Suara PSI Melonjak, Pengamat Politik Ujang Komarudin Bicara Kecurangan Sambil Kutip Data PPP
JAKARTA - Pengamat politik Ujang Komarudin menduga lonjakan suara Solidaritas Indonesia (PSI) pada hasil real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak wajar.
"Indikasi-indikasi, dugaan-dugaan kecurangan penggelembungan suara itu diduga terjadi ya, oleh karena itu ini semakin sulit, jangan sampai proses ini dibiarkan sehingga pemilu kita tidak adil, tidak jujur, kita ingin jujur adil sehat bersih," kata Ujang saat dihubungi, Senin, 4 Maret
Menurutnya wajar jika dugaan kecurangan tersebut muncul dan menjadi polemik di masyarakat, terlebih ada bukti-bukti.
Ia menyebut, salah satu bukti kecurangan itu diungkapkan oleh ketua DPP PPP Achmad Baidowi, atau akrab disapa Awiek.
"Itu kan ada bukti-bukti yang disampaikan oleh Awiek ya di 2 TPS yang di sana, di Madura, itu katanya beralih kepada PSI itu pengakuan bang Awiek gitu, kemudian di Banten juga ada, di media sosial muncul ya dugaan-dugaan penggelembunhan suara PSI," beber Awiek.
Baca juga:
Sejak Kamis 29 Februari lalu hingga Sabtu 2 Maret 2024, jumlah suara PSI terus melejit. Berdasarkan hasil real count KPU, suara PSI bertambah dari 2.171.907 atau 2,86% pada Kamis 29 Februari pukul 10.00 WIB, menjadi 2.402.268 atau 3,13% pada Sabtu 2 Maret pukul 15.00 WIB.
Sedangkan suara PPP yang turun dari sebelumnya 3.080.665 atau 4,01 persen menjadi 2.403.255 suara atau 3,13.
Di sisi lain, pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti mengkritik lonjakan suara PSI akan beririsan dengan penyelundupan hukum, lantas ia pun menyoroti dinamika di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dnamika di MK tersebut antara lain wacana perubahan UU Kepala Daerah, pembuatan UU baru dan bergabungnya mantan Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani sebagai hakim konstitusi.
"Bukan mustahil MK membuat UU baru, yang waktu itu tidak disetujui Pak Mahfud. Syarat usia minimal hakim MK mau direvisi. Saya curiga hal ini untuk mendepak orang-orang seperti Saldi Irsa yang saat bergabung ke MK waktu itu usianya belum 45 tahun," kata Ikrar melalui keterangan resmi yang diterima, Senin, 4 Maret.
Penyelundupan hukum, lanjut Ikrar, seperti yang terjadi ketika Gibran maju sebagai cawapres, sama persis dengan usaha mendepak hakim-hakim yang memiliki kepribadian tinggi.
Untuk membuktikan dugaan ini, ia menduga jadwal Pilkada dan wacana penunjukkan kepala daerah melalui presiden menjadi tolak ukur.
"Kita lihat nanti, pilkada dimajukan ke September, bukan November. Kalau itu terjadi bukan mustahil, Pak Jokowi memiliki kepentingan di situ. Lagi-lagi ada anggota keluarganya yang ikut pilkada. Kalau PSI berhasil masuk senayan, Kaesang tidak mustahil maju sebagai pemimpin daerah," beber Ikrar.