JPU KPK Hadirkan 5 Saksi di Sidang Kasus Korupsi Eks Walkot Bima Muhammad Lutfi Pekan Depan

MATARAM - Jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi siap menghadirkan lima saksi pada sidang lanjutan perkara korupsi dengan terdakwa mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, SeniN, 29 Januari. 

"Untuk siapa saja lima saksi itu kami masih harus diskusikan terlebih dahulu melalui internal kami," kata Andi mewakili tim jaksa penuntut umum dari KPK usai sidang pembacaan dakwaan Muhammad Lutfi di Mataram, Antara, Senin, 22 Januari.

Dalam persidangan yang diketuai Putu Gde Hariadi dengan anggota Agung Prasetyo dan Djoko Soepriyono itu, terdakwa Muhammad Lutfi melalui penasihat hukumnya menyatakan tidak mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut umum.

Ketua majelis hakim kemudian menyatakan sidang selanjutnya dengan agenda pemeriksaan saksi dari jaksa penuntut umum. "Mempersilakan kepada jaksa penuntut umum untuk menyiapkan saksi yang akan dihadirkan dalam sidang lanjutan pada Senin pekan depan," kata Hariadi.

Ketua majelis hakim turut meminta kepastian dari jaksa penuntut umum terkait urutan saksi yang akan hadir dalam persidangan mengingat dalam berkas dakwaan terlampir ada 92 saksi.

Jaksa menanggapi hal tersebut dengan menyatakan akan menghadirkan lima orang saksi dalam agenda sidang selanjutnya.

Selain itu, jaksa dalam persidangan juga meminta sidang dapat digelar dua kali dalam sepekan dan terdakwa Muhammad Lutfi melalui penasihat hukumnya sepakat dengan tawaran tersebut.

Ketua majelis hakim mendengar hal itu kemudian meminta waktu kepada para pihak untuk menentukan hari persidangannya.

"Nanti kita sepakati pada sidang selanjutnya, Senin (29/1), mungkin dari kami akan menawarkan Jumat. Tetapi, kami mau melihat dahulu daftar saksi yang akan dihadirkan jaksa dalam sidang, mohon kepada jaksa segera menyerahkan daftar itu agar dapat kami sesuaikan dengan jadwal sidang lainnya," ujar Hariadi.

Jaksa mendengar perintah tersebut menyatakan siap menyerahkan daftar urutan saksi yang akan hadir dalam persidangan pada agenda sidang lanjutan Senin (29/1).

Wali Kota Bima periode 2018—2023 Muhammad Lutfi menjalani penahanan KPK pada tanggal 5 Oktober 2023. KPK menahan Muhammad Lutfi setelah berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan TPPU.

Kasus yang menjerat Lutfi berawal pada medio tahun 2019. Saat itu, Lutfi bersama dengan salah seorang anggota keluarga mulai mengondisikan proyek-proyek yang dikerjakan oleh Pemerintah Kota Bima.

Lutfi lantas meminta dokumen berbagai proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bima.

Dengan memanfaatkan jabatannya, Lutfi kemudian memerintahkan beberapa pejabat di Dinas PUPR dan BPBD Bima untuk membuat berbagai proyek yang memiliki nilai anggaran besar dan penyusunannya dilakukan di rumah dinas jabatan Wali Kota Bima.

Nilai proyek di Dinas PUPR dan BPBD Bima pada tahun anggaran 2019—2020 itu mencapai puluhan miliar rupiah.

Lutfi secara sepihak langsung menentukan para kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek-proyek dimaksud. Proses lelang tetap berjalan, tetapi hanya sebagai formalitas semata dan faktanya pemenang lelang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan sebagaimana ketentuan.

Atas pengondisian tersebut, Lutfi menerima setoran uang Rp8,6 miliar dari kontraktor yang dimenangkan. Salah satu proyek yang terlibat dalam perkara tersebut, antara lain, proyek pelebaran Jalan Nungga Toloweri serta pengadaan listrik dan penerangan jalan umum di Perumahan Oi'Foo.

Teknis penyetoran uang kepada Lutfi melalui transfer rekening bank atas nama orang-orang kepercayaan Lutfi, termasuk anggota keluarganya.

Penyidik KPK juga menemukan dugaan penerimaan gratifikasi dalam bentuk uang oleh Lutfi dari sejumlah pihak. Tim penyidik KPK akan terus melakukan pendalaman lebih lanjut.

Atas perbuatannya, yang bersangkutan dijerat dengan Pasal 12 huruf i dan/atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.