Bagikan:

JAKARTA - Gelombang panas bukan masalah baru yang melanda dunia. Amerika Serikat (AS) pernah merasakannya pada 1936. Suhu tertinggi mencapai 41 derajat Celsius. Seisi Negeri Paman Sam kewalahan berlindung dari gelombang panas. Kehidupan sehari-hari kian sulit.

AS yang baru diterpa The Great Depression (Depresi Besar) bak dipaksa menerima efek gelombang panas. Alih-alih gelombang panas hanya munculkan masalah kekeringan belaka, ratusan warga AS justru meninggal dunia di berbagai negara bagian.  

Depresi Besar adalah salah satu fase terburuk dalam sejarah AS. Kala itu kejatuhan harga saham di bursa efek New York, AS mengubah segalanya pada Oktober 1929. Arus perdagangan jadi lesu. Barang-barang industri mulai hilang dari pasaran.

Kondisi itu membuat kehidupan warga AS semakin sulit. Banyak di antara perusahaan di berbagai bidang gulung tikar. Pengangguran pun muncul di mana-mana. Pemerintah AS pun ogah menyerah. Mereka terus melakukan perbaikan di tengah Depresi Besar – suatu maslaah yang baru berakhir pada 1939.

Warga AS memilih tidur di luar karena gelombang panas. (Minnesota Historical Society)

Ekonomi pun segera diperbaiki. Namun, nasib sial tidak ada dalam kalender. Bencana baru pun perlahan-lahan datang ditandai dengan musim dingin awal tahun 1936. Mulanya tiada yang aneh dengan musim dingin itu. Masalah yang dihadapi sama seperti musim dingin pada umumnya.

Beberapa ternak mati dan orang terkena hipotermia. Tiada yang mengejutkan. Orang-orang pun menjalaninya dengan tenang dan tak punya gambaran keburukan apa yang akan dihadapi dalam beberapa bulan ke depan.

Nyatanya, cuaca setelah musim dingin tak lantas membaik. Bak jatuh tertimpa tangga, AS justru diterpa masalah baru. Gelombang panas, namanya. Gelombang panas secara mudahnya dipahami sebagai sesuatu udara panas berasal dari udara hangat yang terperangkap di atmosfer bumi.

Gelombang panas yang melanda AS pada Juli 1936 bukan kenaikan suhu bumi biasa. Gelombang panas itu masuk dalam kategori mematikan. Bahkan, salah satu negara bagian mencapai suhu hingga 41 derajat Celsius.

Bencana ini dipandang oleh beberapa pakar murni faktor alam, bukan perubahan iklim seperti era kekinian. Kondisi itu karena AS tak memiliki tanda-tanda akan terjadi gelombang panas. Puncaknya, gelombang panas mulai jadi ancaman di banyak negara bagian di AS.

“Suhu mulai meningkat pesat pada bulan Maret, dengan curah hujan yang semakin langka. Badai yang terjadi sesekali akan memberikan harapan kepada para petani bahwa suhu tinggi yang terjadi pada awalnya akan hilang. Sebaliknya, mereka terus menanjak.”

“Pada bulan Juni, kekeringan melanda wilayah Timur Laut, menyebabkan terjadinya tanah-tanah yang panas dan kering memanaskan udara. Tak lama kemudian, wilayah Barat dan Selatan mengalami kondisi yang sama,” tertulis dalam George Bass dalam tulisannya di laman Washington Post berjudul The U.S. is Sweltering. The Heat Wave of 1936 was Far Deadlier (2022).

Gelombang Panas Mematikan

Imbas dari gelombang panas ke mana-mana. Sebagian besar negara bagian merasakan nelangsanya udara panas dan terik dari awal Juli 1936. Udara panas bukan hanya menyebar di New York, tapi di beberapa negara bagian lainnya seperti New Jersey hingga Pennsylvania.

Kondisi itu membuat kekeringan parah melanda seisi AS. Masalah itu diperparah dengan warga AS yang kelabakan dihajar Depresi Besar jadi makin sengsara. Mereka dipaksa harus pandai-pandai bertahan di tengah gempuran udara panas.

Ambil contoh beberapa oranG di Central Park sampai harus meminta es dari kantor-kantor pemerintah. Pun sekolah-sekolah di berbagai tempat terpaksa ditutup. Penutupannya bahkan memakan waktu hingga satu bulan.

Seorang pria tidur di bangku taman untuk menghindari gelombang panas yang melanda AS pada 1936. (Minnesota Historical Society)

Masalah muncul. Gelombang panas pun mulai memakan korban jiwa. Panas udara yang terik banyak membuat orang-orang kehilangan akal sehat karena panas. Banyak juga di antaranya yang ditangkap karena mereka memilih tidur di pantai-pantai umum. Sekalipun kemudian dibebaskan.

“Secara nasional, 997 orang tewas dalam gelombang panas selama 10 hari, 76 di antaranya berada di wilayah New York. Sebanyak 21 kematian di New York disebabkan oleh tenggelam, karena anak-anak dan orang dewasa yang tidak bisa berenang tetapi memilih melompat ke dalam air untuk menghindari cuaca panas.”

“Penduduk kota lainnya mencoba untuk tetap menjalani rutinitas normal mereka, dan beberapa terjatuh di atap rumah, di apartemen mereka, bahkan di kereta. Seorang petugas kebersihan berusia 29 tahun meninggal di samping ketel air panas di gedungnya,” ujar Emily M. Bernstein dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Recalling July '36, When Streets and Dentures Melted (1993).