Beijing Siap Bahas Laut China Selatan dengan Negara ASEAN

JAKARTA - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mao Ning mengatakan China siap melakukan konsultasi untuk membicarakan Pedoman Tata Perilaku (Code of Conduct atau COC) Laut China Selatan dengan negara-negara anggota ASEAN.

"Kami berharap negara-negara ASEAN akan bekerja sama dengan kami untuk mencapai target yang ditetapkan dan mempercepat konsultasi untuk penerapan COC," kata Mao Ning saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China dilansir ANTARA, Kamis, 11 Januari.

Sebelumnya pada Selasa (9/1), Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyatakan siap bekerja sama dengan seluruh negara anggota ASEAN, termasuk Filipina untuk menyelesaikan COC Laut China Selatan secepatnya.

Filipina dan China sudah sering terlibat perselisihan di wilayah perairan Laut China Selatan dalam beberapa bulan terakhir, terutama di dekat pulau karang yang disebut China sebagai "Ren'ai Jiao" sementara Filipina menyebutnya sebagai "Beting Ayungin" yaitu bagian dari Kepulauan Spratly.

"China dan negara-negara ASEAN sedang berupaya untuk mengadopsi Pedoman Tata Perilaku di Laut Cina Selatan yang merupakan langkah penting dalam mengimplementasikan Deklarasi Perilaku Para Pihak (Declaration of Conduct atau DOC) di Laut Cina Selatan," papar Mao Ning.

Menurut Mao Ning, konsultasi antara pemerintah China dengan negara-negara ASEAN dalam membahan COC berjalan lancar.

"Pembahasan tahap kedua telah selesai dan pembahasan tahap ketiga telah dimulai. Para pihak telah mengadopsi pedoman untuk mempercepat konsultasi mengenai COC," ungkap Mao Ning.

Namun Mao Ning juga mengingatkan bahwa permasalahan Laut Cina Selatan sangat kompleks dan menghadapi campur tangan pihak luar.

"Posisi China mengenai masalah Laut Cina Selatan jelas dan konsisten. Kami berkomitmen untuk menangani perselisihan dengan baik melalui dialog dan konsultasi dengan negara-negara terkait, dan ingin bekerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan," jelas Mao Ning.

Meskipun demikian, China, kata Mao Ning, akan dengan tegas menjaga kedaulatan teritorial serta hak dan kepentingan maritimnya.

"Tidak ada negara yang tidak berada di kawasan yang berhak ikut campur dalam sengketa maritim antara China dan Filipina," tegas Mao Ning.

China mengakui kedaulatannya atas hampir seluruh wilayah di Laut China Selatan dengan menyebutnya sebagai kawasan "Nine-Dash Line" yaitu wilayah historis militer China yang termasuk sebagian zona ekonomi eksklusif (ZEE) Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina dan Vietnam.

Sejak 1997, negara-negara ASEAN dan China menyepakati Deklarasi Perilaku Para Pihak (Declaration of Conduct atau DOC) pada 2002. Pada tahun itu pula COC mulai dirundingkan, menandai pertama kalinya China menerima perjanjian multilateral mengenai isu tersebut.

Setelah 17 tahun berunding, ASEAN-China menyepakati naskah yang akan dirundingkan dan dimulai pada 2019. Namun pada 2020-2021 terhenti akibat pandemi sehingga baru pada 2022, perundingan dimulai kembali.

Pemerintah Filipina yang merupakan sekutu dekat Amerika Serikat (AS) memberikan akses kehadiran militer AS di empat pangkalan di negara tersebut sehingga menjadikan mereka dapat berhadapan langsung dengan militer China yang secara aktif hadir di Laut China Selatan dan bahkan membayangi Taiwan.

Pada 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional, atas permintaan Filipina, memberikan fatwa bahwa daratan hasil reklamasi di Laut China Selatan tidak bisa dijadikan dasar klaim perairan. Sayangnya China menolak mengakui fatwa itu karena menilai tidak punya dasar hukum, sementara Indonesia dan berbagai negara lain menerimanya.

Pengadilan Arbitrase Permanen pada 2016 mengatakan klaim China itu tidak memiliki dasar hukum.

Pada November 2023, Filipina mengajukan COC baru bagi kestabilan dan perdamaian di wilayah sengketa Laut China Selatan. Usulan Manila muncul setelah Presiden Ferdinand Marcos merasa prihatin mengenai negosiasi yang berkepanjangan antara ASEAN dan China tentang COC di Laut China Selatan.

Marcos juga mencari dukungan dari negara-negara, seperti Vietnam dan Malaysia, untuk membentuk kode etik kelautan yang akan menjaga perdamaian di Laut China Selatan.