Inisiator Independensi Polri Ungkap Potensi Penyalahgunaan Kapolri dalam Pemilu
JAKARTA - Pengajar Fisipol UI Sidratahta Mukhtar memaparkan sistem kepolisian yang saat ini sangat sentralistik karena adanya sistem komando yang dipimpin oleh Kapolri. Ia mengungkapkan sistem komando tersebut bisa terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam Pemilu.
"Meskipun dalam konstitusi Polri tunduk pada hukum tapi Polri menganut sistem komando," katanya dalam diskusi LP3ES di Jakarta, Selasa 26 Desember.
Ia juga mengemukakan Kepolisian sulit dikontrol karena sistem komando dan sentralistik tadi.
"Karena dipimpin oleh Kapolri yang sangat kuat. Di Indonesia ini unik karena polisi menganut sistem komando," tambahnya.
Kerentanan polisi dalam isu netralitas ini adalah akan rentan terjadi kalau tidak ada pengawasan.
"Makin rendah tingkat pengawasan makin tinggi kemungkinan abuse of powernya," katanya.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengingatkan pentingnya aparat keamanan termasuk TNI/Polri untuk menjaga netralitas dalam Pemilu 2024.
Titi mengungkit pengalaman dalam Pilkada pada tahun 2016 silam. Kala itu, Pilkada di 10 Tempat Pemungutan Suara (TPS) Kabupaten Mamberamo Raya, Papua, harus diulang karena adanya campur tangan aparat.
"Ketika aparat tidak netral ongkosnya mahal sekali," kata Titi.
Saat itu, aparat polisi terbukti melakukan intimidasi kepada Kepala Kampung Fona agar memilih salah satu kandidat. Para warga pun diancam akan ditembak bila tidak memilih salah satu kandidat.
"Itu Pilkada di beberapa TPS harus diulang karena ada keterlibatan aparat dalam hal ini Polri Brimob dalam proses pemungutan suara," kata Titi.
Titi pun mengingatkan bahaya dari aparat yang tidak netral dalam pemilu yang bisa ,erusak prinsip pemilu demokratis, yakni pemilu yang bebas, adil, dan setara.
"Merupakan tindakan sewenang-wenang yang melanggengkan/atau bisa membuat terus berlanjutnya kesewenang-wenangan dan penyimpangan di masa datang. Kesewenang-wenangan yang menjadi bibit laten bagi praktik pemilu," katanya.
Titi menerangkan aparat yang tidak netral tidak hanya merusak prinsip pemilu demokratis dan memberikan ketidakpuasan atas proses pemilu, namun juga berpotensi memunculkan konflik horisontal atau benturan antarpendukung.
Bahkan, ia juga menilai aparat yang tidak netral pada akhirnya turut mempengaruhi kinerja pemerintah menjadi tidak efektif karena terus-menerus menghadapi isu legitimasi.
Karena itu, Titi berharap masyarakat sipil, akademisi, serta kelompok masyarakat dapat memperkuat konsolidasi untuk melaporkan pelanggaran terkait netralitas aparat.
Baca juga:
Ketua LP3ES Abdul Hamid menjelaskan pentingnya aparat netral dalam pemilu. Ia mendesak seluruh aparat harus memahami pemilu ini untuk menjadi Indonesia yang lebih baik.
"Kalau mereka tidak berkontribusi dalam menghadirkan pemilu yang lebih baik, maka dia berkontribusi dalam kemuncuran Indonesia," kata Abdul Hamid.
Hamid mendapatkan informasi ancaman yang muncul yaitu 'curang perang'. Kalau ada kecurangan maka akan ada perlawanan.
"Ini bahaya. Ini kita harus jadikan alarm bahaya. Kalau menjadi kesadaran publik, KPU dan aparat menjadi tanggung jawab yang besar," ucapnya.