TNI AL Butuh Sistem Deteksi Bawah Air Demi Halau Ancaman Kapal Selam
JAKARTA - TNI Angkatan Laut(AL) dan ahli pertahanan meyakini perairan bawah laut Indonesia masih rentan disusupi kapal selam asing sehingga perlu ada sistem deteksi bawah air dipasang di titik-titik yang rawan.
Asisten Operasi Panglima Komando Armada (Pangkoarmada) RI Laksamana Pertama TNI Heri Triwibowo dalam acara diskusi yang diikuti di Jakarta, Selasa, menyampaikan sistem deteksi itu diharapkan dapat segera memperkuat TNI AL, khususnya di perairan bawah laut sempit (choke point) Indonesia.
Indonesia memiliki beberapa choke point, yaitu di Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Sulawesi, dan Laut Natuna Utara.
“Penggunaan peralatan deteksi dan sensor akustik sendiri sangat diperlukan, salah satunya untuk mengetahui pergerakan kapal selam yang melintas di Indonesia,” kata Heri Triwibowo, yang mewakili Panglima Komando Armada Laksamana Madya Denih Hendrata dalam acara diskusi dilansir ANTARA, Selasa, 26 Maret.
Karena itu, dia berharap ke depan Kementerian Pertahanan RI dapat memperhatikan kebutuhan tersebut kemudian mempertimbangkan pembelian sistem deteksi bawah laut dalam rencana pengadaan alutsista ke depan.
Dia menyampaikan TNI AL saat ini diperkuat beberapa kapal yang dilengkapi sensor dan persenjataan antikapal selam. Namun, jumlah kapal-kapal yang punya kemampuan antikapal selam, menurut dia, perlu diperbanyak begitu juga dengan pengadaan kapal selam.
TNI AL saat ini mengoperasikan empat kapal selam untuk menjaga perairan Indonesia yang luasnya mencapai 6,4 juta kilometer persegi. Jumlah itu, jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan yang luas lautnya jauh lebih sempit dari Indonesia, tentu masih kurang.
“Di wilayah Asia Tenggara, kita bisa lihat bahwa Indonesia dengan sedemikian luas, saat ini hanya punya empat kapal selam, sedangkan Vietnam yang luasnya lebih kecil dari kita punya lebih banyak,” kata Heri.
Empat kapal selam yang saat ini memperkuat TNI AL, yaitu KRI Cakra-401, KRI Nagapasa-403, KRI Ardadedali-404, dan KRI Alugoro-405, sementara Vietnam setidaknya sampai 2020 diperkuat delapan kapal selam, yang beberapa di antaranya bertenaga diesel-listrik yang punya kemampuan siluman alias tak terdeteksi saat bermanuver di bawah laut.
“Kapal selam merupakan kekuatan laut yang patut diperhitungkan dengan kesenyapannya yang tak terlihat dan kemampuan daya pukul yang mematikan sehingga kita harus berusaha mengembangkan dan menambahkan jumlahnya,” kata perwira tinggi TNI AL itu.
Baca juga:
Dalam acara diskusi yang sama, Ahli Pertahanan Alman Helvas Ali menilai kemampuan Indonesia untuk menghalau ancaman kapal selam atau serangan lain di bawah laut masih kurang memadai.
“Kita tidak memiliki underwater listening devices (perangkat/sistem deteksi bawah laut, red.) yang kita pasang di perairan kita, termasuk di choke point. Ini sudah pekerjaan rumah sejak lama,” kata Alman.
Tantangan terkait pengadaan itu, Alman melanjutkan juga terkait dengan Indonesia masih bergantung pada perangkat akustik dan elektronika — keduanya krusial untuk sistem deteksi bawah laut — buatan industri pertahanan asing. Sejauh ini, dia menyebut belum ada industri pertahanan dalam negeri yang membuat perangkat deteksi bawah air seperti sonar/dipping sonar, hydrophone, atau sonobuoy.
“Industri pertahanan elektronika kita hanya fokus pada masalah sasaran di udara atau permukaan, yaitu radar, tetapi belum masuk ke underwater acoustics dan electronics,” kata dia.