Fenomena Cancel Culture di Dunia Pesohor: Jadi Aib di Korea, di Indonesia Justru Berkah
JAKARTA - Dunia hiburan Korea Selatan tengah diguncang kabar tak mengenakkan, menyusul meninggalnya aktor Lee Sun Kyun pekan lalu. Lee Sun Kyun diduga depresi karena harus menghadapi cancel culture di tengah kasus dugaan penyalahgunaan obat terlarang.
Mengutip The Korean Times, polisi menemukan aktor yang membintangi film peraih Oscar, Parasite, ini ditemukan dalam mobilnya dalam kondisi tak sadarkan diri di dekat Waryong Park, Rabu (27/12/2023). Lee Sun Kyun diduga bunuh diri dengan menghirup briket arang yang ditemukan di kursi penumpang depan.
Bunuh diri aktor 48 tahun ini terjadi saat dirinya terjerat kasus dugaan penggunaan narkoba yang membelitnya belakangan ini. Dugaan tersebut diperkuat dengan pengakuan sang istri yang juga aktris, Jeon Hye Jin, menemukan sepucuk surat wasiat yang ditinggalkan Lee.
Berdasarkan laporan TV Chosun, Lee Sun Kyun menulis pesan untuk istrinya, “Saya tidak dapat melakukan apa-apa lagi, tidak ada cara lain selain ini.” Dalam surat yang sama, Lee juga menulis “Penalti untuk melanggar kontrak iklan dan film sangat besar.”
Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, Lee tengah menjalani serangkaian investigasi dugaan penggunaan narkoba meski dalam tes ia dinyatakan negatif. Menyusul skandal yang menimpanya, karier Lee mengalami kesulitan termasuk pembatalan kontrak iklan serta pengunduran dirinya dari proyek film.
Pembatalan sejumlah kontrak kerja mengharuskan Lee Sun Kyun membayar penalti yang jumlahnya mencapai 10 miliar won Korea Selatan atau setara Rp118,924 miliar.
Ekspektasi Tinggi kepada Figur Publik
Melihat apa yang terjadi pada Lee Sun Kyun, ia mengalami cancel culture akibat dugaan penyalahgunaan obat terlarang. Cancel culture adalah hal umum yang ditemukan ketika mereka yang berkecimpung di dunia hiburan Korea Selatan membuat kesalahan.
Mengutip laman resmi Kemenkeu, cancel culture adalah sebuah praktik yang sedang populer di media dengan berusaha mengumpulkan dukungan untuk meng-cancel seseorang jika ia telah melakukan atau menyatakan sesuatu yang ofensif maupun tidak menyenangkan.
Sementara dari The New York Post mengatakan, cancel culture adalah fenomena untuk mengajak menolak seseorang, merek, acara, hingga film.
Sederhananya, cancel culture dalam dunia hiburan Korea adalah salah satu bentuk hukuman bagi public figure yang terjerat skandal. Atau dengan kata lain, cancel culture adalah boikot atau penolakan kepada public figure yang terlibat dalam skandar karena dianggap tidak memberi contoh yang baik untuk penggemar.
Sonh Jae Ryong, sosiolog Universitas Kyung Hee, mengakan idol Korea terkadang menjadi korban dari ekspektasi tinggi masyarakat di mana aturan dan kepatuhan sangat dihargai. Karena harapan yang tinggi kepada figure publik, masyarakat Korea cenderung menjadi kurang toleran atas kesalahan moral atau etika yang dilakukan.
"Karena selebriti menonjol dan menarik perhatian publik, masyarakat cenderung kurang toleran terhadap pelanggaran moral atau etika apa pun. Warga Korea mempunyai kecenderungan yang kuat untuk memihak sebagai sebuah kelompok, menempatkan mereka yang berasal dari kelompok sosial yang berbeda pada pihak yang berlawanan,” kata Song Jae Ryong dilansir dari scmp.
Namun pada akhirnya, cancel culture ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, cancel culture bisa menjadi ‘rem’ untuk para selebriti sehingga mereka akan berusaha menjaga sikap dan perilaku karena dampak sosial melanggar norma masyarakat sangat besar.
Tapi di sisi lain, cancel culture bisa menyulitkan figur publik itu sendiri untuk bangkit setelah nama dan kariernya tercemar akibat skandal, meskipun belum tentu tindakan negatif itu benar dilakukan. Cancel culture juga dapat memberikan efek psikologis penerimanya hingga menimbulkan depresi seperti yang dialami Lee Sun Kyun pekan lalu.
Beda di Indonesia
Lain di Korea lain pula di Indonesia. Jika di Negeri Ginseng artis yang terjerat skandal bisa mengalami penolakan di mana-mana, kontrak kerja juga bahkan dibatalkan, berbeda dengan selebritas di Indonesia. Jangankan terkena cancel culture, artis di Indonesia yang terkena skandal justru lebih banyak sengaja ‘diberi panggung’.
Salah satu contoh terbaru adalah ketika Ammar Zoni yang belum lama ini kembali ditangkap karena pemakaian narkoba. Ini adalah kali ketiga Ammar Zoni ditangkap karena kasus serupa. Suami Irish Bella tersebut malah sempat wara-wiri di podcast usai bebas dari kedua kalinya. Atau kasus yang menerpa vokalis Last Child, Virgoun, yang ketahuan selingkuh dari istrinya namun tetap manggung di mana-mana.
Bahkan pada September lalu, muncul kabar soal wacana artis Wulan Guritno akan diangkat menjadi duta antijudi online. Padahal saat itu, Wulan Guritno dan sejumlah selebgram akan diusut karena dia diduga ikut mempromosikan situs judi online.
Wacana menjadikan Wulan sebagai duta antijudi online digagas oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie. Ia mengatakan alasan menjadikan Wulan Guritno menjadi duta antijudi online karena ketidaktahuan si artis mempromosikan situs judi yang dianggap sebagai gim.
Melihat banyaknya pesohor negeri yang mendadak diangkat derajatnya dengan dijadikan duta seusai melakukan kesalahan cukup menggelitik. Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah pun angkat bicara.
Menurutnya, wacana Menkominfo Budi Arie menjadikan Wulan Guritno sebagai duta antijudi online sebagai langkah yang keliru. Gagasan ini dinilai bisa melukai masyarakat umum.
Baca juga:
- Konten Menyusui Sering Dikomentari Negatif karena Sudut Pandang Hanya Sebatas Seksual
- Penemuan Kembali Ikan Belida Jawa yang Disangka Punah adalah Bukti Indonesia Kaya Flora dan Fauna
- Tumpang Tindih IKD dan e-KTP Membingungkan Masyarakat
- Benarkah Virus COVID-19 Sub Varian JN.1 Lebih Dahsyat Dibandingkan Omicron?
“Ini adalah kebijakan yang kontra-produktif, karena kalau semua orang yang melakukan kejahatan dan dari kejahatan itu dia dipromosikan, maka akhirnya hukum jadi tidak berlaku. Orang-orang yang melanggar hukum harus dihukum, jangan malah dijadikan duta,” kata Trubus saat berbincang dengan VOI, Rabu (6/9/2023).
“Ini melukai masyarakat umum, yang mungkin tidak cantik, tidak kaya, tidak terkenal. Seharusnya pemerintah tidak pandang bulu dan tidak ada diskriminasi dalam penegakan. Sudah jelas kok pasalnya dia melanggar judi online, dia hukumannya harusnya berat,” kata Trubus.