Moxie, Film Remaja dengan Isu Sosial yang Lemah

JAKARTA - Film merupakan sebuah cerminan dari kehidupan sosial yang terjadi di dunia nyata. Kini, kita hidup di mana cerita remaja tidak sekadar percintaan dan tema sekolah.

Salah satunya, Moxie, film terbaru dari Netflix yang dirilis pada Rabu kemarin. Film garapan Amy Poehler ini diadaptasi dari sebuah novel remaja.

Moxie menceritakan Vivian (Hadley Robinson), seorang remaja yang menemukan ketidakadilan di sekolah dan mencoba bersuara dengan merilis zine yang berisi kemarahannya secara anonim.

Berbagai permasalahan seperti rasisme, disabilitas, perempuan transgender menjadi beberapa isu sosial yang banyak ditunjukan dalam film berdurasi hampir dua jam ini.

Selain Moxie, serial yang banyak menekankan isu seperti ini adalah 13 Reasons Why dari Netflix dan Euphoria milik HBO. Kedua serial ini menceritakan potret remaja secara gelap dengan kemarahan dan perasaan cemas secara intens yang disebut sebagai teen angst.

Cerita seksualitas dan penggunaan narkoba serta sudut pandang orang tua yang tidak berpengaruh terhadap pilihan sang anak menjadi topik utama. Awalnya, isu seperti ini dianggap tabu.

>

Kita tidak menolak fakta bahwa saat ini anak muda memiliki akses informasi yang sangat cepat. Rasa ingin tahu yang tinggi juga membuat mereka bisa mendapat isu sosial hanya dari menonton film dan serial seperti ini.

Jika dibandingkan dengan masa lampau, tontonan remaja tahun 2000-an tidak jauh dari gaya hidup mewah serta konflik percintaan yang dialami tokohnya.

Apakah lantas kita tidak menemukan cerita seperti itu sekarang? Ada. Masih banyak tontonan yang memilih jalur ‘aman’ seperti franchise The Kissing Booth yang menceritakan kisah cinta seorang remaja tanpa permasalahan sosial.

Kembali ke Moxie. Film ini menyajikan cerita coming of age tidak sepolos dan sesederhana film lain. Karakter utamanya digambarkan sangat marah dan kesal atas ketidakadilan di sekolah akibat adanya kasus seksisme dan pelecehan seksual.

Gambaran Anak Muda

Banyak film yang mengasosiasikan remaja sebagai orang yang tidak dewasa, malas, tidak peduli, dan lainnya. Begitu juga gambaran orang tua yang selalu dituntut untuk menjaga anak mereka agar tidak terjerumus ke ‘lubang’ yang salah.

Mereka baru dianggap dewasa ketika mereka memasuki umur legal. Selama mereka belum mencapai umur tersebut, mereka tidak berhak menciptakan keputusan.

Namun, hal ini tidak terjadi dalam film Moxie. Vivian yang merupakan anak dari orang tua single tidak mengalami dampak psikis maupun emosional ketika hanya memiliki seorang ibu.

Bentuk kemarahannya juga tidak berdasarkan faktor kekurangan kasih sayang atau rasa protektif berlebihan. Hal ini menjadi contoh bahwa anak muda juga mampu mengutarakan pendapat dan kreativitasnya meskipun melewati serangkaian drama.

Dalam film Moxie, Vivian diketahui memulai proyek Moxie-nya setelah melihat majalah buatan ibunya saat sang ibu masih di bangku sekolah. Ada rasa terinspirasi ingin memperjuangkan hal yang sama walaupun di sekolahnya, dia bukan seseorang yang populer.

Tidak Selalu Berhasil

Seperti disebutkan sebelumnya, film Moxie menawarkan cerita mengenai isu sosial seperti disabilitas, rasisme, dan lainnya. Sebenarnya langkah ini terbilang baru dalam sebuah penceritaan film remaja. Tetapi di sisi lain, film ini tidak sanggup membungkus seluruh isi cerita.

Berbagai dialog serta bagian akhir yang kurang memuaskan membuat isu sosial dalam film Moxie menjadi tempelan belaka. Apa yang mereka sajikan sesungguhnya jarang dilakukan film remaja lain, namun mereka tidak mampu menyelesaikan permasalahan tersebut.

Secara keseluruhan, Moxie tidak akan seikonik Mean Girls atau The Half of It karena kesulitan mereka menutup jalinan cerita yang sudah begitu rumit. Tapi, tidak ada salahnya jika Moxie menjadi pilihan tontonan Anda.