Penyebab Sindrom Hikikomori, Menarik Diri dari Pergaulan karena Kondisi Kejiwaan

YOGYAKARTA – Istilah hikikomori berasal dari Jepang  yang merupakan gabungan dari kata hiki berarti “menarik diri” dan komori artinya “berada di dalam”. Istilah tersebut mengacu pada “orang yang menarik diri dari pergaulan di masyarakat”. Hikikomori adalah sebuah sindrom budaya yang tidak hanya terjadi di Jepang, tetapi menyebar ke seluruh dunia dan memengaruhi tingkat kesepian yang meningkat.

Menurut penelitian tahun 2023 diterbitkan dalam Clinical Child and Family Psychological Review, hikikomori adalah bentuk penarikan diri dari pergaulan yang ekstrim dan dipengaruhi berbagai faktor. Faktor yang memengaruhi seseorang mengalami sindrom hikikomori, termasuk diantaranya karena kondisi kejiwaan, berkepribadian maladaptif, dinamika keluarga termasuk pola asuh yang merugikan, pengalaman negatif, tekanan masyarakat, dan penggunaan media digital dengan internet secara berlebihan.

Seseorang yang mengalami hikikomori, ditandai dengan penolakan terus-menerus untuk meninggalkan rumah selama lebih dari enam bulan, ketidaktertarikan pada sebagian besar aktivitas, putus sekolah, berhenti bekerja untuk tinggal di rumah, dan ketergantungan pada keluarga tanpa rencana hidup mandiri. Di Jepang, pada tahun 2022 ada sekitar 1,46 juta ‘pertapa’ dalam kelompok usia antara 15 sampai 64 tahun. Melansir Psychology Today, Rabu, 1 Mei, survei tahun 2019 menunjukkan sejumlah 613.000 orang di Jepang berusia antara 40-64 tahun termasuk dalam kategori “hikikomori dewasa”.

Ilustrasi penyebab dan cara mengatasi hikikomori menurut penelitian (Freepik)

Mengutip penjelasan psikologis Mark Travers, Ph.D., tahun lalu Menteri Kesetaraan Gender dan Keluarga di Korea Selatan, meluncurkan program yang menawarkan memberi tunjangan bulanan sebesar $490 kepada kaum muda hikikomori untuk kembali sekolah, mencari pekerjaan, dan bermasyarakat.

Sindrom yang tidak hanya terjadi di Jepang saja ini, terjadi pula di Amerika Serikat, Cina, India, Brasil, dan negara-negara Eropa lainnya. Lantas, apa yang menyebabkan seseorang ‘memilih jalan’ hikikomori? Menurut sebuah penelitian tahun 2019 diterbitkan dalam Frotiers of Psychology, hikikomori dikaitkan dengan hubungan interpersonal seseorang. Penelitian lainnya menunjukkan, hikikomori disebabkan berikut ini:

1. Keputusasaan

Peserta dalam penelitian dengan hikikomori melaporkan, mereka merasa tidak kompeten dalam dunia yang penuh tantangan. Banyak dari meraka merasakan trauma dari pengalaman masa lalu dan dipayungi keraguan dalam menghadapi tantangan dunia nyata di masa depan.

Ilustrasi penyebab dan cara mengatasi hikikomori menurut penelitian (Freepik)

2. Kelelahan hubungan

Alasan lain orang menarik diri dari masyarakat karena pengalaman negatif dengan orang lain yang timbul di sekolah, tempat kerja, atau di rumah. Beberapa peserta penelitian menyatakan bahwa kesepian tidak terlalu menyakitkan bagi mereka dibandingkan dengan berurusan dengan orang lain.

3. Kepercayaan diri dan harga diri rendah

Salah satu peserta penelitian mengatakan, “Saya orang yang lemah. Saya hanya bisa bersembunyi di kegelapan”. Ini menunjukkan bahwa seorang hikikomori tidak memiliki alternatif dalam beradaptasi. Tampaknya, yang menyebabkan mereka terbebani karena rendahnya harga diri dan kepercayaan diri rendah untuk berinteraksi dengan kehidupan nyata. Mereka juga takut akan penilaian sehingga berkontribusi pada penarikan diri. Mereka juga merasa gagal dan takut mengecewakan orang lain.

Ketiga penyebab hikikomori di atas, bukan tidak bisa diatasi. Tetapi penting diingat, tidak semua hikikomori resisten terhadap pengobatan klinis. Faktanya, banyak orang yang mencari bantuan tetapi mungkin tidak yakin bagaimana mengaksesnya atau mempertanyakan kemampuan mereka untuk melakukannya.

Penelitian juga menunjukkan, banyak orang hikikomori yang tinggal bersama keluarga. Ini menunjukkan proses penyembuhan dapat dimulai dari rumah. Agar hikikomori dapat berinteraksi kembali dengan dunia, dengan cara berikut:

  1. Mendapatkan dukungan keluarga yang proaktif mengubah pendekatan mereka akan dunia. Orang tua yang anaknya mengalami hikikomori, bisa dengan sabar mendorong anak-anaknya memulai percakapan atau mengambil tindakan. Misalnya meningkatkan keterampilan komunikasi, menyesuaikan ekspektasi, dan dilakukan secara konsisten.
  2. Mulai dari hal kecil, merupakan satu langkah strategis mengatasi hikikomori. Misalnya, beberapa kali sehari meningggalkan kamar, berjalan-jalan saat pagi, atau mengunjungi toko terdekat. Hikikomori dapat berusaha ke luar secara bertahap sehingga mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
  3. Mendapat dukungan kesehatan mental baik secara online maupun offline menawarkan dukungan komunitas yang berharga.

Lewat melihat bagaimana hikikomori banyak yang mengalami, kita bisa menggarisbawahi pentingnya jaringan dukungan sosial dan memprioritaskan kesadaran kesehatan mental di seluruh dunia. Penting juga menciptakan lingkungan di mana seseorang merasa dihargai, didukung, dan diberdayakan.