Mungkinkah Hukuman Mati Diterapkan Terhadap Dua Mantan Menteri Jokowi?

JAKARTA - Polemik soal hukuman mati untuk mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara kembali terdengar. 

Keramaian ini diawali dari pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamekumham) Edward Omar Sharif Hiariej. Saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional: Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakkan Hukum di Masa Pandemi pada Selasa, 16 Februari, dia menilai dua mantan Menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) pantas untuk dihukum mati.

Dia beralasan, keduanya bisa dihukum mati karena melakukan praktik korupsi di tengah pandemi COVID-19 dan memanfaatkan jabatan yang mereka punya. 

"Kedua mantan menteri ini (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara, red) melakukan perbuatan korupsi yang kemudian terkena OTT KPK. Bagi saya mereka layak dituntut Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mana pemberatannya sampai pidana mati," kata Omar dalam acara tersebut.

"Jadi dua yang memberatkan itu dan itu sudah lebih dari cukup dengan Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor," imbuhnya.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad sependapat dengan usulan penerapan hukuman mati pada dua tersangka kasus korupsi tersebut. Dia mengatakan, hukuman mati ini bisa menimbulkan efek jera kepada mereka yang berniat untuk melakukan praktik korupsi.

"Hukuman mati itu kan memberi efek jera ya. Sehingga orang tidak akan berani lagi melakukan tindakan-tindakan merugikan banyak pihak," kata Abraham Samad kepada wartawan, Rabu, 17 Februari.

Hukuman mati ini, sambungnya, juga dapat digunakan karena Edhy dan Juliari melakukan korupsi di tengah kesulitan masyarakat akibat pandemi COVID-19. Selain itu, sebagai wakil pemerintah, keduanya punya beban untuk menyelesaikan kesulitan masyarakat bukan malah melakukan korupsi.

Dia menilai KPK harus mempertimbangkan usul yang disampaikan oleh Wamenkumham Edward Omar. Hal ini supaya orang tidak berani melakukan korupsi lagi.

"Menurut saya apa yang disampaikan itu perlu dipertimbangkan oleh KPK ya, untuk memberikan tuntutan hukuman mati kepada kedua orang ini," tegasnya.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, Pasal 2 UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 memang mencantumkan hukuman mati bagi koruptor utamanya di masa tertentu seperti masa pandemi COVID-19. 

Namun, yang perlu diingat dalam UUD 1945 Pasal 28i juga mengatur hak untuk hidup. Sehingga, dia lebih setuju jika mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa diberi hak remisi atau pengurangan masa hukuman.

"Saya sangat setuju terhadap koruptor Edhy Prabowo dan Juliari Batubara dihukum seumur hidup sampai busuk di penjara," kata Fickar dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Rabu, 17 Februari.

Sikap KPK

Plt Juru Bicara KPK bidang Penindakan Ali Fikri membenarkan Juliari dan Edhy Prabowo secara normatif dapat dijatuhi hukuman mati jika mengacu pada UU Tipikor Pasal 2 Ayat 2. Katanya, penerapan hukuman ini tidak bisa hanya bergantung pada pasal tersebut, tapi juga seluruh unsur di pasal lainnya juga harus terpenuhi.

"Secara normatif dalam UU Tipikor terutama Pasal 2 Ayat (2) hukuman mati diatur secara jelas ketentuan tersebut dan dapat diterapkan. Tapi, bukan hanya soal karena terbuktinya unsur ketentuan keadaan tertentu saja untuk menuntut hukuman mati namun tentu seluruh unsur Pasal 2 Ayat (1) juga harus terpenuhi," kata Ali dalam keterangan tertulisnya.

KPK paham masyarakat menanti penyelesaian kedua kasus ini, termasuk soal hukuman bagi para pelaku. Sehingga, dalam dua kasus yang berbeda ini para tersangka dijerat dengan pasal dugaan suap yang ancaman hukuman maksimalnya adalah pidana penjara seumur hidup sesuai dengan UU Tipikor.

"Perlu juga kami sampaikan bahwa seluruh perkara hasil tangkap tangan yang dilakukan KPK diawali dengan penerapan pasal-pasal terkait dugaan suap," ungkap Ali.

Nantinya, dari pengembangan inilah, KPK bisa saja menerapkan Pasal 2 atau 3 Undang-Undang Tipikor bahkan penerapan ketentuan perundangan lainnya, seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ali mengatakan, masih diperlukan bukti permulaan yang cukup untuk menerapkan pasal tersebut.

Dia memastikan dua kasus ini masih terus berjalan proses penyidikannya. Selain itu, Ali juga mengatakan bakal menginformasikan perkembangan penanganan perkara ini ke publik.

"Kami memastikan perkembangan mengenai penyelesaian kedua perkara tangkap tangan KPK dimaksud selalu kami informasikan kepada masyarakat," tegasnya.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo merupakan tersangka penerima suap yang berkaitan dengan ekspor benur atau benih lobster. Penetapan tersangka ini dilakukan setelah dirinya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) sepulangnya dari lawatan ke Amerika Serikat. 

Dalam kasus suap ekspor benur atau benih lobster ini, Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama lima orang lainnya yaitu: Stafsus Menteri KKP Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misanta (APM); Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi (SWD); Staf istri Menteri KKP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin (AM).

Sedangkan Juliari ditetapkan sebagai tersangka setelah KPK lebih dulu menjerat anak buahnya dalam operasi senyap. Dia ditetapkan sebagai penerima suap terkait pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19 di wilayah Jabodetabek.

Komisi antirasuah juga menetapkan empat tersangka lainnya yaitu Pejabat Pembuat Komitmen di Kementerian Sosial (PPK) MJS dan AW sebagai penerima suap serta AIM dan HS selaku pemberi suap