Harga Beras Mahal dan Langka Berpotensi Ciptakan Warga Miskin Baru: Ini Akibat Kelalaian Pemerintah
JAKARTA – Harga beras yang terus meroket memaksa masyarakat harus putar otak demi memenuhi kebutuhan hidup. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris, justru kesulitan mengendalikan harga beras, yang merupakan makanan pokok hampir semua masyarakatnya. Mengapa demikian?
Kenaikan harga beras sudah terjadi sejak akhir tahun lalu. Pada Oktober 2023, data Kementerian Perdagangan menyebut rata-rata harga beras kualitas premium secara nasional mencapai Rp15.052 per kilogram (kg). Harga ini naik 2,3 persen dibandingkan bulan sebelumnya, dan meningkat 17,6 persen dibanding setahun lalu. Ini sekaligus menjadi rekor termahal baru dalam lima tahun terakhir.
Bukannya kembali normal, masyarakat justru makin menjerit lantaran harga beras yang kian mahal di awal tahun 2024. Tak cuma mahal, beras premium juga mendadak jadi barang langka.
Ini menjadi ironi, mengingat Indonesia sebagai negara agraris seharusnya di atas kertas mampu menyediakan beras untuk warganya. Tapi yang terjadi di lapangan malah sebaliknya, sudah mahal, langka pula.
Polemik Bansos Jelang Pemilu
Kenaikan harga beras, ditambah dengan kesulitan masyarakat mencari ketersediaannya muncul kabar bahwa fenomena ini saling berhubungan dengan momen menjelang Pemilu dan Pilpres 2024.
Anggota Komisi IX DPR Ri dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani Aher menuturkan, harga beras yang mahal dan langka di pasaran dalam beberapa bulan terakhir terjadi akibat kebijakan bantuan sosial (bansos) yang salah penerapan.
Ia tidak sepakat dengan klaim bahwa kelangkaan dan mahalnya beras di pasaran terjadi karena perubahan cuaca yang membuat hasil panen turun. Netty khawatir, kondisi ini dapat menurunkan daya beli masyarakat terhadap bahan pokok padahal sebentar lagi memasuki Ramadhan dan Idulfitri di mana kebutuhan bahan pokok meningkat.
"Alasan adanya El Nino dan gagal panen bukanlah faktor tunggal yang membuat beras menjadi langka dan mahal. Kebijakan bansos yang ugal-ugalan tanpa memikirkan ketersediaan pasokan juga menjadi faktor penyebab beras langka,” kata Netty, dikutip dari laman DPR.
"Bansos jor-joran ini tidak urgen sebagaimana zaman COVID-19. Anehnya lagi, bansos jelang Pemilu kemarin lebih sering dan lebih banyak ketimbang pada masa pandemi. Pemerintah harus berani mengakui dan mengevaluasi kebijakan tersebut,” tambahnya.
Tapi pendapat berbeda diungkapkan Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori. Ia mengatakan, tidak ada kaitannya antara bansos dan kenaikan serta kelangkaan beras di Indonesia. Khudori menjelaskan, pemberian beras bansos dari pemerintah kepada masyarakat tidak bisa dipastikan menjadi salah satu penyebab kenaikan harga beras saat ini.
"Tidak bisa dipastikan. Kalau penerima berbagai bansos dan jaring pengaman sosial itu bersamaan beli beras dalam jumlah besar tentu ada dampaknya. Tapi siapa yang bisa memastikan itu," ucap Khudori.
Lebih lanjut ia menjelaskan, fenomena kelangkaan beras dan harganya yang mahal disebabkan produksi beras domestik yang memang terbatas. Ia memprediksi kondisi ini akan bertahan hingga April mendatang.
Khudori menilai kenaikan harga beras sangat krusial karena selain merupakan bahan makanan pokok, masyarakat Indonesia yang didominasi umat muslim juga akan menghadapi Ramadan serta Idulfitri. Pada periode tersebut, permintaan beras umumnya akan melonjak.
“Ini memang krusial karena Maret ada Ramadan dan April ada Idulfitri. Penting buat pemerintah untuk memastikan pasokan beras dalam jumlah memadai. Jika tidak, harga potensial terus naik dan bisa menimbulkan kegaduhan, bahkan mengguncang kondisi sosial-politik,” ujar Khudori melalui keterangannya yang diterima VOI, Jumat (23/2/2024).
Baca juga:
Dalam keterangan yang sama, Khudori khawatir kegagalan pemerintah mengamankan harga beras berpotensi menambah kaum miskin baru. Dituturkan Khudori, warga miskin justru tidak perlu khawatir dengan kenaikan harga beras karena termasuk ke dalam golongan yang menerima berbagai bantuan.
Golongan penerima bantuan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), program sembako berupa bantuan pangan beras 10kg/keluarga/bulan. Bahkan ada pula BLT Mitigasi Risiko Pangan yang dirapel tiga bulan dengan setiap keluarga menerima Rp600 ribu.
“Yang perlu perhatian justru ada pada kelompok yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan. Kalau harga beras dan pangan naik, mereka potensial jadi kaum miskin baru. Mereka belum tersentuh aneka bantuan sosial dan jaring pengaman sosial itu,” kata Khudori lagi.
Masalah Global
Kelangkaan beras akibat gagal panen sebenarnya sudah diprediksi sejak pertengahan tahun lalu, ketika Badan Meteorologi, Klimatori, dan Geofisika (BMKG) mewanti-wanti soal kemarau panjang yang disebabkan El Nino. Namun, pemerintah dinilai terlambat memanejen krisis pangan ini.
Menurut sejumlah pakar, kondisi ini seharusnya bisa dihindari karena menyangkut urusan perut sekitar 270 juta jiwa di Indonesia. Namun pemerintah dianggap lalai mengantisipasi masalah ini karena terbuai dengan impor besar-besaran di tahun lalu.
Sementara itu, Ketua Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Anggito Abimanyu mengatakan Indonesia sebenarnya sudah mengalami defisit beras dalam beberapa tahun ke belakang, bahkan sebelum badai El Nino.
Ia menyebut ada masalah struktural dalam kebijakan pangan yang menyebabkan Indonesia sebagai negara agraris justru mengalami kelangkaan beras. Masalah strukturan yang dimaksud Anggito adalah biaya produksi, harga pupuk yang tinggi, lahan yang terbatas, dan masih banyak lagi.
“Sekarang masalah ini ditambah dengan panen yang mundur,” katanya.
Anggito menambahkan, masalah kenaikan harga beras tidak hanya dialami Indonesia tapi juga secara global. Ini terjadi akibat dunia juga kekurangan pasokan. India diketahui memberlakukan pembatasan ekspor beras sejak 2023 lalu. Padahal mereka termasuk salah satu negara pengekspor beras terbesar.
“Sebetulnya tidak hanya di Indonesia, harga beras juga naik di seluruh dunia karena kekurangan pasokan. Beras dunia mengalami kelangkaan,” tutur Anggito.
“Banyak negara eksportir yang menahan produksi mereka, larangan ekspor beras dilakukan karena khawatir perubahan iklim betul-betul mempengaruhi produksi. Yang selama ini mengekspor beras justru menahan beras mereka. Ini menjadi masalah global dan struktural,” kata Anggito lagi.