naturalisasi," ujar Yon Moeis mengkritik pembinaan diera Erick.