Rafael Correa, Presiden yang Membawa Rakyat Ekuador Jauhi Bisnis Narkoba
JAKARTA - Sosok pemimpin yang dapat berdiri di atas semua golongan pernah dianggap langka. Namun, tidak bagi Ekuador. Negeri yang berada di Amerika Selatan itu pernah memiliki pemimpin pro rakyat. Rafael Correa, namanya.
Tindak-tanduknya sebagai Presiden Ekuador era 2007-2017 dikagumi di seantero negeri. Ia mampu memanfaatkan kekayaan alam Ekuador untuk meninggikan hajat hidup rakyat Ekuador. Kondisi itu membuat banyak rakyat Ekuador punya harapan dan meninggalkan bisnis narkoba.
Nama Rafael Correa pernah populer di seantero Amerika Latin. Sosok itu pernah disejajarkan dengan nama besar pemimpin progresif Amerika Latin macam Hugo Chavez (Presiden Venezuela era 1999-2013) hingga Evo Morales (Presiden Bolivia era 2006-2019).
Semuanya karena kepemimpinan Correa mendapat restu penuh dari rakyat Ekuador. Jejak Correa sudah terlihat kala dirinya menjabat sebagai Menteri Ekonomi dan Keuangan Ekuador. Boleh jadi jabatannya cukup singkat, dari 20 April-8 Agustus 2005, namun kiprahnya membekas bagi rakyat Ekuador.
Waktu empat bulan itu dimanfaatkan benar Correa untuk membela rakyat. Kebijakan yang diterapkannya semata-mata untuk mengurangi kemiskinan dan menaikkan pertumbuhan ekonomi. Ia memilih Ekuador lebih condong bekerja sama dengan sesama Amerika Latin macam Venezuela, dibanding Amerika Serikat (AS).
Kondisi itu membuat Correa jadi sasaran empuk untuk disingkirkan. Alih-alih pemecatan itu membuat karier politik Correa mengendur, rakyat Ekuador justru mendukungnya untuk melaju ke tingkat lebih tinggi. Banyak di antara politikus Ekuador juga melakukan hal yang sama.
Pucuk dicinta ulam tiba. Correa terpilih sebagai Presiden Ekuador pada 2007. Kemenangan itu karena Correa yang berhaluan kiri mendapatkan 80 suara dari 130 kursi di dalam dewan konstitusi. Kepemimpinannya sebagai orang nomor satu Ekuador pun dimulai.
Ia mampu meningkatkan hajat hidup rakyat Ekuador dan menyikat pejabat korup. Ia mampu memformulasikan utang luar negeri dan sumber daya alam (minyak bumi) untuk membuat kebijakan pro rakyat.
Baca juga:
- Simon Cowell Umumkan Musim Terakhirnya di American Idol dalam Memori Hari Ini, 11 Januari 2010
- Kisah Mahfud MD Diangkat Gus Dur Jadi Menhan
- Memori Hari Ini, 10 Januari 2010: Sel Mewah Ayin, Napi Koruptor di Rutan Pondok Bambu Diungkap
- Franz Beckenbauer Pernah Menelanjangi Kekurangan Sepak Bola Indonesia
Ia menggunakan instrumen itu untuk melakukan pemerataan ekonomi. Pembangunan fasilitas penunjang pemerataan ekonomi dilanggengkan di mana-mana. Ia membangun banyak sekolah, rumah sakit, hingga perguruan tinggi. Pembangunan itu membuat rakyat Ekuador keluar dari garis kemiskinan.
“Antara tahun 2005 dan 2017, Ekuador menyaksikan transformasi yang luar biasa, ketika jutaan orang keluar dari kemiskinan, mengikuti gelombang ledakan harga minyak yang menguntungkan presiden pada saat itu, Rafael Correa. Sosok yang dikenal sebagai seorang sayap kiri mulai menyalurkan keuntungan minyak ke pendidikan, layanan kesehatan, dan kegiatan sosial lainnya.”
“Tiba-tiba, para pemimpin rumah tangga hingga tukang batu percaya bahwa anak-anak mereka akan menyelesaikan sekolah menengah atas. Mereka kemudian berharap anak-anak itu menjadi profesional, dan menjalani kehidupan yang sangat berbeda dari kehidupan orang tua mereka,” terang Julie Turkewitz dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul How a Peaceful Country Became a Gold Rush State for Drug Cartels (2023).
Lawan Perdagangan Narkoba
Correa menyadari bahwa ketersediaan lapangan kerja di Ekuador cukup rendah. Ia pun memulai gebrakan. Ia mulai menaikkan hajat hidup rakyat Ekuador dengan membuka banyak lapangan kerja. Setelahnya, Correa memfokuskan tenaganya untuk perang melawan peredaran narkoba yang merugikan negara.
Narasi itu bukan pepesan kosong Belaka. Correa menyadari benar negaranya jadi tempat transit populer perdagangan narkoba jenis kokain dari Kolombia dan Peru. Kondisi itu karena pemerintahan di Ekuador yang kurang tegas dan mudah disuap.
Imbasnya, kemiskinan menarik minat banyak rakyat Ekuador masuk dalam bisnis hitam itu. Correa pun ingin perubahan. Serangkaian produk hukum disiapkan. Pengerahan polisi dan militer untuk menindak tegas mereka yang berbisnis narkoba digiatkan.
Semua itu dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran bisnis narkoba. Ajian menindak tegas peredaran narkoba dan kebehebatan pemerintah membuka lapangan kerja dianggap berhasil. Kondisi itu membuat rakyat Ekuador memiliki harapan untuk meraih hidup lebih baik, tanpa harus masuk kubangan bisnis narkoba.
Kondisi itu berlangsung selama Correa memimpin Ekuador. Masalah muncul ketika Correa tak lagi berkuasa. Ekuador bak kembali ke setelan pabrik. Kesejahteraan yang didapat di era Correa bak barang mahal.
Tindakan Correa yang melawan perdagangan narkoba juga tak dilakukan masif dan rakyat kembali ke titik terendah. Mereka jadi kembali percaya bahwa bisnis narkoba jadi satu-satunya cara keluar dari kemiskinan. Suatu pemikiran yang sudah dibuang jauh-jauh era Correa.
“Di Kolombia dan Ekuador, pemerintah mendukung adanya wacana reformasi obat-obatan juga menerapkan 'perang' melawan perdagangan narkoba, dengan menekankan penghancuran lokasi penggunaan narkoba melalui sarana militer, hukuman yang lebih berat, dan pengerahan polisi/militer dalam skala besar. Di Rosario, Argentina, operasi militer besar untuk mengatasi pertumbuhan dan organisasi perdagangan narkoba terjadi pada tahun 2014.”
“Di Ekuador, narasi perlawanan terhadap narkoba pernah berada di level terendah. Pemerintah sempat mengampungi 4 ribu napi yang dikategorikan kejahatan narkoba ringan. Namun, tidak pada masa Correa berkuasa. Peningkatan hukuman terkait kejahatan narkoba terus dilakukan. Pada 2012, Presiden Correa mengumumkan hadirnya pelatihan kepada 4 ribu tentara untuk memerangi kejahatan dan peredaran narkoba. Pada saat yang sama, ia juga mendukung kebijakan seperti penyitaan narkoba untuk keperluan pribadi,” ujar Angelica Duran Martinez dalam buku Transforming the War on Drugs: Warriors, Victims and Vulnerable Regions (2021).