Pentingnya Hidrogen Hijau Sebagai Energi Berkelanjutan
JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa pengembangan hidrogen hijau penting dilakukan karena memiliki potensi besar untuk menciptakan energi berkelanjutan di Indonesia.
“Beberapa nilai penting dari hidrogen hijau di antaranya menguatkan ketahanan energi nasional, akselerasi dekarbonisasi, dan ekonomi yang berkelanjutan,” kata Senior Analis Institute for Essential Services Reform (IESR) Farid Wijaya, Antara, Kamis 8 Februari.
Selain itu, hidrogen hijau juga menyimpan kelebihan suplai listrik dan untuk pemerataan penggunaan energi terbarukan, alternatif dari bahan bakar fosil dengan efisiensi tinggi yang dapat dikonversi menjadi NH3, alkohol (metanol, etanol), metana dan bahan bakar sintetis,
“Serta densitas energinya lebih besar dari baterai dengan kepraktisan serupa bahan bakar minyak (BBM),” ujar Farid.
Berbeda dengan bahan bakar fosil, lanjut Farid, energi hidrogen hanya menghasilkan air, listrik, dan panas ketika dikonversikan, tanpa meninggalkan jejak emisi gas rumah kaca atau debu halus.
Proses produksinya juga ramah lingkungan, terutama jika menggunakan metode elektrolisis untuk memisahkan hidrogen dari senyawa air, yang mana arus listrik digunakan untuk memecah molekul air menjadi oksigen dan hidrogen gas.
Baca juga:
- BPK Audit Laporan Keuangan Kemenkes di Area yang Berpotensi Kecurangan
- Kaesang Klaim Elektabilitas PSI Naik 4 Persen Setelah Temui Masyarakat di Berbagai Daerah
- Tiga Operator Judi Online Ditangkap di Dalam Pesawat AirAsia Tujuan Malaysia
- Jakarta Hujan Deras, Jalan DI Panjaitan Jaktim Terendam Banjir 50 Cm
Menurut Farid jika merujuk pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dengan potensi energi terbarukan sekitar 3.686 Gigawatt, maka Indonesia memiliki kapasitas untuk memproduksi hidrogen hijau.
“Hal ini menjadikan hidrogen hijau sebagai cara untuk merespons kebutuhan akan keseimbangan lingkungan, membuka peluang untuk menciptakan pasar baru dan nilai baru bagi industri dunia,” jelas Farid.
Menurut Farid Indonesia dapat belajar dari beberapa negara yang telah melakukan pemanfaatan hidrogen hijau. Contohnya, pemanfaatan hidrogen sebagai bahan dari amonia oleh Fortescue Australia yang mengalami kesulitan pendanaan untuk 550 MW kapasitas elektroliser di Pulau Gibson akibat biaya investasi dan listrik yang tinggi.
Hal ini diakibatkan biaya investasi dan operasional tinggi, terbatasnya subsidi pemerintah, dan harga amonia terlalu tinggi untuk pupuk.
Sementara itu, untuk meminimalisir kejadian tidak diinginkan dalam pemanfaatan hidrogen hijau, diperlukan langkah strategis. Pertama, standardisasi dan sertifikasi, yang menjadi hal penting termasuk untuk menjaga nilai rantai pasok yang aman dan terkendali.
“Kedua, penetapan kebijakan peta arah dan regulasi yang mendukung pengembangan hidrogen hijau di Indonesia,” jelas Farid.
Ketiga, akses sumber daya terutama terkait lahan yang banyak menentukan efisiensi biaya investasi, energi, dan mobilitas. Keempat, ketersediaan teknologi pemanfaatan hidrogen, dalam membangun pasar domestik pemanfaatan yang berkelanjutan.
Kelima, pasar potensial, terutama untuk ekspor pasar global yang memiliki nilai jual tinggi dan pasar domestik. Keenam, dukungan finansial seperti pemberian Insentif dan disinsentif yang mengikat.