Bos BRI: Daya Beli Masyarakat Dapat Dipacu melalui Ketersediaan Lapangan Pekerjaan dari Pembangunan Infrastruktur

JAKARTA - Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sunarso mengungkapkan penurunan suku bunga acuan maupun suku bunga kredit bukan menjadi cara terampuh dalam mendongkrak permintaan kredit yang kini tengah lesu akibat terdampak pandemi.

“Konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat adalah dua kunci utama yang bisa menumbuhkan demand kredit,” ujarnya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia, Kamis, 4 Februari.

Dalam penjelasannya, bos BRI itu melihat bahwa konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat dapat ditopang melalui ketersediaan lapangan pekerjaan.

“Jadi kalau pemerintah punya rencana untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur saya sangat setuju sekali karena itu berarti membuka lapangan pekerjaan,” tuturnya.

Asumsi Sunarso diperkuat oleh data pertumbuhan kredit usaha rakyat (KUR) yang tidak melulu terkorelasi secara langsung dengan tingkat suku bunga yang dikenakan.

Sebagai contoh, penyaluran KUR pada 2015 dengan beban bunga 22 persen tercatat memiliki pertumbuhan hingga 22 persen sampai dengan 25 persen. Pada tahun-tahun berikutnya, bunga KUR dipangkas hingga 15 persen dengan subsidi bunga 7 persen dari pemerintah ternyata angka pertumbuhan hanya menempati level single digit.

“Pertumbuhan double digit hanya terjadi pada 2018 saja, selebihnya kembali single digit. Ini membuktikan bahwa bunga yang rendah tidak menjadi acuan utama dalam mendorong pertumbuhan intermediasi,” tegasnya.

Sebagai informasi, sektor perbankan diharapkan turut andil dalam proses pemulihan ekonomi nasional melalui optimalisasi penyaluran kredit. Hal tersebut dimaksudkan agar lembaga jasa keuangan ini bisa mendorong aktivitas ekonomi melalui fasilitas kredit dengan bunga yang murah.

Meski demikian, tantangan yang dihadapi di era pandemi seperti saat ini tidak mudah mengingat banyak pelaku usaha, khususnya segmentasi kakap, yang memilih untuk menunda ekspansi. Kenyataan itu bisa dilihat dari sikap Bank Indonesia (BI) yang merevisi target pertumbuhan kredit dari level agresif ke level konservatif.

VOI mencatat, otoritas moneter memprediksi pertumbuhan intermediasi perbankan nasional pada sepanjang 2021 berkisar antara 5 persen hingga 7 persen. Padahal BI sebelumnya menetapkan target antara 7 persen hingga 9 persen. Adapun, total penyaluran kredit pada 2020 menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar Rp5.548 triliun.