Fenomena War Takjil di Ramadan 1445 H, Wujud Toleransi tapi Jangan Sampai Mubazir

JAKARTA – Ramadan tahun ini diramaikan dengan tren di media sosial terkait masyarakat non-muslim ikut antusias berburu takjil. Aksi rebutan makanan ringan untuk berbuka puasa ini kemudian dikenal dengan sebutan ‘war takjil.’

Takjil sebenarnya bukan berarti makanan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata takjil justru memiliki arti mempercepat dalam berbuka puasa. Kata ini berakar dari kata ‘ajila dalam bahasa Arab yang memiliki arti. Dengan demikian, takjil berarti perintah untuk menyegerakan berbuka puasa.

Namun, entah sejak kapan kata yang digunakan untuk menyuruh orang menyegerakan berbuka puasa ini justru bergeser maknanya menjadi makanan pembuka saat Maghrib tiba. Soal makanan pembuka, biasanya masyarakat mengawalinya dengan beraneka penganan ringan seperti aneka gorengan, lontong, mie goreng, kolak, dan sebagainya.

Berburu makanan pembuka, yang kemudian disebut dengan takjil, sudah dilakukan muslim Indonesia sejak dulu. Biasanya mereka mulai mencari makanan ringan sambal menunggu azan Maghrib.

Tapi, berburu takjil sekarang ini menjadi lebih meriah karena viralnya fenomena ‘war takjil’ di media sosial, bahkan menurut sejumlah warganet, war takjil berhasil mengalahkan serunya war tiket konser.

Mempererat Tali Persaudaraan

War takjil secara sederhana adalah aksi rebutan takjil antara umat muslim dan non-muslim. Tapi jelas ini bukan rebutan dalam arti negatif ya, karena fenomena ini justru menjadi lucu-lucuan di media sosial.

“Puasa tahun ini war takjil lintas agama,” ujar pemilik akun @Mike.

“Soal agama kita toleran, tapi soal takjil kita duluan,” kata Pendeta Steve Marcel Saerang dalam sebuah video yang viral di media sosial.

Bahkan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar juga tak mau ketinggalan meramaikan war takjil. Pasangan nomor urut satu ini diketahui ikut perang takjil pada Rabu (20/3/2024) sebelum pengumuman hasil Pilpres 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum.

Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar ikut meramaikan war takjil. (X/@cakimiNOW)

Fenomena ferburuan takjil lintas agama ini mendapat tanggapan dari Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Airlangga (Unair) Prof.Dr.Bagong Suryanto. Menurutnya, momen ini bisa mempererat tali persaudaraan umat beragama.

“Kalau masyarakat muslim beli takjil kebanyakan untuk konsumsi pribadi. Kalau masyarakat nonmuslim beli takjil selain untuk konsumsi pribadi, ada juga yang dibagikan kepada masyarakat yang menjalankan puasa,” katanya, dikutip laman resmi Unair.

“Saya melihat fenomena ini sebagai bentuk tindakan yang rukun antar umat beragama,” ungkapnya.

Tidak Berlebihan

Meski dianggap sebagai berkah Ramadan bagi para pedagang, ulama mengingatkan agar umat muslim tidak menjadikan perang takjil sebagai ajang untuk berlebih-lebihan dalam berbelanja menyiapkan buka puasa.

Hal ini diungkapkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah K.H. Cholil Nafis. Ia mengapresiasi kekompakan muslim dan nonmuslim dalam berburu takjil, namun mengimbau agar tidak terjebak dalam perilaku berlebihan yang dilarang dalam Islam.

“Saya memahami war takjil itu kan kita mau membeli hidangan buka puasa dan kalau saudara kita yang nonmuslim pun mau ikut menikmati, itu bagian dari berkah Ramadan,” kata Cholil, dikutip Antara.

“Yang harus diingat, persiapan berbuka puasa itu tidak boleh berlebihan. Sebab kalau kita bicara berlebihan, jangankan saat berpuasa, tidak berpuasa pun tidak boleh berlebih-lebihan,” imbuhnya.

Pedagang menata makanan yang dijual di Pasar Ramadan, Kelurahan Langkai, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Sabtu (16/3/2024). Pasar Ramadan yang menyediakan berbagai macam makanan dan minuman tersebut ramai dikunjungi warga setempat untuk membeli hidangan buat berbuka puasa. (Antara/Auliya Rahman)

Lebih lanjut, menurut Cholil orang yang masih hanya memikirkan santapan berbuka seperti puasanya orang awam, yang hanya meninggalkan makan dan minum, tapi belum bisa meninggalkan mubazir.

Padahal, larangan bersikap mubazir atau boros tertuang dalam penggalan surat Al-Isra ayat 26 yang artinya berbunyi, “Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.

Berbuka tanpa berlebihan dijelaskan Cholil, adalah salah satu ciri orang yang puasanya mencapai khawasil khawas atau tingkatan yang sangat istimewa. Teladan untuk berbuka puasa tanpa berlebihan sudah dicontohkan oleh Nabu Muhammad SAW yang terbiasa membatalkan puasa hanya dengan kurma, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik.

“Selain itu, Islam juga mengajarkan agar kita berhenti makan sebelum kenyang. Itu berlaku baik saat berbuka puasa maupun situasi umum,” kata Cholil lagi.

“Itu menunjukkan kita tidak boleh berlebihan. Karena kita tidak akan makan sampai terlalu kenyang, maka kita tidak perlu berlebihan saat menyiapkan buka ataupun mengikuti war takjil,” pungkasnya.