Badan Bantuan Sebut Butuh Waktu Dua Dekade untuk Membangun Kembali RS Al Shifa di Gaza Usai Serangan Israel
JAKARTA - Butuh waktu hingga dua puluh tahun untuk membangun kembali kompleks RS Al Shifa di Jalur Gaza, Palestina, usai bombardir Israel selama dua pekan yang menewaskan lebih dari 200 orang, kata kelompok bantuan.
"Gedung bedah utama rumah sakit, unit perawatan intensif, dan unit gawat darurat, bedah umum, dan ortopedi semuanya telah hancur," ujar Aseel Baidoun dari Advokasi dan Komunikasi Bantuan Medis untuk Palestina (Map) kepada The National News, seperti dikutip 4 April.
"Perang ini adalah perang terhadap rumah sakit dan layanan kesehatan. Setidaknya ada 350 petugas kesehatan yang terbunuh dan 130 ambulans hancur. Al Shifa hanyalah rumah sakit terbaru yang diserang," kata Baidoun, yang memperkirakan dibutuhkan waktu hingga 20 tahun untuk membangun kembali fasilitas tersebut sepenuhnya.
"Israel sengaja membuat penderitaan dan kehilangan manusia, menggunakan kelaparan sebagai senjata perang. Saat ini rumah sakit-rumah sakit besar tidak lagi berfungsi, menyebabkan populasi 2,2 juta orang menghadapi risiko genosida dan berada di ambang kelaparan," urainya.
Sementara, seorang dokter yang meninggalkan Al Shifa sebelum pengepungan dan kembali ke sisa-sisa kompleks tersebut mengatakan kepada organisasi itu, dia "belum pernah menyaksikan tingkat kehancuran seperti itu".
Pasukan Israel menarik diri dari rumah sakit itu pada Hari Senin, setelah menahan ratusan warga Palestina dan meninggalkan reruntuhan bangunan di daerah sekitarnya.
Tentara mengatakan mereka telah membunuh 200 "militan" Hamas dan menangkap 1.400 orang, 900 di antaranya dibawa untuk diinterogasi.
Rekaman media sosial yang diambil di sekitar kompleks tersebut menunjukkan asap mengepul dari sisa-sisa rumah sakit terbesar di Gaza. Sebagian sisa-sisa ratusan orang berserakan di seluruh kompleks.
Staf rumah sakit dan pihak berwenang membantah pejuang Hamas berada di lokasi, namun Israel mengklaim mereka membunuh ratusan militan yang bermarkas di kompleks medis tersebut.
"Setiap upaya untuk mengevakuasi pasien yang terperangkap di dalam juga ditolak oleh militer Israel," tambah Baidoun.
Petugas kesehatan ditahan dan diinterogasi di area klinik rawat jalan rumah sakit, katanya, sementara pasien rumah sakit hanya memiliki balutan yang sudah berumur seminggu dan luka yang dipenuhi belatung.
Terpisah, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Hari Selasa mengatakan serangan terhadap Al Shifa telah menghancurkan sistem layanan kesehatan Gaza.
"Kami telah melakukan kontak dengan staf," kata juru bicara WHO Margaret Harris.
"Direktur menyampaikan kepada kami bahwa RS Al Shifa sudah tiada, tidak dapat lagi berfungsi dalam bentuk apapun sebagai rumah sakit," ungkapnya.
"Menghancurkan Al Shifa berarti mencabut sistem kesehatan," sambungnya.
Diketahui, warga Palestina di Gaza utara hampir tidak punya tempat untuk mencari perawatan medis, dengan hanya 200 tempat tidur rumah sakit untuk populasi 350.000 jiwa.
Ketua Komite Internasional Palang Merah di Gaza, William Schomburg, mengatakan kepada The National, warga sipil lagi-lagi harus menanggung akibat dari kekerasan.
“Kami sangat khawatir dengan dampak operasi militer selama hampir dua minggu yang dilakukan oleh pasukan Israel di Kompleks Medis Shifa," katanya.
Baca juga:
- Drone Ukraina Sukses Hantam Kilang Minyak Terbesar Ketiga Rusia, 1.300 Km dari Garis Depan
- WHO: Menghancurkan Al Shifa Berarti Mencabut Jantung dari Sistem Kesehatan
- Ucapkan Bela Sungkawa Atas Tewasnya Petugas WCK, Militer Israel Janjikan Penyelidikan Transparan
- Jerman akan Memberikan 180 Ribu Peluru Artileri untuk Ukraina melalui Inisiatif Republik Ceko
"Rumah sakit terbesar di Jalur Gaza kini hilang dan warga sipil, sekali lagi, menjadi pihak yang menanggung akibatnya. Sistem layanan kesehatan di Gaza telah hancur dan hanya sedikit yang tersisa yang hancur," lanjut Schomburg.
Dijelaskannya, setiap rumah sakit yang terkena dampak langsung selama perang, ribuan pasien kehilangan akses terhadap perawatan medis. Keluarga, anak-anak, dan orang lanjut usia tidak bisa lagi menerima perawatan medis yang memadai.
"ICRC telah berulang kali mendesak semua pihak untuk melindungi warga sipil dan infrastruktur kesehatan di Gaza," katanya.
"Perlindungan ini bukan hanya kewajiban hukum namun juga keharusan moral untuk melestarikan kehidupan manusia di masa-masa sulit ini," tandas Schomburg.