Politik Uang Menjamur karena Penegakan Hukum Lemah dan Masyarakat yang Tak Sejahtera

JAKARTA – Money politic atau politik uang sepertinya memang tidak bisa dipisahkan dari masa Pemilihan Umum (Pemilu) yang tinggal dua pekan lagi digelar. Politik uang dianggap merusak demokrasi, tapi mengapa masih terjadi?

Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jawa Barat untuk pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Ridwan Kamil, diperiksa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jabar.

Pemeriksaan oleh Bawaslu terhadap Ridwan Kamil, Senin (29/1/2024), terkait dugaan pelanggaran Pemilu oleh eks Gubernur Jawa Barat tersebut.

>

Belum lama ini viral video Ridwan Kamil menggunakan atribut khas pasangan Capres dan Cawapres nomor urut dua dalam kegiatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Kabupaten Tasikmalaya.

Dalam rekaman video yang beredar, pria yang akrab disapa Kang Emil bernyanyi dan berjoget di atas panggung dan ditonton oleh puluhan peserta. Tak hanya itu, Ridwan Kamil juga memberikan sejumlah uang kepada masyarakat yang berjoget di atas panggung.

Bertujuan Menarik Suara Rakyat

Ridwan Kamil bukan satu-satunya yang ketahuan bagi-bagi uang di masa kampanye. Pada akhir 2023 lalu, sebuah potongan video Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah membagikan-bagikan uang ke masyarakat juga viral di media sosial. Dalam video tersebut terlihat seseorang di belakang Gus Miftah menunjukkan kaos Prabowo Subianto.

Tapi, Gus Miftah menjelaskan kegiatannya tidak bertalian dengan kampanye atau politik. Ia membantah bagi-bagi uang karena kepentingan tertentu.

“Bukan, sama sekali,” kata Gus Miftah ketika dikonfirmasi.

Politik uang merupakan musuh utama dalam setiap penyelenggaraan demokrasi, baik tingkat nasional maupun lokal. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang maupun sembako dengan tujuan menarik simpati masyarakat supaya mereka memberikan suara kepada partai yang bersangkutan.

Tangkapan layar - Gus Miftah bagi-bagi uang di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. (Antara/HO-Video Amatir/am)

Praktik haram ini selalu ada di hampir setiap Pemilu. Seolah sudah menjadi budaya, para calon berlomba-lomba merogoh rupiah demi mendulang suara.

Meski sudah menjadi rahasia umum, dan dianggap seperti benalu yang menggerogoti demokrasi, nyatanya praktik politik uang sulit dihilangkan di Tanah Air. Padahal, yang terlibat politik uang dapat diancam pidana.

Larangan politik uang tertuang pada Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Seperti Pasal 280 ayat (1) huruf j menyebutkan, “Penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye Pemilu”.

Pembuktian Tidak Mudah

Belum lama ini, Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Nunukan menetapkan seorang caleg untuk DPRD Nunukan dari Partai Demokrat, SR (22) sebagai tersangka politik uang.

SR melakukan politik uang pada kegiatan olahraga voli di pemukiman penduduk Jalan Sedadap, Kecamatan Nunukan Selatan. Dari rekaman video yang diserahkan kepada Bawaslu, SR diketahui memberikan uang atau materi lainnya kepada masyarakat.

Tapi SR hanya satu dari sekian banyaknya praktik politik uang yang terjadi di masyarakat. Pertanyaannya, mengapa sulit menindak tegas pelaku politik uang, padahal mungkin praktik haram ini terjadi di hampir semua daerah.

Penyidik Reskrim Polres Nunukan menerima pelimpahan berkas perkara seorang caleg DPRD Nunukan dari Bawaslu dengan sangkaan melakukan politik uang  dan dalam bentuk barang. (Istimewa)

Pengamat hukum pidana Masykur Isnan mengatakan tidak mudah untuk membuktikan terjadinya praktik politik sehingga praktik haram tersebut terus berulang.

“Tidak mudah untuk membuktikan adanya money politic. Butuh itikad dari semua pihak, terutama dari penyelanggara Pemilu dalam hal ini Baswaslu yang memang punya kewenangan,” kata Masykur Isnan kepada VOI.

“Memang ini menjadi PR besar, tapi Bawaslu juga tidak bisa bekerja sendiri. Butuh partisipasi masyarakat yang secara berani melakukan pelaporan terhadap indikasi politik uang yang dilakukan oleh para peserta atau kontestan politik,” imbuhnya.

Masyarakat Belum Sejahtera

Terlepas dari oknum yang memberikan uang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan praktik politik uang masih terjadi di Indonesia karena 50 persen masyarakat belum sejahtera. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat yang belum baik juga menjadi salah satu penyebab masifnya politik uang.

"Kenapa money politic masih berjalan? Saya harus sampaikan 50 persen masyarakat kita itu belum sejahtera dan 50 persen lebih itu juga tingkat pendidikannya belum baik. Itu sebetulnya syarat mutlak kalau kita ingin demokrasi kita sehat," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di Gedung KPK pada Agustus 2023.

Publik tak bisa hanya berharap calon pemimpin yang berintegritas sementara masyarakatnya selaku pemilih juga tak memiliki integritas. Menurut Alexander, masyarakat harus didorong untuk menolak setiap tawaran dan itu bukan hanya tugas KPK.

Di sisi lain, Masykur Isnan menambahkan, dalam kontestasi politik perlu adanya partisipasi bermakna dari masyakarakat guna memastikan demokrasi yang substantif dan bukan hanya politik dagang sapi.

“Kualitas pemimpin ke depan ditentukan hari ini, masyarakat sudah harus jeli menakar dan mengukur para peserta Pemilu pada saat proses kampanye,” tegas Masykur Isnan.

“Tentunya siapa yang bermain kotor dipastikan akan membawa ketidakbersihan selama yang bersangkutan mengemban amanah,” pungkasnya.