Pangeran Diponegoro Cinta Catur
JAKARTA - Pangeran Diponegoro adalah sosok penting dalam sejarah Indonesia. Semangatnya melawan ketidakadilan kaum penjajah dikenang luas dalam Perang Jawa (1825-1830). Perlawanannya merepotkan Belanda. Diponegoro dikenal humanis. Ia juga ahli siasat. Salah satu caranya mengasah kemampuan itu adalah catur.
Lewat catur, Diponegoro belajar bagaimana mematikan gerak langkah lawan dengan siasat jitu. Banyak hal yang dapat diteladani dari sosok Diponegoro. Kedekatan Diponegoro dengan alam salah satunya. Sesuai kepercayaan Jawa, kedekatan dengan alam adalah bentuk kepekaan dan keutuhan rohani manusia.
Demi melanggengkan itu, Diponegoro memilih hobi berkebun. Ia juga begitu penyayang binatang, terutama kuda dan burung-burung. Kedekatan itu telah hadir sedari Diponegoro kecil. Kala beranjak dewasa, kedakatannya dengan alam semakin terlihat dari seringnya Diponegoro pergi bertapa.
Sepanjang Diponegoro di Jawa, banyak tempat ia jadikan lokasi ritual pertapaan. Lokasinya berada di daerah Selorejo hingga Bayumeneng (Kulon Progo). Ada yang berlokasi dekat telaga, air terjun, hingga sungai. Sejarawan. Peter Carey mengungkap di sela-sela pertapaannya itulah Diponegoro melanggengkan hobi berkebun sekaligus menjadi penyayang binatang. Diponegoro kemudian memanam banyak tanaman (bunga, sayuran, buah-buahan, dan pepohonan). Pun ragam binatang juga ditemuinya dilokasi yang sama.
“Kemudian, pada semua tempat-tempat yang pernah dikunjungi Diponegoro terdapat pula binatang: ikan dalam telaganya di Selorejo, kura-kura di Pengging, burung perkutut di Banyumeneng, buaya di Kali Cingcingguling. Pada tempat persembunyian terakhir sang Pangeran di Kabupaten Remo (Karanganyar), Banyumas, juga ada harimau yang dijumpainya selama pengembaraannya pada akhir masa Perang Jawa (11 November 1829 hingga 9 Februari 1830), salah satu yang menjadi pelindungnya dan diberi nama Tepang,” ungkap Peter Carey dalam buku Sisi Lain Diponegoro (2017).
Meski begitu, hobi Diponegoro adalah aktivitas biasa yang sering dilakukan seorang Jawa pada umumnya. Selain berkebun, Diponegoro kemudian turut memelihara burung-burung. Khususnya, burung perkutut dan kakatua. Diponegoro juga sering kali menghabiskan waktu dengan memelihara dan merawat kuda-kudanya.
Diponegoro memunyai kandang kuda yang besar. Saking besarnya, dibutuhkan 60 orang untuk merawat kuda-kuda milik Diponegoro di Tegalrejo. Akan tetapi, waktu Perang Jawa pecah, Diponegoro terpaksa meninggalkan banyak kuda miliknya.
Satu-satunya kuda yang menemaninya kala itu bernama Kiai Gitayu, kuda hitam dan kekar. Lantaran itu, ketika Diponegoro menunggangi kudanya, aura pemimpin dari Diponegoro mampu menggerakkan segenap orang Jawa melawan penjajah Belanda dengan semangat: Maju, Serbu, Serang, Terjang. Sebagaimana yang diungkap oleh Chairil Anwar dalam puisi legendarisnya, Diponegoro (1945).
Diponegoro main catur
Selain berkebun dan memelihara binatang, Diponegoro memiliki hobi yang tak kalah menarik lainnya, yakni bermain catur. Di setiap waktu luangnya, Diponegoro selalu menunjukkan gairah dalam permainan strategi tersebut.
Menurutnya, bermain catur adalah sarana tepat untuk memadukan kecerdasan dan semangat juang dalam keindahan permainan strategi. Bidak hitam tak tahu skema bidak putih, begitu pula sebaliknya. Lewat bermain catur, Diponegoro seakan-seakan bersiasat menjalankan bidak pasukannya dalam Perang Jawa.
Semangat itulah yang terlihat kala Diponegoro menghabiskan waktu luang bermain catur bersama salah seorang putri Sultan Hamengkubuwono I, Raden Ayu Danukusumo. Bersama dengan ibunda dari Danurejo II ini, keduanya sering larut dalam beradu strategi di atas papan hitam-putih. Oleh sebab itu, Raden Ayu Danukusumo disebut-sebut dalam Babad Dipanegara (1894) rekaan Pangeran Jawa sendiri sebagai teman utama bermain catur.
“Perempuan itu disebutnya dalam babad karyanya sebagai teman bermain catur, suatu permainan yang sangat disukai Diponegoro. Lebih penting lagi, perempuan itu terkenal berkat pengetahuannya tentang bacaan Islam-Jawa dan penguasaannya terhadap aksara pegon. Dua macam kemahiran yang dikagumi Diponegoro, yang juga menulis dalam huruf pegon,” ujar Peter Carey dalam buku lainnya, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 (2011).
Naskah-naskah yang jadi koleksi Raden Ayu Danukusumo, antara lain, Bustan as Salatin atau ‘Taman Raja-raja’ dalam bahasa malayu karya Nüruddin ar-Räniri. Serta al-Tuhfa al-mursala ila rüh an-Nabi (Kiriman Cenderamata kepada Roh Nabi) karya dari Muhammad ibn Fadl Alläh al-Burhänpüri. Kedua karya itu konon telah dipelajari oleh Diponegoro semasa muda.
Berkat ketekunan belajar dari naskah-naskah, dan bermain catur, daya intuisi Diponegoro semakin terasah. Pada akhirnya, permainan itu, membuatnya dapat menangkap watak orang dari muka-muka mereka (ilmu firasat). Hal itu dibuktikan saat awal-awal meletusnya perang Jawa. Pangeran Diponegoro tampak memilih pejabat, panglima, dan penasehat agama semata-mata berdasarkan pengamatan dari ilmu yang didapatnya. Lebih lagi, Diponegoro dalam peperangan menunjukkan bahwa dirinya juga ahli siasat.
Lantas, kesenangannya bermain catur diketahui masih dilakoni walau Diponegoro sudah tak berada di Jawa. Alias saat berada di tempat pengasingan Fort Nieuw Amsterdam di Manado (Juni 1830-Juni 1833). Dikutip dari Wardiman Djojonegoro dalam buku Sejarah Singkat Diponegoro (2019), walau di pengasingan, Diponegoro tampak tak bisa lepas dari hobi lamanya. Justru, di pengasingan semangat hidup Diponegoro begitu besar. energinya pun begitu. Hal itu terlihat dari suka citanya dalam menjalankan hobinya, baik itu memelihara burung-burung dan bermain catur.
“Pangeran pun banyak menghabiskan waktu dengan kakaktuanya. Dia juga suka main catur dan, seperti banyak orang Keraton, dia penunggang kuda yang terampil,” tutup Wardiman Djojonegoro.