Pilihan Jokowi (Bisa) Dikalahkan
JAKARTA – “Jokowi itu politisi paling ulung di Indonesia saat ini. Lima kali bertarung, lima kali menang. Sekali di Solo, sekali di DKI Jakarta, dan dua kali pilpres.”
Itulah kalimat sanjungan yang pernah dilontarkan Ketua Majelis Pertimbangan Partai DPP PPP, Muhammad Romahurmuziy terkait kiprah Presiden Joko Widodo atau Jokowi di kancah politik tanah air. Pernyataan Romy – sapaan Romahurmuziy – ini keluar menyusul tarik menarik pengaruh Jokowi jelang Pilpres 2024 sebelum Gibran Rakabuming Raka resmi menjadi pendamping Prabowo Subianto.
Tingkat kepuasan publik yang disebut berkisar 60 hingga 70 persen, “fanatisme” kelompok relawan sampai kekuasaan yang kuat sebagai kepala negara menjadi faktor-faktor yang dianggap Romi menjadi alasan Jokowi bisa menjadi penentu hasil Pilpres 2024 meski tak bisa mencalonkan diri kembali.
Awalnya, usai mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden 2024, PDI Perjuangan dan partai politik pengusung lainnya termasuk PPP masih yakin jika Jokowi yang notabene kader PDIP berada di belakang Ganjar.
Berbagai endorsement seperti kerapnya tampil bersama Ganjar di berbagai acara, termasuk pernyataan kiasan ala Jokowi yang menyebut presiden berikutnya berambut putih makin menebalkan optimisme jika Presiden RI ke-7 itu tetap berada di barisan PDIP dkk.
Namun, konstelasi politik tiba-tiba berubah setelah Gibran dipinang Prabowo sebagai cawapres di Pilpres 2024. Meski diwarnai persoalan etika yang menyeret Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Anwar Usman dan belakangan juga Ketua Komisi Pemilihan Umum, Hasyim Asy’ari, jalan putra sulung Jokowi itu tetap mulus untuk berlaga di pilpres.
Meski tak pernah mengucap secara gamblang, keberadaan Gibran sebagai cawapres Prabowo seolah menjadi penerang di barisan mana Jokowi akan berada saat Pilpres 2024. Dengan berbagai hasil survei elektabilitas yang menempatkan pasangan Prabowo-Gibran di urutan teratas, ditambah dukungan dari Jokowi, apakah Paslon 02 itu akan memenangi Pilpres 2024?
Baca juga:
Pengamat politik Eep Saefulloh Fatah mengungkapkan, bila dilihat dari segi kontestasi secara langsung, pernyataan Romi memang ada benarnya. Jokowi mampu memenangi Pilkada Surakarta, Pilkada DKI Jakarta dan dua kali meraih kemenangan di pilpres.
Tapi, lanjut Eep, publik juga jangan melupakan kontestasi di Pilkada DKI Jakarta 2017. Saat itu, Jokowi tidak terlibat langsung sebagai calon. Publik meyakini bila Jokowi mengendors dan mendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dibandingkan kompetitornya, yakni Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono.
“Hasilnya sudah kita ketahui bersama di mana Anies yang memenangi Pilkada DKI Jakarta setelah mengalahkan Ahok di putaran kedua. Artinya, memang jika berkontestasi langsung Jokowi tidak pernah kalah. Tapi, ketika mengendors orang lain, calon yang didukung Jokowi bisa dikalahkan,” sambungnya.
Jangan Lupakan Sejarah
Kondisi Pilpres 2024 memiliki kemiripan dengan Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Ada tiga pasang calon yang berkontestasi, dan calon yang dianggap mendapat endorsement dari Jokowi menempati peringkat teratas dalam berbagai hasil survei. Seperti Pilpres 2024, di Pilkada DKI Jakarta 2017 pun ada keyakinan bahwa pasangan Ahok dan Djarot mampu memenangi dalam satu putaran.
“Kita sering lupa, dalam setiap pemilu akan muncul ekskalasi-ekskalasi politik jelang pencoblosan. 2017 dulu, kita masih ingat ada Gerakan 212, dan saat ini mulai ramai suara-suara dari berbagai civitas akademika,” tuturnya.
Pendiri PolMark Research Centre ini menambahkan, situasi saat ini menyulitkan pasangan Prabowo-Gibran untuk menang dalam satu putaran di pilpres. Dia menyebut, dari survei yang dilakukan pada 14-25 Januari 2024 terhadap 2.600 responden di seluruh Indonesia, mayoritas masih memikirkan secara matang untuk memilih capres dan cawapres yang ada.
Berdasarkan survei PolMark, lanjut Eep, 25 persen pemilih masih labil atau belum menentukan pilihannya sampai sekarang dan 14 persen diantaranya masih mempertimbangkan pilihannya hingga mendekati hari pencoblosan pada 14 Februari 2024.
“Di survei nasional kami yang terakhir dengan 2.600 responden itu, masih ada 25 persen pemilih yang akan memutuskan setelah semua debat mereka tonton, akhirnya, setelah 4 Februari, itu kan sudah mepet, 10 hari lagi pencoblosan. Kemudian ada yang menentukan pilihan setelah kampanye selesai, itu 10 Februari. Tinggal empat hari lagi hari H pencoblosan di masa tenang 11, 12, 13 Februari, dan yang terbesar justru di hari H, 14 persen lebih, gabungannya 25 persen,” terangnya.
Eep menyatakan, dalam proses pemilu yang demokratis terdapat tiga kelompok yang berperan, yakni bintang, penentu dan wasit atau penyelenggara. Bintang adalah kandidat yang disorot kamera, tampil dipanggung debat, terpampang di baliho dan banner serta muncul di televisi.
Namun, penentu dari kemenangan pemilu yang sesungguhnya adalah yang kedua, atau setiap orang yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS). “Karena ketika masuk ke bilik suara, kita praktis tidak berhadapan dengan presiden, dengan polisi, dengan tentara, bansos sudah lewat. Ini pemilih, ini nggak bisa keputusannya dirumuskan sekarang, merekalah yang akan menentukan,” tambahnya.
Eep juga menyebut pertarungan pilpres di putaran kedua ini akan berlangsung sengit. Dia memprediksi partai-partai pengusung Anies dan Ganjar akan berkoalisi. “Resistensi PDIP terhadap PKS tidak akan menghalangi karena daya tolak bergabung ke kubu Prabowo lebih besar,” tukasnya.
Saling Klaim Menang Satu Putaran
Pendapat berberda dikemukakan Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari. Dia menilai, partisipasi para pendukung Prabowo-Gibran mampu menangkan paslon nomor urut 02 tersebut dalam satu putaran. Hal ini juga diperkuat dengan elektabilitas Prabowo-Gibran yang terus meningkat di sejumlah lembaga survei.
Selain itu, bergabungnya sejumlah tokoh kunci seperti Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, mantan politikus PDIP Maruarar Sirait, hingga Menteri BUMN Erick Thohir ke barisan pendukung Prabowo-Gibran juga bisa menambah kekuatan elektoral paslon nomor urut 02 tersebut.
“Jadi sekarang ini dibutuhkan game changer untuk sekali putaran. Kebutuhannya pada hari ini tinggal 3 sampai 4 persen saja. Hemat saya, tokoh dengan popularitas yang luar biasa, dengan akar yang sangat dalam seperti Bu Khofifah itu bisa narik satu sampai 2 persen, seperti halnya Pak Ara yang punya jaringan luar biasa di Jawa Barat kemudian lama di PDI Perjuangan,” katanya.
“Apalagi Pak Erick Thohir, beliau punya fans. Dia punya kolam suara Nahdlatul Ulama, punya kolam suara penggemar sepakbola, punya kolam suara Sumatra Bagian Selatan. Apalagi ini popularitasnya meningkat nih gara-gara Indonesia lolos ke putaran kedua Piala Asia,” sambung Qodari.
Tapi, untuk merealisasikan pilpres satu putaran, para pendukung Prabowo-Gibran harus beramai-ramai datang ke TPS pada 14 Februari mendatang untuk menggunakan hak suaranya mencoblos gambar nomor 02.
“Yang penting nanti para pendukung 02 pada hari H harus datang. Jangan nggak datang, karena datang tidak datang itu ikut menentukan hasil suara atau kemenangan. Jadi kita harus mensinkronkan antara hasil survei dengan hasil akhir pada tanggal 14 dan itu caranya adalah dengan datang ke TPS,” tandas Qodari.