War Takjil Bikin Suasana Kehidupan Beragama Menjadi Lebih Cair
JAKARTA - Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial menjadi sarana utama bagi masyarakat Indonesia untuk berbagi pengalaman, tren, dan informasi. Saat bulan Ramadan, media sosial saat ini menjadi medium seru-seruan terutama dalam memberikan informasi seputar makanan dan minuman berbuka puasa, atau takjil.
Apalagi, Indonesia kaya akan budaya berbuka yang unik dan menarik seputar makanan berbuka puasa. Sehingga, fenomena berburu takjil merajai perbincangan di media sosial dan para kreator pun beramai-ramai menyemarakkan bulan Ramadan dengan berbagai konten menarik seputar pengalaman berburu takjil, makanan favorit saat berbuka puasa, resep menu makanan berbuka dan tempat menarik berburu takjil.
Bahkan, pengalaman seru berburu takjil tak hanya dilakukan masyarakat Muslim saja, namun juga masyarakat Non-Muslim yang ikut tertarik menikmati menu-menu berbuka puasa yang mayoritas hanya ada saat bulan Ramadan.
Menariknya fenomena 'war takjil' membuat suasana lebih adem, terutama setelah berbagai 'war politic' setelah pemilu. Bagaimana strategi menghadapi tantangan dan peluang yang muncul dengan memahami tren teknologi digital di Indonesia?
Karena itu, Kementerian Kominfo menyelenggarakan Obral Obrol Literasi Digital, pada Jumat, 22 Maret 2024 yang mengangkat topik "Budaya Ramadan: War Takjil di Sosial Media".
Menurut Mabrur L. Banuna dari GP Ansor, perubahan perilaku konsumsi dan tradisi keagamaan masyarakat selama Ramadan sangat terpengaruh oleh perkembangan dunia digital. Bahkan, kehidupan beragama juga tak lepas dari pengaruh dunia digital. Karena itu, seringkali terjadi perdebatan yang tidak didasari ilmu.
Ketika media sosial melakukan perang di media sosial, sering membawa nama agama. Namun, dengan adanya "War Takjil" suasana jadi lebih mencair dan 'no heart feeling'.
“War Takjil" justru berbicara persoalan inti dalam beragama. Karena berbicara soal rangkaian ibadah puasa. Dan ternyata umat beragama di Indonesia bisa cair kalau gak bawa-bawa agama ke politik,” ujar Mabrur.
Sementara itu, Ibob Tarigan selaku Konten Kreator melihat war takjil sebagai sesuatu yang diperlukan saat ini di seluruh dunia. Jika ada istilah 'make peace not war', maka 'war takjil' menjadi fenomena yang menguntungkan, berbagai pihak baik pedagang maupun pembeli. "War Takjil" menjadi sebuah cara komunikasi penuh kedamaian sebagai ciri budaya dari Indonesia.
Karena itu, dalam membuat konten di media sosial, terdapat dua hal yang sering menjadi landasan, yaitu konten yang menyenangkan dan menginspirasi, terutama konten yang memiliki relasi pada audience.
"Jadi bermain sebagai konten kreator harus perhatian dua hal, fun dan inspiring agar objektifnya jelas,” terang Ibob.
Sosial media merupakan media untuk bersosialisasi, karena itu sebaiknya tidak menggunakan objektifnya secara individual, seperti mencari followers, likes atau share lebih banyak. Sehingga, mengurangi substansi bersosial media.
"War Takjil" menjadi salah satu bentuk keberhasilan literasi digital dan telah merambah masyarakat untuk bisa lebih santai dalam menanggapi isu di sosial media. Masyarakat telah mengerti mana konten yang dapat dinikmati sebagai ilmu, dan mana yang harus dinikmati secara santai,” imbuh Ibob.
Baca juga:
Rahmi Kamila selaku Digital Kreator dan Psikolog, banyak peluang baru dalam media sosial untuk memperkuat hubungan antar komunitas. Media sosial tak hanya menciptakan peluang untuk belajar hal baru, tapi juga menjadi peluang untuk meningkatkan mengembangkan bisnis. Karena itu, media sosial merupakan salah satu sarana untuk menciptakan kebaikan.
Manusia memiliki eskalasi atau selalu memiliki keinginan lebih, contohnya jika membagikan sesuatu yang baik dan mendapatkan tanggapan positif maka ingin melakukan lagi hal tersebut.
"Apalagi di momen ramadan itu menurut aku satu sisi yang memang hukum untuk tarik menarik kebaikan itu cukup besar baget,” ungkap Rahmi.
Puasa merupakan ibadah yang tak kasat mata, dan hanya diri kita yang dapat meregulasi perbuatan dan perasaan kita.