Urusan Sengketa Lahan Sekolah Jangan Sampai Mengganggu Hak Siswa
JAKARTA – Mengedepankan hak anak yang bersekolah seharusnya dilakukan pihak-pihak yang bersengketa, karena ini menyangkut masa depan mereka. Demikian penuturan pengamat hukum pidana Farizal Pranata Bahri, menyikapi kasus sengketa lahan sekolah yang kembali terjadi.
Beberapa ruang kelas SDN 061 Tapparang di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar) disegel warga bernama Solihin. Ia mengaku sebagai pemilik sebagian lahan yang di atasnya berdiri bangunan sekolah tersebut.
Terdapat empat pintu ruang kelas yang disegel menggunakan kayu, sementara pintu kantor disegel menggunakan dua papan yang menyilang. Akibat penyegelan tersebut, puluhan siswa yang kembali ke sekolah seusai libur Tahun Baru terpaksa melakukan kegiatan belajar mengajar di luar kelas.
Insiden penyegelan sekolah cukup sering terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Masyarakat pun bertanya-tanya, mengapa kasus seperti ini kerap berulang. Padahal, pemerintah setempat tentu seharusnya telah mengurus sertifikat lahan sebelum membangun sekolah yang menjadi tempat belajar para siswa.
Tidak Ada Kejelasan Status Lahan
Kasus serupa juga pernah dialami SMPN 2 Batusangkar dan SDN 20 Batusangkar yang ditutup karena sengketa lahan pada November 2023. Saat itu proses belajar mengajar dipindahkan sementara ke Perpustakaan Daerah setempat.
Menurut Farizal, sengketa lahan biasanya sering terjadi karena status lahan pendirian sekolah tidak jelas siapa yang menjadi pemiliknya. Ini karena lahan yang dijadikan sekolah merupakan hasil hibah, wasiat, atau belum terseleksinya proses tukar guling alih lahan atau ruislag.
“Di beberapa daerah, pendataan aset memang belum disiplin sehingga sering terjadi sengketa kepemilikan. Ini seharusnya menjadi pembelajaran untuk setiap pemerintah daerah bahwa invetarisir aset perlu dilakukan segera,” kata Farizal ketika dihubungi VOI.
“Untuk meneliti kepemilikan aset bisa dicek melalui badan aset daerah masing-masing sehingga jelas kedudukan hukumnya.”
Di beberapa kasus, sengketa lahan sekolah terjadi karena adanya ahli waris yang mengklaim tanah yang dibangun sekolahan sebagai penerima hibah dari pemilik sebelumnya yang telah meninggal dunia. Di kasus lainnya sengketa lahan juga terjadi karena tukar gulingnya tidak tertulis.
Kata Farizal, ketika sebidang tanah dijadikan hibah untuk dibangun sekolah seharusnya harus segera diurus surat-surat secara tertulis untuk menghindari terjadinya sengketa lahan oleh ahli waris karena pemilik sebelumnya meninggal dunia.
“Peralihan hak harus secara tegas dan tersurat harus dilakukan dan didaftarkan di BPN (Badan Pertanahan Nasional) sehingga tidak terjadi konflik di kemudian hari,” Farizal menjelaskan.
Farizal menambahkan, Dinas Pendidikan atau pihak terkait lainnya dapat menuntut balik kepada pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan, selama dasar kepemilikan lahan memiliki dasar yang jelas, yang telah terdaftar di badan aset daerah.
Pengaruhi Psikologis Anak
Masalah sengketa lahan sekolah di beberapa daerah yang berujung terganggunya proses belajar mengajar anak menjadi perhatian Ketua DPR Puan Maharani. Ia mendesak pemerintah segera mengatasi permasalahan tersebut agar tidak mengganggu anak-anak dalam bersekolah.
"Pemerintah harus mencari solusi dari sekolah-sekolah yang mengalami sengketa lahan. Bisa melalui mediasi dengan pemilik lahan atau ahli waris, atau menyediakan tempat lain agar anak-anak tetap bisa belajar di sekolah," kata Puan, dikutip laman resmi DPR RI.
"Anak-anak kita yang masih semangat belajar dengan keterbatasan tempat harus menjadi perhatian Pemerintah. Jangan biarkan peristiwa ini terus berlanjut, harus ada langkah konkret dari pemerintah setempat untuk mencari gedung yang layak,” ujar Mantan Menko PMK ini.
Puan menambahkan menambahkan, kegiatan belajar di ruang terbuka tidak hanya memengaruhi kualitas pendidikan siswa. Ia menyebut situasi tersebut juga dapat berdampak pada kesejahteraan fisik dan psikologis anak-anak.
"Belajar di ruang terbuka atau tempat yang tidak memadai dapat mengganggu konsentrasi dan menciptakan beban tambahan pada siswa yang seharusnya fokus pada pembelajaran," ujar perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
Puan mengingatkan, pendidikan adalah investasi terbaik yang dapat diberikan kepada calon penerus bangsa. Oleh karenanya, pemerintah harus memiliki komitmen untuk memenuhi hak anak dalam mendapat pendidikan tanpa hambatan.
Baca juga:
"Kita berharap bahwa dengan aksi sigap dari Pemerintah, masalah terganggunya proses belajar mengajar, apapun bentuknya, akan cepat diatasi. Negara wajib memberikan lingkungan belajar yang aman dan nyaman," tegasnya.
Di sisi lain, Farizal menegaskan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua hal, yaitu secara litigasi dan non-litigasi. Non-litigasi bisa dilakukan dengan musyawarah mufakat, namun jika tidak ditemukan titik terang maka dapat dilakukan proses peradilan.
“Kedua penyelesaian tersebut tentunya antara pihak pelapor dan terlapor harus sama-sama mengedepankan hak anak dengan berlogowo membukakan akses pendidikan tanpa harus ada aksi tutup menutup sekolah, karena hal tersebut merugikan masa depan mereka dan bisa menciptakan trauma psikologis berkepanjangan,” ujar Farizal, pemilik firma hukum JFB Indonesia Legal Consultant.