Pemilu Indonesia Dinilai Terbesar dan Paling Rumit

JAKARTA - Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia tahun ini memiliki tantangan yang tidaklah mudah. Bahkan bisa dikatakan sebagai pemilu yang terbesar dan rumit di dunia.

Staf Khusus Wakil Presiden (Wapres), R Gatot Prio Utomo mengatakan indikasi pemilu Indonesia sebagai yang terbesar dan paling rumit itu bisa dilihat dari beberapa dimensi, baik waktu, jumlah pemilih, dan sebaran pemilih yang luas.  

"Dalam satu waktu secara serentak memilih presiden/wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRD baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota," katanya, Jumat 19 Januari.

Menurutnya, pemilu ini diikuti dengan jumlah pemilih yang sangat besar. Serta, sebaran pemilih di area negara kepulauan yang sangat luas dengan demografi yang sangat beragam, baik dari sisi suku, budaya, tingkat pendidikan, dan juga kondisi ekonominya.

"Kompleksitas situasi ini jika tidak dipahami dan ditangani secara bijak, maka berpotensi memunculkan risiko pada kohesivitas kebangsaan kita," jelas Gatot.

Gatot berharap kualitas Pemilu 2024 harus ditingkatkan agar triliunan anggaran yang dikeluarkan mampu menghasilkan kepemimpinan yang bermartabat, berlegitimasi kuat, dan inklusif di semua tingkatan.

"Supaya menghasilkan kepemimpinan bermartabat, maka pemilunya harus bermartabat. Agar pemilu bermartabat, maka prinsip-prinsip fairness harus menjadi pegangan dari seluruh pemangku kepentingan," urainya. 

Diakui, salah satu hal yang dapat mencederai prinsip fairness tersebut adalah konflik kepentingan (conflict of interest). Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini banyak komponen bangsa yang terlibat dalam tim-tim pemenangan, termasuk para pejabat negara yang menjadi tim sukses paslon.

"Masyarakat seringkali sulit membedakan tindakan pejabat negara, apakah dalam kapasitas sebagai pengemban amanah jabatan atau sebagai timses paslon, sehingga tidak heran jika kemudian muncul banyak kecurigaan atau persepsi mengenai netralitas," jelasnya.

Namun, ia percaya penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu akan menjadi pihak yang netral, menjunjung tinggi etika, dan mampu melahirkan Pemilu yang bermartabat.

Tak lupa, sambung Gatot, komitmen TNI dan Polri dalam sejarah pemilu sudah teruji. Komitmen dan kesetiaan TNI dan Polri kepada NKRI jauh diatas kepentingan pribadi dan golongan.

Terkait dengan potensi polarisasi dan konflik pascapemilu, Prio menyarankan kepada KPU dan Bawaslu agar memetakan seluruh risiko yang dapat terjadi dan merumuskan rencana mitigasinya secara efektif. Hal ini agar menjadi daya antisipatif yang cukup jika risiko itu benar-benar terjadi.

"Untuk ini, perlu pelibatan segenap komponen masyarakat, termasuk media dalam proses mitigasi ini, sehingga rumusan mitigasi tersebut dapat dijalankan di lapangan," terang dia.