Presiden Juga Manusia, Maka Netralitas Pemilu Mustahil Ada
JAKARTA – Dinasti politik dan netralitas aparatur negara masih menjadi isu hangat yang ramai diperbincangkan menjelang Pemilu 2024. Pertanyaan besar saat ini adalah mungkinkah Pemilu 2024 berlangsung netral ketika seorang anak penguasa ikut bertarung di dalamnya?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat banyak kritik menjelang akhir kepemimpinannya. Citra positif yang dibangun Jokowi di awal periode menghilang karena ia dinilai melakukan abuse of power atau menyalahgunakan kekuasaannya.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober lalu disebut sebagai salah satu putusan paling kontroversial yang terjadi di era pemerintahan Jokowi.
MK mengabulkan gugatan seorang mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaqibirru, soal batas usia calon presiden dan wakil presiden. Melalui putusan yang dibacakan pada 16 Oktober 2023, MK mengatakan seseorang dapat mencalonkan diri sebagai Capres dan Cawapres dengan usia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Bukan pekerjaan sulit bagi publik menyimpulkan bahwa putusan MK tersebut adalah jalan untuk melanggengkan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, maju di Pilpres 2024.
Pencalonan Gibran sebelumnya terbentur Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Pemilu, yang menyebutkan Capres dan Cawapres harus berusia minimal 40 tahun. Penambahan kalimat “sedang atau pernah menjawab kepala daerah meski belum berusia 40 tahun” menjadi karpet merah bagi Gibran.
Pria 36 tahun tersebut saat ini tengah menjabat sebagai Walikota Surakarta, jabatan yang diperolehnya usai memenangkan Pilkada Surakarta 2020. Sesuai dugaan, Gibran pun akhirnya dipinang Prabowo Subianto untuk mendampinginya pada Pilpres 2024.
Mustahil Netral
Sebelum Gibran diposkan sebagai Cawapres Prabowo Subianto, menantu Jokowi Bobby Nasution sudah menduduki posisi Walikota Medan. Kaesang Pangarep juga mendadak terjun ke politik tahun ini dan langsung menduduki posisi Ketua Umum PSI. Belum lagi adik ipar Jokowi, Anwar Usman, yang menjadi ketua MK sebelum akhirnya lengser setelah dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat oleh Majelis Kehormatan MK.
Deretan keluarga Jokowi yang menduduki sejumlah posisi strategis diklaim sebagai upaya membangun dinasti politik.
Dinasti politik, menurut sejumlah kalangan, sebenarnya bukan hal baru. Salah satu contoh dinasti politik adalah bagaimana klan Kennedy dan Bush berkuasa di Amerika Serikat.
Klan Kennedy merupakan salah satu contoh dinasti politik paling populer di Amerika Serikat, bahkan dunia. Lebih dari setengah abad dinasti ini menempati jabatan penting di pemerintahan. Sementara dinasti Bush sudah menempatkan dua anggota keluarganya sebagai Presiden Amerika Serikat: George H.W Bush, yang menduduki Gedung Putih antara 1988 sampai 1992 dan putranya George W. Bush yang menjadi presiden ke-43.
Tapi yang menjadi perbedaan antara dinasti politik era Bush dan Jokowi adalah, keluarga Jokowi ramai-ramai menduduki jabatan krusial saat ia masih menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia.
“George W. Bush menjadi presiden ketika Bush senior tidak lagi presiden, tidak di masa berkuasa. Ini untuk menghindarkan sangka publik, menghindarkan konflik kepentingan,” ujar pengamat Hukum Tata Negara, Feri Amsari dalam acara Evaluasi Pemerintahan Jokowi dan Netralitas Polri dalam Situasi Politik Dinasti yang digelar secara daring, Senin (11/12/2023).
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Presiden Jokowi akan mampu bersikap netral saat Pemilu 2024 digelar pada 14 Februari mendatang? Posisinya sebagai RI 1 membuat masyarakat meragukan netralitas mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Baca juga:
- Wakanda No More, Indonesia Forever: Menyoroti Janji Anies Baswedan Soal Kebebasan Berpendapat
- Benarkah Debat Capres Bakal Pengaruhi Pemilih Bimbang?
- Pengungsi Rohingya: Bermasalah di Negara Asalnya, Indonesia Kena Getahnya
- Fenomena Peningkatan Kasus Bunuh Diri di Indonesia dan Kaitan dengan Budaya Patriarki
Feri Amsari mengatakan, mustahil bagi presiden bersikap netral, karena presiden juga adalah manusia biasa. Ditambah, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, di mana kekuasaan ada di tangan di presiden. Jokowi, sebagai presiden, menurut Feri memiliki cabang-cabang kekuasaan yang luar biasa.
“Godaan untuk mengistimewakan keluarga, terutama anak, adalah godaan yang sangat natural dan hampir tidak mungkin dihindarkan,” jelas Feri.
Sentralisasi Kekuasaan di Dinasti Politik
Netralitas Jokowi diuji bahkan sebelum kampanye Pemilu dimulai pada 28 November lalu. Kasus penurunan baliho pasangan Capres yang menjadi lawan Gibran di sejumlah daerah dianggap sebagai salah satu bentuk intimidasi dan ketidaknetralan Jokowi dalam Pemilu.
Baru-baru ini, Gibran juga dianggap melakukan pelanggaran di masa kampanye dengan membagikan susu di momen car free day (CFD) di Bundaran HI pada 3 Desember. Secara aturan, kawasan CFD harus steril dari aktivitas atau kegiatan kampanye, sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Hari Bebas Kendaraan Bermotor.
Alih-alih memberi teguran, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pj Gubernur Jakarta Heru Budi malah saling lempar tanggung jawab. Feri Amsari mengatakan tidak adanya teguran terhadap Gibran juga merupakan salah satu bentuk ketidaknetralan di Pemilu.
“Mana mungkin polisi atau Bawaslu tegur gibran? Pembagian susu sejauh ini tidak ada teguran signifikan. Azas Pemilu bahwa pemilihan itu berlangsung jujur dan adil sulit ditegakkan,” kata Feri menerangkan.
Sementara itu, Yayan Hidayat selaku Direktur Eksekutif The Strategic Sesearch and Consulting mengatakan, kemunculan dinasti politik membuat harapan Pemilu berlangsung netral makin sulit terwujud.
“Setiap fenomena dinasti politik pasti terjadi sentralisasi kekuasaan. Negara yang terbawa dalam dinasti politik sulit untuk mewujukan demokrasi,” ujar Yayan menjelaskan.
Yayan menyayangkan bibit dinasti politik yang ditunjukkan klan Jokowi. Menurutnya, nilai-nilai demokrasi terancam hilang dengan hadirnya dinasti politik baru di tangan keluarga Jokowi. Untuk itu, ia mengharapkan masyarakat sipil untuk bersama-sama melawan kekuataan yang absolut.
“Salah satu yang paling penting adalah memperkuat keterlibatan warga dan masyarakat sipil. Ketika kekuasaan berlangsung absolut, kekuatan masyarakat sipil-lah yang mampu melawannya,” kata Yayan menyudahi.