Tarif Pajak Hiburan Naik? Mandi Uap Bakal Kepanasan, Nyanyi di Karaoke Juga Tercekat
JAKARTA – Kenaikan tarif pajak hiburan yang terbaru membuat pengusaha menjerit. Sejumlah pakar menyebut kebijakan ini bisa berdampak negatif pada sektor pariwisata hingga berpotensi meningkatkan angka pengangguran.
Misuh-misuh terkait pajak hiburan yang naik menjadi minimal 40 persen hingga 75 persen diperbincangkan publik belakangan ini. Regulasi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang mengatur ketentuan tarif pajak untuk jasa kesenian dan hiburan. Terdapat 12 kategori jasa kesenian dan hiburan.
Di pasal 55 ayat (1) huruf (I), pemerintah mengelompokkan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, mandi uap/spa yang termasuk dalam di dalamnya.
Untuk penerapannya, pemerintah pusat menyerahkan keputusan besaran tarif pajak di masing-masing daerah kepada pemerintah daerah dan DPRD.
Inul Daratista, penyanyi dangdut yang juga memiliki usaha karaoke menumpahkan kekecewaannya terkait tarif pajak hiburan ini di media sosial Instagram. Hal yang sama juga dilakukan pengacara kondang Hotman Paris Hutapea yang punya usaha kelab malam.
Hanya Jasa Hiburan Khusus
Sejauh ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mengubah tarif pajaknya melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Hiburan. Sebelum perubahan UU, pajak untuk diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar di Jakarta adalah 35 persen. Tapi sekarang Pemprov dan DPRD DKI Jakarta sepakat tarifnya naik menjadi 40 persen.
Menurut Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, Lydia Kurniawati Christyana, sejak tahun lalu sebenarnya sudah ada 177 daerah yang menerapkan tarif pajak untuk jenis usaha hiburan ini sebesar 40 persen hingga 75 persen dari total 436 daerah, di antaranya Kabupaten Siak, Ogan Komering Ulu Timur, Belitung Timur, Lebak, dan Grobogan.
Sementara itu, Bali yang merupakan daerah wisata masih menunda penerapan tarif pajak terbaru karena masih menunggu hasil uji materi.
Kebanyakan pengusaha hiburan menjerit dengan tarif pajak terbaru ini karena dianggap tidak berpihak pada sektor industri pariwisata, yang sedang pelan-pelan bangkit setelah diterpa pandemi.
Terkait kekhawatiran para pengusaha di industri hiburan, Lydia mencoba mendinginkannya. Menurutnya, salah satu alasan pemerintah menerapkan batas bawah pajak hiburan atas jasa diskotek hingga spa karena jasa tersebut tergolong jasa hiburan khusus. Dikatakan Lydia, jasa diskotek, karaoke, kelab malam, hingga spa tidak dinikmati oleh masyarakat umum sehingga diperlukan perlakuan khusus terhadap kegiatan-kegiatan tersebut.
Tidak semua tarif pajak hiburan naik berdasarkan aturan terbaru ini. Disebutkan Lydia, UU tersebut justru menurunkan pajak untuk jasa kesenian dan hiburan lainnya menjadi maksimal 10 persen. Padahal, dalam UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 20 Tahun 2009, pajaknya minimal 35 persen.
Penurunan tarif pajak ini berlaku untuk penyedia jasa tontonan film, pagelaran kesenian, musik, tari, kontes kecantikan, kontes binaraga, pameran, pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, pacuan kuda, permainan ketangkasan, olahraga, rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, panti pijat, dan panti refleksi.
Jasa kesenian dan hiburan untuk promosi budaya tradisional dikecualikan dari aturan tersebut dan tidak dipungut pajak.
Potensi Efisiensi di Sektor Jasa Hiburan
Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menganggap kenaikan tarif pajak hiburan menjadi minimal 40 persen hingga 75 persen berpotensi memicu berbagai masalah. Mulai dari kemungkinan efisiensi yang dilakukan oleh pemilik jasa hiburan sehingga bisa berdampak pada pengangguran, sampai kaburnya wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri untuk memilih negara lain sebagai tujuan wisata.
“Padahal sektor pariwisata baru pulih dari pandemi dan belum bisa sama pulihnya dibandingkan sebelum pandemi. Artinya, masih butuh stimulus, butuh insentif terutama untuk mendatangkan baik wisatawan domestik atau asing,” tutur Bhima kepada VOI.
“Di negara lain, pascapandemi mereka memberikan stimulus dengan cara memotong pajak atau retribusi hiburan, baik yang merupakan kebijakan pemerintah pusat atau pun pemerintah daerah, seperti di Thailand misalnya,” Bhima menambahkan.
Dikatakan Bhima, dengan pajak hiburan minimal 40 persen hingga 75 persen, bukannya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) tetapi justru bisa menurunkan PAD karena banyak pelaku usaha yang tutup dan konsumen juga tidak sanggup dengan biaya yang tinggi.
“Harus dilihat lagi dampaknya, seharusnya pemerintah punya simulasi bagaimana dampak kenaikan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, terhadap pemulihan sektor parisiwata, dan efeknya terhadap potensi pengangguran sebelum mengeluarkan kebijakan,” kata Bhima lagi.
Dihubungi terpisah, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio skeptis terhadap kenaikan tarif pajak hiburan. Bukan tanpa alasan, menurut Agus selama ini aliran pajak selalu menjadi masalah besar di Indonesia. Ia menyoroti para pengemplang pajak yang justru tidak mendapat hukuman setimpal.
“Negara kan memang rampok pajak, tapi pengemplang pajak dan korupsi yang dilakukan orang pajak juga masih marak dan penanganannya abu-abu alias tidak jelas,” cetus Agus melalui pesan singkat kepada VOI.
“Belum lagi hasil pajak untuk membangun infrastruktur juga dikorupsi,” sambungnya.
Baca juga:
- Menilik Fenomena Lansia Sebatang Kara di Akhir Hayat, Pertanda Kehidupan Sosial Kita Tambah Parah
- Tak Usah Ikutan Tren Nikah Muda Hanya karena Alasan Menghindari Zina
- Sengkarut Masalah Kesehatan Indonesia yang Pengaruhi Indeks Pembangunan Manusia
- Wacana Koalisi Anies Baswedan-Ganjar Pranowo: Bukan Sekadar untuk Membendung Prabowo Subianto
Di sisi lain, Direktur Eksekutir Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi mengatakan sektor jasa yang dikenakan kenaikan tarif pajak wajar karena dianggap bentuk kemewahan. Dengan target konsumen yang khusus, Prianto menilai pemerintah ingin mengendalikan dampak negatif dari jasa hiburan tersebut.
Namun, ia juga memaklumi keberatan dan kekhawatiran para pelaku usaha. Tarif pajak ini akan dibebankan kepada konsumen sehingga mereka harus membayar lebih mahal. Ini bisa berimbas pada berkurangnya jumlah konsumen di sektor jasa ini.