Sejarah Pura Samuan Tiga, Simbol Penyatuan Sekte Agama Hindu di Bali

YOGYAKARTA – Pura Samuan Tiga merupakan situs cagar budaya yang masih sangat dijaga oleh Masyarakat Bali. Selain dijadikan sebagai tempat peribadatan, tak sedikit masyarakat yang datang tempat ini untuk melihat jejak sejarah Pura Samuan Tiga.

Di masa lalu, Pura Samuan Tiga pernah dijadikan sebagai tempat perdamaian sekte yang jejaknya masih dapat dilihat sampai sekarang.

Lantas, bagaimana sejarah Pura Samuan Tiga? Mari simak informasi selengkapnya berikut ini.

Sejarah Pura Samuan Tiga

Pura Samuan Tiga terleta di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali. Pura ini menjadi saksi bisu adanya pertemuan para pemimpin untuk menyelesaikan permasalah sekte pada saat itu.

Menyadur Jurnal Nirwasita Universitas PGRI Mahadewa Indonesia, pada masa Bali kuno, terdapat sembilan sekte Hindu, yakni Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisawa, Bodha, Brahma, Resi, Sira, dan Ganapatya.

Setiap sekte di Bali memiliki konsep pemujaan secara ortodok, yakni dengan memuja pohon-pohon besar, batu-batu besar, dan angin besar.

Pada masa itu, setiap sekte memperdebatkan kepercayaannya masing-masing. Kondisi ini menimbulkan keributan dan perpecahan antar sekte.

Untuk mendamaikan sembilan sekte tersebut, raja yang berkuasa saat itu, yakni Raja Udayana dan Ratu Mahendradata atau Gunapriya Dharmapatni mendatangkan Mpu Kuturan ke Bali.

Mpu Kuturan diperkirakan datang ke Bali pada tahun 845 masehi. Ia lantas ditugaskan untuk memimpin pertemuan antara pemimpin sekte agar suasana di Bali menjadi damai.

Selanjutnya para pemimpin sekte disatukan di Pura Gunung Goak (nama awal Pura Samuan Tiga) dan menghasilkan keputusan yang positif.

Mpu Kuturan memiliki ide untuk mendirikan Pura Kahyangan Tiga dengan kosep desa pakraman di Bali. Pura ini terdiri dari dua kata, yakni Kahyangan yang berarti tempat suci dan Tiga yang berarti tiga.

Dengan demikian, Pura Kahyangan dapat diartikan sebagai tiga tempat suci yang akhirnya dihubungkan dengan konsep Trimurti yang terdiri dari Dewa Brahma (Pura Desa), Dewa Wisnu (Pura Puseh), dan Dewa Siwa (Pura Dalem).

Sejak saat itu, desa pakraman atau desa adat esksis dengan kahyangan Tiga-nya sebagai simbol persatuan masyarakat Bali.

Seiring berjalannya waktu, Pura Gunung Goak resmi berubah menjadi nama Pura Samuan Tiga. Samuan memiliki makna pertemuan, yang menjadi cikal bakal persatuan di bali dan mengenang peristiwa pertemuan antara sembilan sekte yang ada.

Pura Samuan Tiga memiliki tiga halaman, yakni utama, tengah dan sisi (jaba). Pada halaman utama, terdapat tujuh mandala atau halaman yang dikenal dengan Sapta Loka.

Pura ini dibagi menjadi tiga lantaran terdapat pura lagi di dalam Samuan Tiga dan diberi halaman-halaman. Meskipun terbagi, tingkatan yang digunakan tetap menggunakan prinsip Bhur, Bwah, dan Svah.

Selain digunakan sebagai tempat pemujaan, Pura Samuan Tiga juga dijadikan sebagai tempat wisata. Pura ini termasuk salah satu situs cagar budaya yang dinaungi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Bali.

Wisatawan yang mengunjungi tempat ini biasanya ingin melihat beberapa peninggalan yang ada, seperti batu bergores.

Batu bergores ini dulunya merupakan alat untuk mengasah senjata tajam. Selain itu, terdapat mitos yang menyebutkan jika canang atau bunga yang diletakkan di atas batu bergores bisa menghilang secara tiba-tiba.

Tak hanya itu, keunikan arsitektur dan struktur bangunan pura juga menjadi peninggalan dari Pura Samuan Tiga yang mengundang wisatawan ingin berkunjung.

Demikian informasi tentang sejarah Pura Samuan Tiga. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan para pembaca setia VOI.ID.