Museum Rumah Anne Frank Dibuka untuk Umum dalam Sejarah Hari Ini, 3 Mei 1960
JAKARTA – Sejarah hari ini, 64 tahun yang lalu, 3 Mei 1960, Museum Rumah Anne Frank yang terletak di Prinsengracht, Amsterdam, Belanda dibuka untuk umum. Kehadiran museum itu dapat memberikan gambaran bagaimana Anne Frank dan keluarga Yahudi lainnya bersembunyi dari kejaran tentara Nazi Jerman.
Sebelumnya, hidup sebagai Yahudi pernah dianggap masalah besar. Seorang remaja Anne Frank dan keluarga merasakannya di era Nazi Jerman. Anne pun bersembunyi di rumah yang notabene kantor orang tuanya.
Politik Adolf Hitler dan Nazi Jerman membuat orang Yahudi jadi sengsara. Upaya membinasakan kaum Yahudi dalam Perang Dunia ke-2 muncul. Kaum Yahudi terus diburu di mana saja sepanjang kuasa penaklukkan Nazi Jerman.
Kondisi itu membuat Anne Frank jadi ketakutan. Remaja Yahudi kelahiran Frankfurt 13 Juni 1929 ini mulai memandang Nazi Jerman berbahaya. Keluarganya –Ayah dan ibunya—Otto dan Edith Frank membawa Anne pergi dari Jerman untuk memulai hidup baru di Belanda pada 1933.
Otto pun lalu berinsiatif memulai hidup baru. Bisnis menjual bahan pembuat selai dan bumbu rempah untuk masakan daging dilakukan. Bisnis itu bermarkas di rumah yang berada di Prinsengracht 263. Masalah muncul. Nazi Jerman pun mulai menduduki Belanda sedari 1940.
Mereka mulai membatasi aktivitas orang Yahudi yang kemudian mulai mencoba membinasakannya. Anne Frank beserta keluarganya dan Satu keluarga Yahudi lain—Hermann van Pels, istri dan dua orang anak lelaki mereka—memilih bersembunyi dari 1942-1944.
Mereka bersembunyi di kantor Otto. Kebetulan kantor itu telah disiapkan dengan ruangan rahasia. The secret annex, namanya. Ruangan itu dapat diakses lewat menggeser lemari buku. Mereka pun bisa mendapatkan makanan dari pegawai Otto.
Anne pun banyak mencurahkan perasaan lewat menulis di buku hariannya. Catatan itu kian mendalam bak perenungan. Masalah muncul setelah dua tahun bersembunyi. Nyatanya, ada yang membocorkan tempat persembunyian keluarga Yahudi tersebut.
Mereka pun diangkut ke Kamp Konsentarasi Auschwitz. Anne dan ibunya tak selamat. Ayahnya, Otto saja yang hidup. Beruntung catatan harian Anne mampu disimpan pegawai ayahnya, Miep Gies. Setelahnya catatan harian itu diberikan kepada Otto dan diterbitkan 1947.
“Tapi Anne Frank, bagaimanapun, adalah simbol diskriminasi hak asasi manusia, kata Geeskelien Wolters, Direktur Erasmus Huis Jakarta. Di surga, Anne Frank mungkin menggenggam catatan hariannya sambil masih meneteskan air mata karena xenophobia dan rasialisme belum luntur bahkan sampai kini. Di mana-mana di belahan bumi, juga di Indonesia. Karena itu, kisah pedih Anne Frank adalah sejarah untuk masa kini,” ungkap Seno Joko Suyono dan kawan-kawan dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Catatan Harian Anne Frank, Holocaust, dan Kontroversi Sejarah (2001).
Popularitas dari catatan harian Anne mendunia. Orang-orang bak merasakan pedihnya diburu oleh Nazi Jerman. Hidup dari hari demi hari dengan perasaan yang cemas. Otto pun segera membangun Yayasan Anne Frank pada 1953.
Setelahnya, Otto dan para aktivis mencoba mengamankan rumah yang dulunya menjadi tempat persembunyiannya dari kejaran Nazi. Yayasan Anne Frank pun berniat untuk membangun museum di dalam bangunan Prinsengracht 263. Museum Rumah Anne Frank, namanya.
Museum itu dibuka untuk umum pertama kali pada 3 Mei 1960. Kehadiran museum itu disambut dengan antusias. Pengunjung pun berbondong-bondong untuk datang. Bahkan, pengunjung ke museum itu bisa mencapai jutaan orang tiap tahunnya.
“Dengan jumlah pengunjung yang meningkat menjadi 1,3 juta setiap tahunnya, dari satu juta pada tahun 2010, Rumah Anne Frank mulai memperhitungkan dimensi popularitasnya yang luar biasa. Banyak pengunjung muda dan asing yang berbondong-bondong ke sini memiliki sedikit pengetahuan tentang Holocaust.”
“Museum ini dan beberapa museum lain yang didedikasikan untuk kehidupan Yahudi sedang mencari cara baru untuk mengatasi menurunnya pemahaman tentang Perang Dunia II. Suatu peristiwa yang memunculkan pula genosida yang merenggut nyawa enam juta orang Yahudi di Eropa,” ujar Nina Siegal dalam tulisan di laman The New York Times berjudul Anne Frank Who? Museums Combat Ignorance about the Holocaust (2017).